“Sedikit-sedikit lama-lama jadi bukit.” Prinsip itu ternyata berlaku baik untuk akumulasi pendapatan maupun pengeluaran keuangan. Mau buktinya? Ambil contoh konsumsi secangkir kopi susu setiap sore selepas pulang kantor. Harganya Rp 10.000.
Kalikan dengan 5 hari kerja. Hasilnya Rp 50.000. Kalikan lagi dengan 4 minggu per bulan, maka keluar angka Rp 200.000. Kalikan 12 bulan per tahun. Totalnya Rp 2.400.000, wow! Jelas nominal tersebut tak sedikit lho.
Hal serupa juga berlaku untuk menabung (sebagian) pendapatan kita. Jika sebulan pendapatan kita adalah Rp 10.000.000. Lalu kita rutin menabung sebesar 10%-nya yaitu Rp 1.000.000. Kalikan dengan 12 bulan per tahun, keluar angka Rp 12.000.000.
Selama 5 tahun, totalnya Rp 60.000.000. Jika sabar menabung selama 10 tahun dengan jumlah konstan, maka tabungan berjumlah Rp 120.000.000, mantap!
Pertanyaannya sekarang, apakah kita lebih (sabar) menabung atau mudah tergoda dengan pengeluaran kecil setiap bulannya?
Godaan mengikuti gaya hidup kekinian semakin terasa bagi pekerja dengan usia dewasa muda yaitu sekitar 25-35 tahun (Upwardly Mobile). Konflik kepentingan antara kebutuhan versus keinginan seringkali tak terelakkan.
Misalnya, seorang ibu muda ingin membeli seri make-up terbaru yang sedang hits di kalangan pekerja. Sebuah online shop menawarkan produk tersebut dengan cicilan tanpa bunga, sebut saja Rp 75.000 per bulan. Totalnya Rp 900.000 per tahun.
Nominal tersebut (sekilas) tampak kecil. Namun, di lain sisi, nominal serupa dapat digunakan untuk membayar uang sekolah anaknya di TK, misalnya selama 6 bulan.
Pengeluaran sebesar Rp 75.000 untuk cicilan kosmetik per bulan itu termasuk latte factor atau pengeluaran kecil yang rutin namun tak penting apalagi mendesak.
Tak heran, usia produktif 25-35 tahun (banyak pula hingga 45 tahun) disebut sebagai the sandwich generation.
Bentuk sandwich yang bertumpuk-tumpuk mirip dengan generasi itu yang harus menghidupi diri mereka plus menanggung biaya hidup anak-anak yang masih bersekolah maupun orangtuanya yang sudah pensiun.