Idul Fitri tak lengkap tanpa saling bermaaf-maafan. Mulai dari malam takbir hingga datang saat open house, bermaafan terus berjalan. Saat tak bisa jumpa empat mata, maka ada (1001) cara untuk saling memaafkan ketika Lebaran telah tiba.
Saya termasuk generasi yang masih sempat akrab dengan surat-menyurat. Nah, saat menjelang Lebaran ini selalu mengingatkan saya tentang pengalaman saling bermaafan via pos. Ya apalagi kalau bukan kartu lebaran.
Teman sekolah saya dari SD hingga SMU berbeda-beda. Ada yang terpisah karena beda sekolah. Tak sedikit pula yang pindah rumah. Jadilah ketika Idul Fitri kami tak lagi bisa saling mengunjungi.
Saat itu, smartphone masih barang langka. Telepon rumah juga mahal tarifnya. Maka kartu Lebaran pun jadi pilihan utama dan satu-satunya.
Toko buku jadi tempat favorit untuk berburu kartu Lebaran. Memang sudah ada 1-2 mall ketika itu. Tapi, kantong anak sekolah zaman itu mana cukup buat ke mall? Bukan curhat lho ya ini hehehe...
Saya ingat betul, kartu Lebaran di akhir tahun 90-an dan awal 2000-an itu begitu beragam kuantitas dan kualitasnya. Ada kartu yang dijual satuan maupun per paket. Beberapa kartu begitu minimalis desainnya dan ada juga yang kartunya berbahankan kertas yang harum sekali.
Ada kartu yang masih kosong sehingga pengirim bebas mengisi permintaan maafnya dengan kalimat kreasinya. Tak sedikit kartu Lebaran sudah berisi kata-kata maaf sehingga pengirim tinggal menuliskan nama dan tanda tangannya. Untuk saya waktu, kartu Lebaran yang masih kosong lebih saya pilih.
Alasan (utama) membeli kartu Lebaran polos tentunya karena harganya lebih miring hihihi... Untuk kalimat maafnya, isinya kombinasi dari kalimat sendiri plus hasil modifikasi dari kalimat dalam kartu Lebaran yang lebih mahal. Saya sering menambahkan sticker sebagai pemanis.
Bagi saya, bermaaf-maafan via kartu Lebaran itu terasa lebih hangat dan personal. Kita bisa bercerita lebih banyak tentang keadaan masing-masing. Kartu Lebaran pun bisa disimpan sebagai kenang-kenangan hingga di masa depan.
Saat kuliah, saya merasakan bermaafan saat Lebaran via pesan singkat (SMS). Ada yang isinya 100% kata-kata. Namun, banyak juga yang gabungan kata dan gambar ataupun gambar semuanya.
Bermaafan via SMS di masa itu terbatas jumlah maksimal karakternya. Jadilah kalimat maafanya harus singkat, padat, tepat dan jelas. Saat inbox SMS di HP sudah penuh, SMS lama pun harus segera dihapus agar SMS baru bisa masuk.
Layar HP yang ketika itu juga tidak selebar smartphone zaman now acapkali menimbulkan 'kecelakaan'. Ini terjadi ketika seseorang menerima SMS maaf dari orang lain berupa kalimat puitis atau gambar artistik. SMS itu pun langsung diteruskan ke orang lainnya tanpa diperiksa atau diedit ulang isinya.
Akibatnya, nama pengirim SMS bermaafan waktu Lebaran adalah misalnya Bapak Adi, eh di bawah isi SMS-nya diakhiri dengan penutup: "Salam hormat dari Bapak Budi sekeluarga." Hahaha! Wah, lupa edit nama pengirim malah jadi buat penerima SMS berburuk sangka deh dan pengirim harus minta maaf (lagi) dengan mengirim ulang SMS.
Saling bermaafan via SMS juga jadi 'mati gaya' ketika pengirim SMS tidak menyebut nama sedangkan sang penerima SMS sudah tidak menyimpan lagi nomor pengirim. Si penerima SMS pun jadi menebak-nebak nama pengirim. Begitulah uniknya saling bermaafan via SMS dulu.
Bagi saya, pengalaman saling bermaaf-maafan ketika Lebaran via WA itu ya memang begitulah adanya alias standar saja. Jelas tidak sehangat via kartu Lebaran. Namun, kesalahan nama pengirim bisa diminimalisir sejak awal.
Umumnya sekarang saling bermaafan via WA itu dilakukan di grup yang ada daripada orang per orang. Memang lebih praktis dan efektif. Tapi, bisa jadi ada sebagian orang yang tetap lebih memilih untuk mengirimkan ataupun menerima permintaan maaf secara pesan WA pribadi (bukan via grup WA) karena merasa lebih dekat serta dihargai daripada via grup.
Bentuk ucapan saling bermaaf-maafan via WA juga yang paling lengkap. Mulai dari kalimat semisal pantun yang lucu hingga gambar atau video (multimedia). Banyak yang berasal dari ide kreatif maupun sebatas gagasan repetitif (pengulangan).
Untuk media sosial, saya belum pernah saling bermaafan di sejumlah akun. Saya lebih senang memakai WA karena lebih privat. Pastinya, kini via kartu dan SMS sudah lama tak lagi saya gunakan.
Kini, saya hanya menerima kartu Lebaran dari institusi resmi dalam lingkup profesi. Untuk hubungan pribadi, sejak adanya SMS dan WA, saling bermaafan tak lagi lewat kartu Lebaran. Memang sih, lebih praktis dan hemat biaya tapi bisa dihapus (ataupun diperbanyak) kapan saja sehingga tak ada kenangan berbentuk fisiknya.
Apapun media kita untuk saling bermaaf-maafan, ketulusan niat dan kesucian hati sebelum terlontar kata maaf adalah faktor yang utama. Di hari yang fitri, biarlah salah paham dan dendam menguap di udara. Mari kita sambut bulan Syawal yang akan segera tiba dengan hati tanpa luka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H