Mohon tunggu...
Khairunisa Maslichul
Khairunisa Maslichul Mohon Tunggu... Dosen - Profesional

Improve the reality, Lower the expectation, Bogor - Jakarta - Tangerang Twitter dan IG @nisamasan Facebook: Khairunisa Maslichul https://nisamasan.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Manfaat Ilmiah "Sensor Mandiri" bagi Keluarga

31 Oktober 2018   10:10 Diperbarui: 31 Oktober 2018   12:51 644
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Film merupakan salah satu sarana hiburan untuk keluarga. Tampilan audio visual film mampu memberikan informasi sekaligus rekreasi. Namun, seringnya film yang diminati satu keluarga bukanlah film keluarga, terutama pada keluarga yang memiliki anak remaja. 

Remaja adalah peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Periode transisi ini perlu disiasati dengan bijak. Sebagai pendidik pertama dan utama, orang tua berperan strategis dalam membimbing anak, tak terkecuali tentang pilihan film yang akan ditontonnya. 

Sebelum ditonton khalayak umum, setiap film harus lolos sensor dari LSF. Hal ini telah diatur dalam UU No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Adapun Sensor Mandiri yaitu sensor yang dilakukan langsung oleh para penonton berdasarkan kategori usia dari LSF.

Sesuai kategori umur penonton menurut LSF (Lembaga Sensor Film), film diklasifikasikan menjadi Semua Umur (SU), 13 Tahun ke Atas (13+), 17 Tahun ke Atas (17+), dan 21 Tahun ke Atas (21+). Di sinilah, peran sensor mandiri sangat diperlukan.

Sayangnya, masih banyak orang yang menonton film di luar kategorinya. Kejadian ini umum terjadi saat sedang dirilisnya deretan film terbaru yang hangat dibicarakan. Film perang dan drama percintaan dewasa pun bisa ditonton anak dan remaja. 

Padahal, konten kekerasan dan pornografi (violence & pornography) dapat mengganggu tumbuh kembang anak dan remaja. Sementara itu, film bukan hanya berfungsi sebagai sarana hiburan, namun juga media pendidikan dan pengajaran.

Keluarga memiliki tugas mulia dalam membimbing setiap anggotanya untuk menonton film sesuai usianya. Maka itulah, berikut ini sejumlah manfaat dilakukannya sensor mandiri bagi keluarga berdasarkan hasil riset ilmiah para ilmuwan. 

Melindungi kesehatan mental sang buah hati

Selain kesehatan fisik, keluarga tentunya harus merawat kesehatan mental. Seperti halnya penyakit fisik, penyakit mental dapat melumpuhkan produktifitas sehari-hari seseorang. Contohnya antara lain depresi dan trauma.

Kesehatan mental orang dewasa sangat ditentukan dari kondisinya saat muda. Itulah sebabnya, LSF melakukan sensor ketat untuk setiap film yang beredar dengan mengategorikannya sesuai tahapan usia tumbuh kembang seorang manusia.

Penelitian Dr. Jordan Grafman, seorang ahli saraf dari Amerika Serikat pada tahun 2010, mendapati kekerasan di film mengurangi kepekaan emosi remaja (desensitize) dan mendorong sikap agresif. Hasil riset itu telah dimuat dalam jurnal Oxford University Press.

Ayah bunda wajib mengetahui konten film yang ditonton ananda tercinta. Sensor mandiri berupa pendampingan fisik (menemani menonton) maupun secara mental (diskusi dan komunikasi) akan melindungi kesehatan mental anak sejak dini.

Saat memilih film, seisi keluarga harus sudah mengetahui kategori yang sesuai usia masing-masing (theaterseatstore.com)
Saat memilih film, seisi keluarga harus sudah mengetahui kategori yang sesuai usia masing-masing (theaterseatstore.com)
Membentengi bahaya kecanduan di masa depan

Era media digital saat ini juga menyediakan film via internet dan media sosial (media streaming). Penonton lebih bebas memilih film, termasuk film yang tak tayang di bioskop.

Akibatnya, konten seksual yang hanya layak ditonton usia 17 tahun ke atas dapat diakses anak dan remaja melalui gawai (smartphone). Efek terparah dari menonton film porno sedari usia belia tentu saja kasus kecanduan seks di masa dewasanya kelak.

Kecanduan seks ternyata juga memicu terjadinya kecanduan obat-obatan. Para peneliti dari University of Cambridge Inggris pada tahun 2014 menemukan sistem kerja saraf pecandu seks mempunyai kemiripan dengan pecandu narkoba di bagian otak yang sama.

Bentuk nyata sensor mandiri untuk menangkal akses konten seksual film antara lain dengan pembatasan jam pemakaian gawai dalam keluarga. Solusi efektif lainnya yaitu anak diberi pemahaman tentang seks (sex education) yang diatur sesuai norma agama dan negara. 

Menaati aturan dan menghindari perilaku kejahatan

Keluarga yang aktif dan rutin melakukan sensor mandiri akan menghasilkan generasi penerus yang taat peraturan serta sadar hukum. Kategori konten film yang layak ditonton menurut usia adalah peraturan legal dari LSF sesuai UU dan sebagai badan resmi negara.

Namun, ketika seseorang sering menonton konten kekerasan sehingga menganggapnya sebagai suatu kewajaran, maka peluang terjadinya tindakan kriminal semakin besar. Dua penelitian yang berbeda dari Amerika Serikat menunjukkan buktinya.

Tahun 2013, psikolog dan sosiolog di Iowa State University mendapati kekerasan di videogames menjadi faktor resiko terjadinya kasus penyerangan. Bentuknya antara lain tawuran antar geng, pemukulan terhadap orang tua, dan penganiayaan kepada orang asing.

Tahun 2017, psikolog dari universitas tersebut menemukan bukti lebih luas yang menguatkan fakta kekerasan di TV, film, dan videogames memicu kriminalitas. Warga negara yang diteliti yaitu Amerika Serikat, Australia, Cina, Jepang, Jerman, Kroasia, dan Romania.

Bangsa yang berjaya dimulai dari keluarga yang berdaya. Bentuk keberdayaan itu dapat berupa sensor mandiri untuk mencegah pengaruh buruk konten yang tidak sesuai dengan nilai kearifan moral. Sejatinya, sensor mandiri lebih dari sekedar seleksi materi, namun juga tentang menghormati diri sendiri sekaligus menghargai karya seni yang terpuji.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun