19 Mei 1998, Ibu mengirim supir ojek terdekat dari rumah untuk menjemput saya pulang sekolah. Â Siang itu, seisi sekolah dipulangkan lebih cepat. Â Sempat bingung, alasan pasti jam belajar para siswa dipersingkat. Â Setiba di rumah, barulah saya tahu penyebabnya.
Saat itu, siaran TV menayangkan siaran langsung dari sekitar Senayan. Â Para mahasiswa menduduki gedung parlemen. Â Komplek DPR -- MPR dipenuhi ribuan mahasiswa, bahkan hingga menaiki atap bangunan. Â Era Orde Baru perlahan (tapi pasti) berganti menjadi era Reformasi.
Kenangan 20 tahun lalu itu begitu berkesan hingga kapan pun bagi saya. Â Sejak itulah, bagi saya pribadi, DPR identik dengan 'politik'. Â Pemilihan presiden dan anggota dewan secara langsung sejak Pemilu tahun 2004 semakin menyuburkan persepsi itu.
Masyarakat pun rutin disuguhi berita dan publikasi di media massa tentang DPR yang isinya (tak) jauh-jauh dari pemilu dan pilkada.  Gesekan antar anggota DPR dari parpol yang beroposisi tambah memperkuat kesan  seolah DPR dan (kisruh) politik menjadi kesatuan tak terpisahkan.
Menurut saya, branding kuat DPR sebagai 'institusi' politik sudah saatnya dievaluasi kembali (rebranding).  'Politik' telah menjadi top of mind dalam benak mayoritas masyarakat ketika ditanya tentang DPR. Padahal, pastinya (kerja) anggota DPR lebih dari sekedar mengurusi politik.
Sejatinya, DPR adalah suara hati (seluruh) rakyat Indonesia. Â Setelah aktif sebagai netizen (blogger) dari tahun 2014, saya mendapati, ibarat satu lingkaran utuh, politik itu salah satu irisan dari ruang kerja DPR. Â Sidang paripurna pada 2014 membuat publik bisa melihat sisi 'lain' DPR.
Profil dan kerja (nyata) para anggota DPR - seperti halnya Ceu Popong - inilah yang idealnya rutin disampaikan oleh DPR ke khalayak luas, terutama via media sosial. Â Masyarakat berhak mengetahui capaian konkrit dari kerja 11 Komisi di DPR yang bermanfaat untuk mereka.
Di era informasi digital kini, suara warga internet (netizen) jauh lebih cepat meluas sekaligus berpengaruh terhadap pembentukan opini massa. Â Para senior di DPR bisa berkata apa saja demi pencitraan. Â Namun, faktanya mayoritas kaum mudalah (youth) yang menjadi netizen.
Oleh karena itu, program pendidikan (politik) yaitu "Parlemen Remaja" dari DPR untuk siswa SMU yang telah berjalan sejak tahun 2008 patut diapresiasi dan diketahui segenap rakyat Indonesia. Â Tentunya, masyarakat juga berharap program tersebut tidak sebatas formalitas.
Rakyat Indonesia, tak terkecuali anggota dewan, jelas boleh punya pilihan parpol dan presiden yang berbeda. Â Meskipun begitu, semua anggota DPR wajib menjalankan tugasnya atas nama bangsa dan demi kesejahteraan bersama. Â Ingat, politik adalah alat dan bukan tujuan.
Maka itulah, apapun parpol pilihan masyarakat, aspirasi mereka layak didengarkan dan berhak diperjuangkan oleh anggota parlemen yang terpilih. Politiklah yang mengantarkan mereka ke gedung parlemen. Â Tetapi, amanat dari rakyatlah yang membuat DPR tetap ada dan berdaya. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H