Para siswa SD dari generasi tahun 80-an dan 90-an di Indonesia pasti familiar dengan tugas ini. Setiap Ramadan kami diminta ke masjid untuk tarawih.
Berbekal buku saku, jadilah kami ke masjid dengan dua tugas. Pertama, menulis ceramah tarawih dalam bentuk rangkuman.
Kedua, meminta tanda tangan imam tarawih seusai sholat sebagai bukti telah mengikuti tarawih. Nah, bagian inilah yang seru bagi saya.
Kami harus antri saat akan meminta tanda tangan. Bayangkan saja ada minimal 20 anak setiap malam yang bersikut-sikutan saat ingin menyodorkan buku saku Ramadan ke pak imam.
Respon imam tarawih itu juga beranekaragam. Ada banyak bapak imam yang sabar melayani para anak.
Namun, tak sedikit pula imam sholat yang gemas melihat ulah kami. Pernah kami harus berbaris rapi saat akan menerima tanda tangan dari imam tarawih.
Jika barisan berantakan sedikit saja, maka pak imam otomatis berhenti memberikan tanda tangan. Jadilah kami berbaris layaknya prajurit militer hahahaha...
Nah, satu waktu, ada teman yang saling bercanda ketika tarawih masih berlangsung. Suara tawa mereka sampai terdengar oleh pak imam.
Akibatnya, seusai sholat, pak imam mengumumkan bahwa tak ada anak yang mendapat tanda tangan darinya malam itu. Wah, berarti ini kami semua dihukum akibat ulah dua anak nakal itu.
Tapi, mereka juga yang membuat solusi atas masalah ini. Pak imam malam itu adalah salah seorang pengurus masjid.
Nama lengkap dan tanda tangan beliau terpampang di sebuah kertas pengumuman yang ditempel di masjid. Tak ada rotan akar pun jadi.