Saat membeli kalender di awal tahun, tanggal 1 Ramadan dan 1 Syawal sudah tercetak. Â Tanggal cuti bersama pun telah tertera di kalender tersebut.
Tak heran, banyak orang mempersiapkan jauh-jauh hari rencana mudik. Mulai dari memesan tiket kendaraan, oleh-oleh untuk keluarga besar di kampung halaman, hingga baju baru yang akan dipakai.
Untuk agenda Ramadan, sebulan sebelumnya para inisiator bukber pun mulai bekerja. Teman sekolah, kuliah, menjemput nafkah, tetangga, dan seterusnya mulai dihubungi satu per satu.
Saat banyak yang mengiyakan untuk bukber Ramadan, jadilah satu tanggal dipilih. Selanjutnya, teknis dan donasi bukber pun diatur dengan cermat.
Ya, selama ini manusia (modern) memang terbiasa dengan kepastian. Â Terlebih sejak adanya kemajuan teknologi informasi atau internet, kepastian seolah-olah menjadi suatu kebiasaan dalam keseharian.
Saya pun merasakan sejak adanya pandemi ini, semua kepastian itu sejatinya bukan kebiasaan. Banyak rencana yang sudah disusun, termasuk saat Ramadan ini, harus (rela) tidak dilaksanakan.
Bagi saya, momen tersulit di Ramadan 2020 ini adalah mengikhlaskan banyak impian yang tidak atau belum bisa terlaksana. Logika saya, dana dan waktu sudah ada, tinggal pelaksanaannya.
Manusia boleh berencana namun (hanya) ALLAH swt yang berkuasa. Satu per satu rencana saya mulai dari Maret hingga Juni 2020 nanti, termasuk selama Ramadan 2020, harus disusun ulang di tengah ketidakpastian yang terjadi saat ini.
Rencana mudik jelas menjadi rencana yang paling pertama dibatalkan. Padahal, Ramadan ini rencananya keluarga besar di Jabodetabek akan mudik bersama.
Selama ini, setiap keluarga mudik terpisah dan baru bertemu di kampung halaman di Jawa. Akhir tahun 2019 lalu, saat kumpul keluarga, para keluarga di Jabodetabek sepakat untuk pulang kampung bersama-sama dalam satu rombongan.
Titik keberangkatan mudik pun sudah ditentukan dari rumah keluarga paling senior. Cuti kerja juga dipilih pada tanggal yang sama agar tak ada yang tertinggal.
Ada keluarga yang sampai membeli mobil yang berukuran besar agar lebih banyak saudara yang bisa turut serta mudik bersama. Keluarga yang berencana umroh Ramadan ini juga merelakan untuk umroh di akhir tahun 2020 nanti supaya bisa mudik bersama keluarga lainnya.
Rencana tinggal rencana. Pemerintah resmi melarang mudik pada Ramadan tahun ini. Semua persiapan mudik pun kini hanya jadi kenangan Ramadan.
Sekalipun tidak mudik, awalnya kami pikir bisa leluasa bersilaturahmi di sekitar Jabodetabek. Ternyata, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) turut diberlakukan selama Ramadan ini.
Bagi anggota keluarga yang masih muda, kesempatan untuk mudik bareng keluarga besar itu masih terbuka lebar. Namun, untuk anggota keluarga yang sudah lansia (lanjut usia), urusan umur tidak ada yang bisa memastikan. Itu hal yang paling membuat sedih dengan batalnya mudik di Ramadan saat pandemi berlangsung.
Di luar urusan mudik keluarga, batalnya agenda kegiatan Ramadan bersama rekan dan teman di tempat bekerja juga membuat saya sedih. Acara seperti pesantren kilat Ramadan, bukber sekaligus santunan untuk anak yatim serta fakir miskin, dan yang lainnya terpaksa tak terlaksana di Ramadan ini.
Para donatur yang awalnya bersedia menyumbang sejumlah kegiatan tersebut pun ada yang mundur karena usaha mereka minim pemasukan selama terjadinya COVID-19. Saya memaklumi saat mereka lebih mengutamakan kesejahteraan karyawan mereka.
Ada pula donatur yang tetap menyumbang. Tapi, nominal donasinya sudah jauh menyusut. Jadilah kami, para panitia, ikut merogoh dana pribadi agar sumbangan anak yatim tetap berjalan seperti yang telah direncanakan, meskipun tanpa dibarengi bukber dengan mereka.
Memang jumlah donasinya tak sebesar seperti perkiraan awal. Meskipun begitu, kami senang karena tetap bisa membantu mereka di tengah segala ketidakpastian dan keterbatasan pada Ramadan ini.
Pengurus panti asuhan menuturkan, semenjak sebelum Ramadan, ada sejumlah donatur yang menghentikan sementara sumbangan mereka. Oleh karena itu, berapapun sumbangan yang diberikan, bantuan itu sangat berarti bagi para anak yatim di panti tersebut.
Setelah melihat kesulitan mereka, saya merasa malu jika banyak mengeluh selama Ramadan yang bersamaan dengan COVID-19 ini. Â Banyak orang yang nasibnya lebih sulit, namun mereka tetap berusaha optimis menjalani Ramadan.
Saya pun lantas tersadar. Momen tersulit di Ramadan ini bagi saya yaitu menerima kenyataan bahwa takdir ALLAH swt itu adalah yang terbaik bagi para hamba-Nya, sesulit apapun takdir itu pada mulanya.
Ramadan ini juga menyadarkan saya bahwa ketidakpastian hidup adalah suatu hal yang tidak bisa dihindari oleh seorang manusia pun di muka bumi ini, sekaya ataupun sepintar apapun dirinya. Kita memang harus (selalu) bersyukur saat untaian doa dan rencana kita dikabulkan oleh ALLAH swt yang Maha Kuasa. Namun, kita juga harus tetap berbahagia saat doa dan impian kita berbeda dari apa yang telah ditetapkan-Nya.
Mari kita senantiasa mengingat, segala sesuatu yang baik menurut kita, belum tentu itu yang terbaik di hadapan ALLAH swt. Tetapi, semua yang telah digariskan, seberat apapun itu, oleh ALLAH swt untuk para hamba-Nya adalah hal yang terbaik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H