Tahapan kehidupan seseorang seperti halnya lajang dan menikah serta lanjut sekolah atau kuliah harus menjadi pertimbangan sebelum berganti profesi. Komunikasi dan kompromi menjadi kata kunci sehingga profesi baru bisa dijalani sepenuh hati.
Bertambahkan jejaring pertemanan kita dengan profesi baru nantinya?
Pertemanan di sini tidak sebatas profesional, namun juga personal. Baik rekan profesional maupun teman personal membuat adaptasi pada profesi baru lebih menyenangkan. Kita bisa saling berbagi tentang pengalaman dan ilmu masing-masing.
Penambahan jejaring profesional dan sosial dalam profesi baru tentu saja lebih dari sekedar kuantitas. Tak tertutup kemungkinan, secara jumlah tidak bertambah secara signifikan. Tetapi, jejaring semakin bermutu karena kita dikelilingi para pakar.
Ini terutama akan sangat terasa pada profesi yang menuntut keahlian khusus maupun masih jarang pelakunya. Sebut saja, profesi seperti perencana keuangan (financial planner) dan fotografer untuk para ibu hamil (maternity photographer).
Profesi baru berarti (harus) keluar dari zona nyaman. Contohnya Achmad Hamami, kolonel termuda AU yang kemudian berbisnis. Sempat menjadi guru les matematika, pendiri PT Trakindo Utama itu kini termasuk orang terkaya di Indonesia.
Mantan Dirut KAI yang kini menjadi Menteri ESDM, Ignasius Jonan juga harus belajar dari nol saat memimpin PT KAI. Sekalipun awalnya awam tentang perkeretaapian, kualitas KAI semakin membaik di bawah komandonya selama 6 tahun.
Sebelum berganti profesi, ada baiknya seseorang sudah mengetahui segala macam resiko yang akan dihadapinya kelak sehingga tak mudah panik. Sikap optimis sekaligus realistis patut dimiliki seseorang yang telah mantap berganti profesi, setuju?
Sabarkah kita untuk menerima kenyataan yang tak sesuai harapan?
Kesabaran ini mutlak diperlukan agar seseorang yang berganti profesi tak lantas dicap sebagai kutu loncat. Wajar ketika seseorang mendambakan kehidupan dan penghasilan yang lebih baik dengan berganti profesi. Tapi, hidup (bukanlah) jalan lurus.
Tak heran, banyak orang yang menjalani profesi ganda sebelum akhirnya mantap memilih satu profesi saja. Adiwarman Karim, akademisi dan praktisi ekonomi syariah, sempat menjadi petinggi di bank swasta syariah sebelum menjadi konsultan.
Di awal karirnya sebagai konsultan, Adiwarman kesulitan untuk memperoleh klien. Sedangkan, ada sejumlah staf konsultan yang harus digajinya. Alhamdhulillah, kini lembaga konsultan miliknya -- berdiri sejak 2001 -- telah dipercaya klien terkemuka.
Siapkah kita menghadapi komentar (pedas) dari lingkungan sekitar?
Bisa dibilang, pola pikir (mindset) mayoritas orangtua di Indonesia adalah sang buah hati tercinta memiliki pekerjaan dengan penghasilan tetap per bulan. Padahal kan, anak zaman now lebih memilih "tetap berpenghasilan (besar) setiap bulannya" hehehe...
Wajarlah ketika sejumlah profesi baru di bidang ekonomi kreatif dan digital (blogger, vlogger, Youtuber, Selebgram) dianggap belum menjanjikan kemapanan masa depan. Untuk profesi kedua, tak mengapa. Tapi, jadi profesi utama? Eiit, nanti dulu!