Setiap hari, berapa kali kita memakai plastik? Alat mandi, wadah makanan dan minuman hingga perabot rumahtangga tak sedikit yang berbahan dasar plastik. Â Sifatnya yang ringan dan elastis, daripada kayu dan logam, dengan harga (sedikit) lebih murah membuatnya digunakan sehari-hari.
Di sisi lain, plastik adalah bahan yang paling sulit didaur ulang. Â Tak heran, kini sejumlah instansi resmi di Indonesia, termasuk sekolah dan universitas, melarang penggunaan minuman botol dan gelas plastik. Â Gantinya, air minum pun disediakan dalam gelas kaca atau gelas kertas sehari-harinya.
Akhir Juli lalu (Ahad, 28 Juli 2019), Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bersama Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan Kementerian Koordinator Kemaritiman menggelar acara gerakan "Satu Juta Tumbler" di GBK Jakarta. Tujuannya tentu untuk mengurangi jumlah sampah plastik.
Data dari Kominfo menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat kedua dunia sebagai penghasil sampah plastik sebesar 3.5 juta ton per tahun. Â Selain di daratan dan lautan, sampah plastik turut menimbulkan pencemaran udara. Â Dampaknya yaitu berkurangnya oksigen (O2) di udara.
Selama ini, kita lebih akrab dengan konsep bahwa oksigen berasal dari tanaman. Â Bagi (mantan) anak IPA, masih ingat kan proses fotosintes? Itulah penjelasan dari banyaknya sekolah yang mewajibkan para siswa baru membawa tanaman ke sekolah. Â Oksigen adalah produk dari fotosintesis pada tanaman.
Lalu, kenapa oksigen penting bagi manusia? Mengacu pada "Aturan Angka 3 (The Rules of Three)", tanpa makanan, manusia bisa bertahan sekitar 3 minggu, 3 hari tanpa air, dan (hanya) 3 menit tanpa oksigen. Â Absennya oksigen berdampak fatal bagi tubuh yaitu kerusakan otak hingga kematian. Â Hiiy!
Nah, siapa sangka bahwa ternyata hingga 10 persen oksigen yang kita hirup di bumi ini berasal dari (satu) jenis bakteri di lautan. Â Jadi bukan hanya tanaman di daratan yang menghasilkan oksigen, tapi mikroorganisme di lautan juga berperan penting sebagai produsen oksigen untuk kehidupan manusia.
Para peneliti dari Macquarie University di Sydney-Australia menemukan bahwa sampah plastik menghambat pertumbuhan dan fungsi tubuh bakteri laut yang bernama Prochlorococcus tersebut. Â Hasil penelitian biologi maritim itu telah dimuat dalam jurnal ilmiah Communications Biology pada Mei 2019. Â Â Â
Padahal, Prochlorococcus adalah bakteri penghasil oksigen terbesar dari lautan. Â Bakteri berwarna hijau itu berperan utama dalam rantai makanan dan fotosintesis di laut. Jumlah Prochlorococcus secara global sekitar 3 octillion (10 pangkat 27). Â Ada 27 nol di belakang angka octillion. Banyak banget yah jumlah nolnya?
Bakteri Prochlorococcus inilah yang menjadi sumber oksigen bagi ikan di lautan. Â Masih dari hasil penelitian yang sama, polusi sampah plastik di lautan diprediksi jumlahnya melebihi populasi ikan pada tahun 2050. Â Secara kesehatan maupun ekonomi, ikan laut bernilai gizi dan harga jual yang tinggi.
Kasihan nelayan lho, ke laut bukannya pulang membawa ikan untuk dijual dan dikonsumsi, tetapi malah mendapat plastik. Â Asam lemak pada ikan air laut sangat penting untuk fungsi otak, terutama untuk tumbuh kembang anak. Â Ikan laut pun tidak berpotensi membuat gemuk, seperti halnya daging merah.Â
Parahnya, plastik ternyata tidak hanya mencemari daratan dan lautan. Â Riset ilmiah terbaru lainnya juga mendapati plastik beresiko membuat anak obesitas. Kok bisa? Hasil survey ilmuwan kesehatan dari The Endocrine Society tersebut telah dimuat dalam Journal of the Endocrine Society pada Juli 2019.
Data US National Health and Nutrition Examination Surveys (Survei Gizi dan Kesehatan Nasional AS) tahun 2013-2016 menunjukkan adanya hubungan erat antara penggunaan plastik dengan tingkat obesitas pada anak dan remaja usia 6-19 tahun. Â Penyebabnya yaitu dua jenis zat kimia spesifik pada plastik.
Botol maupun wadah plastik untuk makanan dan minuman banyak yang mengandung Bisphenol S (BPS) dan Bisphenol F (BPF). Â Keduanya merupakan zat kimia pada plastik yang populer digunakan di Amerika Serikat untuk menggantikan Bisphenol A (BPA). Â BPA dapat merusak fungsi endokrin dalam tubuh.
Para peneliti dari NYU School of Medicine di New York-Amerika Serikat tersebut mendapati anak-anak yang terpapar lebih banyak BPS dan BPF memiliki berat badan lebih besar daripada anak-anak yang lebih sedikit terpapar. Kadar BPS dan BPF pada tubuh para anak dan remaja didapatkan dari uji tes urin.
Riset yang didanai oleh National Institute of Environmental Health Sciences (Institut Ilmu-ilmu Kesehatan Lingkungan Nasional) itu mendapati anak-anak yang tergolong obesitas karena BPS dan BPF juga berperut buncit (abdominal obesity). Â Fenomena itu terjadi pada anak laki-laki maupun perempuan.
Penelitian serupa memang belum dilakukan di Indonesia. Â Meskipun begitu, peluang hasil serupa, seperti halnya di Amerika, akan sangat tinggi. Â Mayoritas anak dan remaja usia sekolah di Indonesia sering menghabiskan waktu mereka di luar rumah dengan makanan dan minuman kemasan berwadah plastik.
Obesitas pada anak dan remaja jelas berbahaya secara kesehatan maupun pergaulan. Â Anak dan remaja obese akan rentan terserang penyakit degeneratif (stroke, hipertensi, diabetes, dan sebagainya) lebih awal daripada temannya yang berberat badan normal. Â Angka usia harapan hidup pun berkurang.
Selain resiko penyakit, para anak dan remaja yang mengalami obesitas akan cenderung digoda (bullying) oleh lingkungan sekitarnya. Â Efek bullying (perundungan) ini pun tak kalah bahayanya dari penyakit fisik. Â Trauma psikologis bahkan dapat berdampak hingga kecenderungan untuk bunuh diri. Â Â
Setelah mengetahui kedua hasil penelitian mengenai plastik di atas, mari kita biasakan hidup dengan (lebih) sedikit plastik. Â Contohnya, membawa alat makan dan minum dari kayu maupun logam saat berlibur ke pantai maupun kegiatan lainnya di luar rumah. Â Sedih deh waktu melihat pantai jadi lautan plastik.
Minim plastik juga bisa diterapkan saat berbelanja ke supermarket. Â Saat ada pilihan wadah makanan dan minuman dari kaca dan kertas, itulah yang lebih kita pilih daripada bahan plastik. Â Harganya memang (relatif) mahal. Tetapi, manfaat kesehatan dan lingkungannya jauh melampaui harga ekonomisnya, sepakat ya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H