Layar HP yang ketika itu juga tidak selebar smartphone zaman now acapkali menimbulkan 'kecelakaan'. Ini terjadi ketika seseorang menerima SMS maaf dari orang lain berupa kalimat puitis atau gambar artistik. SMS itu pun langsung diteruskan ke orang lainnya tanpa diperiksa atau diedit ulang isinya.
Akibatnya, nama pengirim SMS bermaafan waktu Lebaran adalah misalnya Bapak Adi, eh di bawah isi SMS-nya diakhiri dengan penutup: "Salam hormat dari Bapak Budi sekeluarga." Hahaha! Wah, lupa edit nama pengirim malah jadi buat penerima SMS berburuk sangka deh dan pengirim harus minta maaf (lagi) dengan mengirim ulang SMS.
Saling bermaafan via SMS juga jadi 'mati gaya' ketika pengirim SMS tidak menyebut nama sedangkan sang penerima SMS sudah tidak menyimpan lagi nomor pengirim. Si penerima SMS pun jadi menebak-nebak nama pengirim. Begitulah uniknya saling bermaafan via SMS dulu.
Bagi saya, pengalaman saling bermaaf-maafan ketika Lebaran via WA itu ya memang begitulah adanya alias standar saja. Jelas tidak sehangat via kartu Lebaran. Namun, kesalahan nama pengirim bisa diminimalisir sejak awal.
Umumnya sekarang saling bermaafan via WA itu dilakukan di grup yang ada daripada orang per orang. Memang lebih praktis dan efektif. Tapi, bisa jadi ada sebagian orang yang tetap lebih memilih untuk mengirimkan ataupun menerima permintaan maaf secara pesan WA pribadi (bukan via grup WA) karena merasa lebih dekat serta dihargai daripada via grup.
Bentuk ucapan saling bermaaf-maafan via WA juga yang paling lengkap. Mulai dari kalimat semisal pantun yang lucu hingga gambar atau video (multimedia). Banyak yang berasal dari ide kreatif maupun sebatas gagasan repetitif (pengulangan).
Untuk media sosial, saya belum pernah saling bermaafan di sejumlah akun. Saya lebih senang memakai WA karena lebih privat. Pastinya, kini via kartu dan SMS sudah lama tak lagi saya gunakan.
Kini, saya hanya menerima kartu Lebaran dari institusi resmi dalam lingkup profesi. Untuk hubungan pribadi, sejak adanya SMS dan WA, saling bermaafan tak lagi lewat kartu Lebaran. Memang sih, lebih praktis dan hemat biaya tapi bisa dihapus (ataupun diperbanyak) kapan saja sehingga tak ada kenangan berbentuk fisiknya.
Apapun media kita untuk saling bermaaf-maafan, ketulusan niat dan kesucian hati sebelum terlontar kata maaf adalah faktor yang utama. Di hari yang fitri, biarlah salah paham dan dendam menguap di udara. Mari kita sambut bulan Syawal yang akan segera tiba dengan hati tanpa luka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H