Seorang anak dapat menuntut ilmu ke seluruh dunia hingga meraih gelar pendidikan tertinggi. Gurunya pun termasuk para profesor terbaik di mancanegara. Meskipun begitu, seorang ibu adalah guru dan sekolah pertama bagi para anaknya yang telah sukses dan sejahtera.
Kutipan bijaksana dari dosen saya tersebut terus melekat di benak saya hingga kini. Sudah lazim, banyak anak yang tingkat pendidikannya (jauh) di atas orang tua mereka. Para orang tua bahkan acapkali tak lulus sekolah dasar. Namun, buah hati mereka bertitel hingga doktor (S3).
Setelah berprofesi sebagai akademisi di kampus, saya semakin menyadari arti pentingnya pendidikan karakter oleh orang tua. Seorang ibu terutama memegang peranan penting dan strategis dalam menanamkan nilai moral kepada buah hatinya dalam pengasuhan sehari-hari.
Saat menjumpai mahasiswa berprestasi ataupun bermasalah (nilai kuliah maupun perilakunya), berulangkali akarnya bermula pada pola asuh di rumah. Para ibu yang peduli berujung pada mahasiswa yang tak hanya cerdas otaknya, namun juga mulia tingkah lakunya.
Hal tersebut selalu membuat saya teringat ajaran Ibu sejak masa saya mulai bisa mengingat (usia TK). Contohnya, kebiasaan baik dengan (selalu) menghabiskan makanan yang telah diambil di piring. Kalau tak selera, ambil sedikit saja atau lebih baik tak mengambilnya.
Ajaran Ibu itu sekilas terlihat sederhana. Toh, kita mampu membelinya ini dengan uang pribadi. Namun, tujuan Ibu mendidik saya dan ketiga adik untuk tak boros soal makanan yaitu agar kami menghargai jerih payah petani sekaligus berempati kepada orang yang kekurangan.
Selain tak mubazir tentang makanan, Ibu juga rutin mengingatkan untuk teratur mengonsumsi sayur dan buah setiap hari. “Buah dan sayur itu kaya serat, vitamin, dan mineral untuk kekebalan tubuh. Jadi kita enggak gampang sakit meskipun kecapean,” ujar beliau yakin.
Setelah dunia dihantam COVID-19 sejak Maret 2020 lalu, saya kembali tersadar, tak sedikit ajaran dari Ibu yang (sangat) relevan manfaatnya. Pesan dari Ibu tak hanya seputar makanan, namun banyak pula yang berkaitan erat dengan kualitas karakter kita dalam menghadapi krisis.
Kita pasti pernah mendengar kalimat seperti ini, “Dia sih memang keren/kaya/tampan/cantik. Tapi sayang, karakternya buruk.” Istilah karakter berakar dari bahasa Yunani kuno, ‘charassein’ yang berarti “mengukir corak yang tetap dan tidak terhapuskan.”
Menurut Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara, karakter (watak) mempengaruhi cara berpikir dan berperilaku seseorang serta menjadi ciri khas individu. Karakter seseorang terbentuk dari perkembangan dasar (nature) yang kemudian dipengaruhi pendidikan (nurture).