Sebagai alumni sekolah guru di masa mudanya, Ibu saya pernah bercerita bahwa psikologi pendidikan adalah subyek favoritnya. Maka itulah, beliau menyadari bahwa semakin dini usia anak, semakin mudah pula menanamkan nilai-nilai moral terpuji karena jiwa anak masih polos.
Ibu membiasakan kami untuk menyantuni peminta-minta dan pengamen, baik di jalan maupun yang datang ke rumah. Bentuknya bisa berupa materi (uang), makanan, dan pakaian layak pakai. Beliau melarang kami untuk bersikap kasar, apalagi merendahkan orang yang papa.
Kepedulian Ibu juga diwujudkan pada para pedagang (pelaku UMKM) yang terkena imbas pandemi. Ketika berjalan pagi bersama saya, beliau mengikhlaskan uang kembalian kue pukis dari penjual keliling yang curhat tentang sepinya pembeli sejak murid bersekolah dari rumah.
Ibu juga meminta kami membeli dan mempromosikan barang atau jasa dari para tetangga yang berjualan karena di-PHK dari tempat kerjanya sejak COVID-19. “Ayo, semakin ditambah donasi amal kalian di masa pandemi ini. Sekecil apapun, itu pasti bermanfaat,” begitu pesan Ibu.
Ibarat kertas polos, otak anak dapat diisi informasi apapun. Tak heran, anak yang terbiasa mendengar kalimat baik dari orang tuanya, khususnya bundanya, bicaranya pun sopan dan begitu pula sebaliknya. Anak adalah peniru ulung baik perkataan maupun perbuatan orang dewasa.
Olah pikir termasuk salah satu dari empat filosofi pendidikan karakter yang dicetuskan Ki Hajar Dewantara selain olah hati, olah karsa, dan olah raga. Saat dihadapkan dengan beragam ilmu dan informasi baru, ketenangan jiwa dan kejernihan otak sama pentingnya dalam berpikir.
Ibu konsisten mengingatkan keempat anaknya untuk lebih kritis setiap kali mendengar suatu berita. Prinsip Ibu yaitu “kabar baik merayap, kabar buruk berlari.” Kami harus memeriksa dulu kebenaran suatu informasi sebelum menyebarkannya untuk menghindari salah paham.
“Jangan suka membicarakan orang lain di belakangnya. Kalaupun benar, itu termasuk ghibah (menggunjing). Jika salah, berarti memfitnah. Ghibah dan fitnah itu besar dosanya,” urai Ibu. “Lebih baik ditanya baik-baik jika memang ada masalah dengan seseorang,” tambah beliau.
Bagi saya, nasihat beliau ini semakin berguna ketika menghadapi hujan berita palsu dan menyesatkan (hoax & fake news) via media sosial. Selama pandemi ini, setiap hari ada saja info tanpa sumber yang jelas (seringnya bernada bombastis) tentang COVID-19 melalui grup WA.
Ibu rajin bertanya, “Ini rumor atau resmi ya beritanya?” tiap kali ada info teranyar COVID-19 yang di-share sesama anggota grup. Solusinya tentu saja dengan membagikan tautan (link) dari sumber resmi dan terpercaya seputar perkembangan terbaru Corona yang diakui pemerintah.