Saat masih sekolah dasar dulu, apa yang akan Anda gambar saat diminta guru menggambar pemandangan? Â Bagi generasi SD tahun 70-an hingga 90-an awal di Indonesia, gambar gunung, sawah, dan rumah petani menjadi andalan. Â Tambahkan pula gambar matahari.
Selain gambar sawah, semasa SD dulu, saya juga ingat betul tentang posisi geografis Indonesia sebagai negara tropis. Â Hadirnya matahari sepanjang tahun membuat Indonesia cocok betul untuk bercocok tanam. Â Proses fotosintesis pada tanaman memerlukan sinar matahari.
Tahun 1984 Indonesia sempat mengalami swasembada pangan. Â Prestasi Indonesia tersebut diakui Badan Pangan Dunia yaitu FAO (Food and Agriculture Organization). Â Almarhum kakek sering bercerita tentang itu saat kami, para cucunya, ke sawah bersama beliau saat liburan.
Selepas kakek wafat, lahan sawah itu dijual. Â Sembilan orang anak kakek, termasuk Ibu saya, dan para cucu tak ada yang menjadi petani. Â Lahan sawah tersebut hingga kini masih menghasilkan meskipun hasil panennya semakin menurun dari tahun ke tahun.
Sekali waktu saya bertanya ke Ibu, "Kenapa anak-anak Kakek tidak ada yang menjadi petani?" Jawab beliau, "Petani itu berat kerjanya. Â Tetapi hasilnya tidak tentu dan sangat tergantung cuaca. Â Jadi (bertani) itu kurang bisa menjanjikan pendapatan tetap per bulan."
Setelah menjadi pengajar di sebuah kampus ekonomi, saya kembali menemui fakta minimnya minat mahasiswa menjadi agropreneur. Â Mayoritas mereka lebih memilih untuk berbisnis di bidang lain yang (cepat) menghasilkan uang seperti online fashion dan kuliner.
Padahal, petani di Indonesia umumnya berusia tua atau termasuk Generasi  Baby Boomer (lahir tahun 1946 -- 1964).  Menurut data SUTAS (Survey Pertanian antar Sensus) BPS tahun 2018, dari 27.68 juta petani utama, 64.20%, petani di Indonesia berusia di atas 45 tahun.
Saat ini, jumlah penduduk Indonesia yaitu 265 juta jiwa. Â Tahun 2025, total penduduk Indonesia diprediksi hingga 275 juta jiwa. Â Penambahan jumlah penduduk pastinya dibarengi dengan peningkatan konsumsi. Â Untuk mencukupi kebutuhan pangan, pertanian adalah kuncinya.
Lalu, bagaimana jadinya ketika jumlah petani (muda) minim? Â Terobosan Smart Farming dapat menjadi solusinya. Â Bukan sekedar smart, namun juga dapat berkembang sebagai TOP (Teamwork, Open-source, & Professional) Smart Farming. Â Berikut ini penjelasan lengkapnya.Â
Bagi masyarakat umum, termasuk mahasiswa saya. teknologi pertanian masih identik dengan alat-alat pertanian (alsintan) semisal traktor. Â Padahal, inti dari pertanian cerdas (Smart Farming) adalah pemanfaatan IoT (Internet of Things) untuk pertanian yang efisien dan efektif.
Satu waktu, seorang mahasiswa saya cuti kuliah setahun karena kurang biaya. Â Orang tuanya gagal panen padi di desa di Sleman Yogya. Â Penyebabnya yaitu musim kemarau berkepanjangan yang menghambat irigasi sawah. Â Saat itu, memang belum ada aplikasi KATAM.
Masyarakat Indonesia patut mengapresiasi kerja nyata Kementerian Pertanian (Kementan) RI untuk terwujudnya Smart Farming. Â Di bawah komando Mentan Amran Sulaiman, Badan Litbang Pertanian (Balitbangtan) telah memiliki beberapa capaian penting, termasuk KATAM.
Iklim jelas berperan penting dalam pertanian. Â Setiap daerah memiliki pola iklim yang berbeda-beda. Â Di Indonesia, luasnya daerah dan perbedaan geografis dari Sabang sampai Merauke membuat setiap lahan pertanian memerlukan data iklim yang selalu aktual dan akurat.
 Petani di Kolombia dapat terhindar dari kerugian sebesar 3 Juta Dolar untuk biaya pupuk dan bibit karena menunda masa tanam.  Saran tersebut diberikan Kementan Kolombia bersama International Center for Tropical Agriculture setelah mendapat data perubahan iklim di tahun 2014.  Â
Kerjasama antar sektor dalam Smart Farming sangat berpotensi untuk mendongkrak hasil panen regional dan nasional. Â Maka itulah, kerja tim antar instansi pemerintah dengan perusahaan swasta dan universitas, mutlak dihadirkan demi suksesnya Smart Farming di Indonesia.
Open-source agar Produktivitas Smart Farming Semakin Tinggi
Pemerintah menargetkan Indonesia sebagai Lumbung Pangan Dunia 2045. Â Caranya dengan peningkatan kapasitas produksi regional untuk mencapai kedaulatan dan ketahanan pangan nasional sehingga dapat mempertinggi peluang ekspor pangan ke pasar internasional.
Smart Farming termasuk Revolusi Industri 4.0 (berbasis digital) untuk peningkatan produksi pangan. Â Pemanfaatan Big Data, Machine Learning dan Internet of Things dalam Smart Farming mendukung petani untuk mengoptimalkan seluruh sumberdaya alam dan manusia yang ada.
Inovasi Smart Farming dari Kementan bahkan telah menarik minat universitas pertanian terbaik dunia. Â myAgri adalah aplikasi hasil kerjasama Balai Penelitian Sayuran (Balitsa) Balitbangtan Kementan dengan Wageningen University & Research (WUR) Netherlands.
WUR dari Belanda memegang gelar universitas pertanian terbaik di Belanda dan dunia selama 4 tahun berturut-turut sejak tahun 2016. Â Saat mengunjungi Museum Pertanian Bogor yang resmi dibuka untuk umu pada 22 April 2019, saya mencoba myAgri pada tablet yang ada.
Aplikasi gratis myAgri tersebut sangat sesuai untuk petani sayur yang ingin mengembangkan bisnis budidaya sayurnya. Â Mulai dari fitur varietas sayuran, pengendalian hama & penyakit, tingkat bahaya pestisida, hingga info cuaca & harga sayuran ada di myAgri, mantap!
Per 5 menit, RiTx memberikan notifikasi seputar kondisi lahan pertanian/perkebunan dan rekomendasi tanam. Â Agroberichten Buitenland bahkan menyimpulkan, peluang kerjasama pengusaha pertanian Belanda dan Indonesia sangat terbuka lebar dalam Smart Farming 4.0. Â Â Â Â Â Â Â Â Â
 Professional untuk Daya Saing Petani Smart Farming Mendunia
Berskala nasional apalagi global, kerja tim dan open-source semakin optimal dan produktif ketika dikelola oleh petani (berjiwa) muda yang profesional. Â Pastinya Smart Farming memerlukan petani yang visioner dan terbuka dengan perubahan serta ke(tidak)pastian di masa depan.
Faktanya, petani muda Indonesia (25-35 tahun) hanya 2.95 juta orang atau 11% sesuai data Survey Pertanian antar Sensus BPS tahun 2018. Â Sedangkan, generasi inilah yang menjadi tulang punggung tercapainya Indonesia sebagai Lumbung Pangan Dunia di tahun 2045. Â Â
Untuk mencetak lebih banyak agropreneur sukses dengan Smart Farming, Kementan telah mengubah Sekolah Tinggi Pertanian (STTP) menjadi Politeknik Pembangunan Pertanian (Polbangtan). Â Kini, kurikulum Polbangtan didominasi praktik (60%) dan sisanya teori (30%).
Keberadaan Museum Pertanian Bogor yang menghadirkan Galeri Pertanian Masa Depan juga bisa menarik minat generasi muda untuk bertani. Â Di lantai 3 museum pertanian terbesar di Asia Tenggara tersebut, pengunjung dapat melihat replika drone dan autonomous tractor.
Peran universitas dalam membentuk professional farmer harus terus diperluas. Â IPB bekerjasama dengan WUR Netherlands dan Universitas Zurich (UZH) Swiss dalam Smart Farming. Â Albert Einstein adalah salah satu alumni dari universitas terbesar di Swiss tersebut.
Kaum muda Indonesia harus mulai menyadari bahwa pertanian tak lagi identik dengan lumpur dan upah minim.  Adanya aplikasi pemasaran produk pertanian (Agricutural Marketing Apps) yaitu etanee dan Tanijoy adalah bukti pertanian dapat dikelola dengan smartphone.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H