Pandemi COVID-19 telah mengubah (hampir) semua tatanan kehidupan. Tradisi menjelang Ramadan dan Idul Fitri termasuk yang terkena imbasnya. Tahun 2020 ini ada dua tradisi Ramadan dan Idul Fitri yang tidak saya rasakan.
Keduanya yaitu "Cucurak" di Bogor dan "Petasan" di Tangerang. Tahun-tahun sebelumnya, baik cucurak maupun petasan rutin saya jumpai. Keduanya memiliki kesan mendalam bagi saya.
Tradisi cucurak dimulai sekitar seminggu sebelum Ramadan. Biasanya saya dan para rekan kerja di kantor mengadakan cucurak 2-3 hari sebelum hari puasa pertama. Cucurak yaitu tradisi makan bersama yang beralaskan daun pisang.
Uniknya lagi, makanan dan minuman yang dihidangkan saat cucurak itu merupakan gabungan dari setiap peserta. Sebelum cucurak berlangsung, kami akan saling berbagi tugas tentang siapa membawa menu apa. Tujuannya yaitu agar tidak ada makanan yang sama dari peserta cucurak.
Cucurak memiliki menu yang tak boleh absen yaitu "nasi liwet." Selain nasi liwet, sambal, lalapan, dan ikan asin juga wajib hadir. Tahu dan tempe goreng serta kerupuk jadi pelengkap menu cucurak yang selalu ditunggu, maknyuus!
Inti dari cucurak antara lain "kebersamaan dalam menguatkan tali silaturahmi." Saat cucurak berlangsung, orang-orang akan saling memaafkan sebelum menjalankan shaum Ramadan selama sebulan. Cucurak juga bisa dilakukan sambil mengunjungi para senior yang sudah lama tak bersua.
Kesederhanaan cucurak dengan makanan beralas daun pisang dan duduk lesehan juga membuatnya semakin berkesan. Sebelum memulai Ramadan, idealnya hati kita dibersihkan terlebih dahulu. Kita pun dianjurkan tidak berlebih-lebihan saat berbuka shaum namun lebih baik berbagi rezeki seperti halnya saat cucurak.
Saat di Bogor saya mngalami cucurak, maka di Kota Tangerang, riuh-rendahnya suara petasan menemani Ramadan. Saat pawai keliling Ramadan dan menjelang makan sahur, banyak anak remaja menyalakan petasan untuk meramaikan suasana. Bogor merupakan lokasi saya bekerja sedangkan orang tua berdomisi di Tangerang sehingga saya sering pulang.
Sambil memukul-mukul kaleng dan membangunkan warga sekitar untuk makan sahur dengan meneriakkan "Sahur, sahur!", para remaja tersebut juga beberapa kali menyalakan petasan. Jumlah petasan yang dipakai semakin banyak di saat-saat terakhir Ramadan. Ketika malam Idul Fitri, suara petasan yang dibunyikan semakin lama dan ramai bersamaan dengan pekikan takbir.
Konon, tradisi menyalakan petasan bersumber dari kebudayaan Tiongkok kuno. Tujuannya untuk mengusir roh-roh jahat dan pengaruh buruk saat adanya perayaaan. Di zaman modern ini, petasan saat Ramadan lebih berfungsi sebagai alarm bersama untuk menandai datangnya wakt tertentu semisal makan sahur dan tibanya tanggal 1 Syawal.
Jadi ketika Ramadan ini, baik cucurak maupun bunyi petasan dihentikan untuk sementara, rasanya ada yang kurang bagi saya. Kekompakan tim di kantor saat menyiapkan cucurak adalah hal yang dinantikan sebelum Ramadan. Sementara itu, semaraknya pawai keliling Ramadan dan malam Idul Fitri semakin lengkap dengan gema takbir serta bunyi petasan.
Semoga Ramadan dan Idul Fitri tahun depan suasananya sudah normal kembali. Adanya sejumlah tradisi tertentu di dua waktu itu merupakan pengingat bagi segenap masyarakat akan segera datangnya bulan suci yang istimewa dan hari nan fitri. Tradisi tersebut juga mempererat rasa persaudaraan yang ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H