Mohon tunggu...
Khairunisa Maslichul
Khairunisa Maslichul Mohon Tunggu... Dosen - Profesional

Improve the reality, Lower the expectation, Bogor - Jakarta - Tangerang Twitter dan IG @nisamasan Facebook: Khairunisa Maslichul https://nisamasan.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Ngabuburit Ramadan yang Dirindukan di Alam

16 April 2021   07:12 Diperbarui: 16 April 2021   07:20 1078
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masjid yang ramah lingkungan dapat menjadi lokasi ngabuburit yang menyejukkan iman dan badan (Ilustrasi : pexels.com/Khairul Onggon)

Periode selepas Ashar hingga berbuka puasa lebih dikenal sebagai waktunya 'ngabuburit.' Ini adalah saat orang menunggu tibanya azan Maghrib sebagai pertanda waktu berbuka.

Istilah ngabuburit berasal dari bahasa Sunda yaitu "burit" yang berarti 'waktu menjelang sore'. Ngabuburit sebenarnya adalah singkatan dari "ngalantung ngadagoan burit" yang artinya kegiatan bersantai-santai menunggu waktu sore.

Selama ini, ngabuburit saat Ramadan identik dengan pergi keluar rumah. Tempat yang umumnya didatangi yaitu lapangan, taman, dan tempat makanan. Ohya, tak sedikit pula orang yang ngabuburit di masjid sambil mengikuti kajian Ramadan dari para kyai dan ulama sebelum saatnya berbuka.

Namun, sejak pandemi tahun 2020 setahun lalu, ngabuburit tak lagi bisa leluasa dilakukan di ruang terbuka. Saya lihat, danau buatan dekat rumah yang biasanya ramai saat ngabuburit jadi sunyi-senyap.

Di media sosial, ngabuburit Ramadan tahun 2020 yang terpaksa dijalani di rumah saja pun sempat menembus trending topic. Pembatasan interaksi fisik dan sosial selama pandemi jelas tak boleh dipandang sebelah mata.

Untuk saya, ngabuburit di suasana alam terbuka adalah hal yang selalu dinantikan tiap kali Ramadan. Sejak masih duduk di bangku SD hingga kini bekerja, jalan santai sambil menghirup udara segar saat ngabuburit telah menjadi kebiasaan tahunan.

Sejak usia 6 bulan hingga 6 tahun, saya bersama keluarga tinggal di Kalimantan Timur. Rumah kami waktu itu berlokasi tak jauh dari pantai.

Orang tua saya sering mengajak buah hati mereka untuk ngabuburit di pantai. Sepulang dari pantai, kami membeli es kelapa muda yang diwadahi langsung dalam batok kelapanya yang sudah dilubangi, segarnya!

Selama di pantai, saya dan adik waktu itu biasanya berlarian ke sana kemari di pasir. Ibu melarang kami untuk main air pantai agar baju tak basah setelah mandi sore.

Seingat saya, angin pantai saat sore itu terasa lebih sejuk daripada di siang hari. Pasir pantainya pun tak sepanas ketika sinar matahari masih tinggi sehingga enak untuk berjalan di atasnya tanpa alas kaki.

Kenyamanan ngabuburit di salah satu pantai di Kalimantan Timur itu berakhir ketika keluarga kami pindah ke Jabodetabek. Bapak saya ditugaskan bekerja di kantor pusatnya di Ibukota.

Sebagai anak SD, jelas saya dan adik sempat merindukan suasana ngabuburit di pantai. Meskipun ada beragam tayangan kartun di sejumlah TV swasta waktu itu, kami tetap merasa ada yang kurang.

Syukur Alhamdhulillah, perumahan tempat kami tinggal di Jabodetabek ini dekat dari perkampungan warga asli yang menanam banyak pohon di sekitar rumah mereka. Ibu kemudian mengajak kami ngabuburit dengan berjalan kaki di kampung tersebut sambil membeli sejumlah takjil yang ada di sepanjang jalan.

Ternyata ngabuburit dengan melihat sejumlah pohon buah di kampung itu tak kalah serunya. Kami jadi tahu bermacam-macam bentuk pohon buah seperti nangka, mangga, belimbing, dukuh, sawo, kersen/talok, jambu air, rambutan, dan masih banyak lagi lainnya.

Saat kami berdiri agak lama sambil mengamati pepohonan tersebut, tak jarang sang pemilik pohon keluar dari rumah. Ibu lantas bercakap-cakap sebentar dengan mereka sebagai bentuk sopan santun pergaulan.

Masjid yang ramah lingkungan dapat menjadi lokasi ngabuburit yang menyejukkan iman dan badan (Ilustrasi : pexels.com/Khairul Onggon)
Masjid yang ramah lingkungan dapat menjadi lokasi ngabuburit yang menyejukkan iman dan badan (Ilustrasi : pexels.com/Khairul Onggon)
Jika pohon tersebut sedang berbuah, acapkali kami diberi gratis. Jambu air dan rambutan yang lebih dari sekali kami terima selama ngabuburit di kampung.

Tapi, jika belum waktunya berbuah ketika Ramadan, para warga asli kampung yang ramah tersebut biasanya memberi tahukan waktu pasti panen buahnya. 

"Nanti ke sini lagi ya untuk nyicipin buahnya walaupun udah bukan waktunya ngabuburit," begitu pesan tulus mereka.

Selain ngabuburit dengan berjalan-jalan melihat pepohonan buah di kampung warga, saya dan adik tak jarang pula bermain ke sungai dan sawah terdekat dari masjid perumahan. Selepas sholat Ashar dan mengikuti kegiatan sanlat (pesantren kilat), anak-anak kemudian berhamburan ke alam.

Anak perempuan seringnya hanya sebatas berjalan di sepanjang pematang sawah. Sementara itu, anak laki-laki sibuk mencari ikan-ikan kecil di sungai.

Kami baru pulang dari sana ketika sudah bolak-balik diteriaki oleh bapak penjaga masjid (marbot) sekitar 30-40 menit menjelang Maghrib. Beliau sampai membawa pengeras suara (TOA/speaker) agar suaranya terdengar jelas dan lantang dari kejauhan.

Maklumlah, anak kecil itu kan kalau sudah bermain di alam terbuka sering lupa waktu saking senangnya. Saya bersyukur masih tergolong generasi 80-an yang mengalami masa kecil tanpa gawai elektronik/gadget sehingga bisa lebih sering aktif bermain fisik di luar rumah.

Semasa SMP dan SMU, ngabuburit saya lakukan dengan berjalan-jalan di dalam lingkungan perumahan saja. Namun, saya tetap sambil memperhatikan jenis tanaman dan pohon di sepanjang rumah yang saya lewati.

Tanaman yang sering saya jumpai yaitu bunga hias seperti mawar, melati, kembang sepatu, cocor bebek, putri malu, dan anggrek. Tanaman hias yang berbentuk daun yang banyak menghiasi halaman rumah antara lain suplir, lidah mertua, kuping gajah, dan sri rejeki (aglaonema).

Saat kuliah dan menjadi anak kost, taman kampus dan taman kota menjadi tempat ngabuburit favorit. Keberadaan taman hijau di tengah hutan beton itu mirip oase di gurun pasir yang menyejukkan.

Taman kampus maupun taman kota itu pun sering menjadi lokasi mahasiswa berjualan, seringnya makanan dan minuman ringan, sebagai bentuk penggalangan dana untuk kegiatan mahasiswa. Selama Ramadan, hasil penjualan itu mayoritas disumbangkan untuk anak yatim dan kaum dhuafa.

Setelah bekerja, masjid yang berlokasi di dekat alam menjadi tempat ngabuburit prioritas. Salah satu masjid di dalam kampus negeri di Depok adalah masjid terfavorit saya untuk ngabuburit.

Bangunan masjid tersebut berlokasi tepat di samping danau di dalam kampus sehingga kita bisa mendengar suara air danau yang bergemericik. Sebelum masjid itu direnovasi, bentuk masjid yang terbuka dengan banyak kayu sebagai bahannya membuat saya merasa berada dalam masjid perdesaan sekalipun masjid itu hanya berlokasi sekitar 5-10 menit dari stasiun KRL terdekat.

Saya masih menjalani ngabuburit di masjid kampus itu selama Ramadan pada tahun 2019 atau setahun sebelum pandemi pada Ramadan tahun 2020.  Jujur, saya kangen sekali untuk bisa lagi ngabuburit dan mengikuti kajian agama di masjid yang sejuk dan terbuka untuk umum tersebut.

Semoga pandemi COVID-19 sudah game over sebelum Ramadan di tahun 2022, Aamiin YRA. Alhasil, ngabuburit di alam terbuka dan masjid yang ramah lingkungan serta sosial pun bisa segera saya dan masyarakat rutinkan kembali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun