Mohon tunggu...
Khairunisa Maslichul
Khairunisa Maslichul Mohon Tunggu... Dosen - Profesional

Improve the reality, Lower the expectation, Bogor - Jakarta - Tangerang Twitter dan IG @nisamasan Facebook: Khairunisa Maslichul https://nisamasan.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Saat Kita Terhubung Bersama, Bahagia Tiba Sebagai Hadiahnya

30 Desember 2020   14:55 Diperbarui: 30 Desember 2020   15:12 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Syukurlah saya dan peserta beasiswa kursus bahasa asing sempat berfoto bersama sebagai kenangan yang membahagiakan sebelum pandemi Covid-19 (Dokpri)

Apa yang membuat kita (tetap) bahagia? Jika harta dan tahta adalah dua hal yang segera terlintas di benak, kita tidak sendirian kok. Lihat saja, barisan foto barang terbaru maupun jabatan terkini yang dimiliki seseorang sudah jadi pemandangan harian di media sosial.  Senyum banyak orang pun mengembang ketika berfoto liburan di tempat wisata yang sedang naik daun.

Tahun 2014, sejumlah ilmuwan dari Harvard University di Amerika Serikat menanyakan generasi milenial tentang hal apa saja yang dikejar agar hidup mereka bahagia.  Hasilnya, 80% kaum dewasa muda tersebut menjawab uang dan 50% lainnya memilih popularitas.  Untuk meraih keduanya, mereka rela bekerja keras bahkan hingga mengorbankan kesehatan lahir-batin.

Saat melihat ada orang yang (tampaknya) bahagia dengan materi ataupun ketenarannya, jujur saja, saya pernah membatin, wah jangan-jangan saya belum bahagia nih?  Kan saya belum se-'sultan' alias setajir mereka.  Para hartawan dan tokoh masyarakat tersebut kerap menunjukkan kemewahan hidup sehari-hari dengan berlimpahnya fasilitas mereka.

Bahagia akan berlipat ganda ketika kita meraihnya bersama (Instagram JNE Express)
Bahagia akan berlipat ganda ketika kita meraihnya bersama (Instagram JNE Express)
Tapi, apakah kebahagiaan itu identik dengan 'memiliki sesuatu'? Bagaimana dengan para relawan yang membantu orang lain tanpa mengharap imbalan materi?  Begitu pula dengan kaum pengungsi yang terus berusaha bertahan hidup di kejamnya daerah perang.  Sementara itu, tidak sedikit tokoh idola yang kaya dan dipuja masyarakat, malah memilih untuk mengakhiri hidupnya.

Seiring bertambahnya faktor "U" (baca: usia hehehe...), saya menyadari kebahagiaan itu ternyata tak melulu tentang memperoleh sesuatu untuk diri sendiri.  Kita bahkan melihat sejumlah dermawan malah terus bertambah hartanya sekalipun berulangkali disumbangkan.  Bahagia juga terasa ketika kita membantu orang lain dalam bentuk non-materi semisal tenaga dan waktu. 

Saya semakin percaya bahwa saling berbagi itu membawa kebaikan dan juga kebahagiaan hidup.  Itu karena lingkaran kebaikan dari satu orang ke orang lainnya mampu menghubungkan harapan sekaligus mewujudkan impian banyak orang.  Maka inilah beberapa pengalaman bahagia yang pernah saya alami.  Semoga ulasan (sederhana) berikut ini bermanfaat dan memberi inspirasi.

Syukurlah saya dan peserta beasiswa kursus bahasa asing sempat berfoto bersama sebagai kenangan yang membahagiakan sebelum pandemi Covid-19 (Dokpri)
Syukurlah saya dan peserta beasiswa kursus bahasa asing sempat berfoto bersama sebagai kenangan yang membahagiakan sebelum pandemi Covid-19 (Dokpri)
Berbagi Ilmu untuk Hidup yang Lebih Maju

          Tahun 2017 akhir hingga awal 2020, saya menjadi relawan pengajar bahasa asing untuk siswa SMU dan mahasiswa yang membutuhkan.  Sejak mendaftar, menjalani tes penempatan, dan mengikuti kelas bahasa asing yang dipilih selama tiga bulan, peserta tak dipungut bayaran  (gratis). Beasiswa kursus bahasa asing ini diadakan oleh sebuah lembaga konsultan pendidikan.

          Tujuan saya bergabung dengan kegiatan relawan yang diadakan setiap akhir pekan itu yaitu berbagi ilmu yang telah saya pelajari kepada para anak muda yang kekurangan biaya untuk mengambil kursus bahasa di luar sekolah.  Padahal, kemampuan bahasa asing, terutama Bahasa Inggris kini menjadi syarat mutlak saat mendaftar sekolah maupun melamar pekerjaan.

          Sebelum pandemi Covid-19, ujian akhir beasiswa bahasa diadakan di kelas.  Namun, di bulan Maret 2020 lalu, tes terpaksa dilakukan secara jarak jauh.  Saya membatalkan ujian online karena ternyata separuh peserta ternyata tidak memiliki laptop/smartphone memadai.  Solusinya, mereka mengirimkan jawaban tes akhir via dokumen dari layanan kurir terdekat yang ada.

Layanan tepat waktu dan terjamin mutunya dari JNE membuat bahagia sekaligus lega para pengirim maupun penerima paket, terutama saat pandemi (Dokpri)
Layanan tepat waktu dan terjamin mutunya dari JNE membuat bahagia sekaligus lega para pengirim maupun penerima paket, terutama saat pandemi (Dokpri)
Ternyata, mayoritas mereka menggunakan JNE sebagai kurir terpercaya untuk mengirimkan jawaban ujian akhir.  Selain layanan JNE YES (Yakin Esok Sampai), mereka ada pula yang memakai layanan JNE Reguler (2-4 hari).  Setiap peserta beasiswa yang berhasil mengikuti kursus hingga tes akhir di bulan ketiga berhak mendapatkan sertifikat kelulusan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun