Kemungkinan terjadinya kelangkaan makanan saat Ramadan selama pandemi tahun lalu sempat membuat kami kalap berbelanja. Frekuensi belanja pangan bisa 4-5x/minggu.
Untuk menghindari kerumunan orang, kami memang tak sering belanja ke pasar maupun supermarket. Gantinya kami belanja ke beberapa warung sayur-mayur di sekitar rumah.
Akibatnya, jumlah jenis pangan yang serupa menumpuk di kulkas. Ibu saya pernah membeli lebih dari satu bungkus tempe di penjual sayur terdekat dari tempat tinggal kami.
Eh, sepulang dari pasar, Bapak saya juga membeli beberapa bungkus tempe. Jadilah hampir selusin tempe ukuran besar yang harus dihabiskan kami berempat sekeluarga secepatnya.
Ramadan tahun ini pun kami mengurangi frekuensi belanja makanan. Jumlahnya yaitu 1-2x belanja pangan per minggu.
Sebelum belanja, kami juga memastikan bahan makanan yang masih tersisa di kulkas. Contohnya, saat stok tahu masih ada, kami tidak dulu membeli tempe.
Selain itu, jenis buah-buahan segar pun kami batasi. Per minggu, kini kami hanya membeli 2-3 jenis buah yang berbeda.
Saat masih banyak orang yang kelaparan, jelas tak bijak kalau kita sampai menumpuk apalagi sampai membuang makanan. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menunjukkan sebanyak 13,8% balita di Indonesia mengalami kurang gizi dan 3,9% lainnya menderita gizi buruk yang berpangkal dari kurangnya konsumsi makanan sehari-hari.
Lebih teliti setiap membeli
Sebelum pandemi, kita bisa berlama-lama di tempat umum, termasuk pasar dan supermarket. Jadi makanan dan minuman yang kita beli bisa dicermati dulu kualitasnya satu per satu.
Selama pandemi, jangankan berlama-lama, keluar rumah pun benar-benar dilakukan sesingkat mungkin. Akibatnya, belanja pangan yang kami lakukan itu seringkali berujung dengan penyesalan sesampainya di rumah.
Bagaimana tidak menyesal? Ternyata, ada saja masalah yang dijumpai saat membeli apapun dengan terburu-buru. Satu waktu, pisang yang kami beli sudah sangat matang dan lembek.