Akhirnya, rakyat Indonesia (kembali) disuguhi pilpres baru 'rasa lama'. Petahana Joko Widodo (Jokowi) dan Ketum Gerindra, Prabowo Subianto, resmi maju sebagai calon presiden pada 2019 nanti. Sempat beredar kabar adanya 'Poros Tengah'. Ternyata, poros itu sebatas wacana.
Sebagai orang yang (awam) politik, artikel saya ini tidak akan membahas tentang seluk-beluk manuver politik dari kedua capres itu.Â
Tahun 2014, Jokowi yang dipercaya rakyat Indonesia sebagai RI-1. Lalu, di 'sequel episode' tahun 2019 nanti, siapakah yang akan jadi juaranya? Â Â Â
Maka itulah, tulisan ini membahas tentang (kemungkinan) strategi kampanye yang akan dilakukan oleh tim sukses setiap kubu dari sudut pandang marketing. Sebagai capres, baik Jokowi maupun Prabowo menjadi 'produk' politik yang harus dipasarkan ke seluruh rakyat Indonesia.
Marketing (pemasaran) dan politik telah lama menjalin kerjasama 'mesra'. Kata dasar marketing adalah 'market' (pasar). Jumlah politisi tentunya tak cukup dihitung dengan 20 jari-jemari. Namun, politisi yang (sukses) dikenal secara lokal maupun global jelas langka jumlahnya.
Kita tak bisa memungkiri kualitas kinerja sang politisi sebagai faktor pemicu dirinya dikenal khalayak luas. Tetapi, tanpa publikasi (tiada henti) dan riset pasar (market research) yang memadai, kumpulan sinyal prestasi seorang politisi bisa tak tertangkap radar masyarakat.
Tahun 2008, Presiden Barrack Obama memanfaatkan momentum booming media sosial sejak adanya Facebook tahun 2004 di negara Paman Sam tersebut. Tahun 2016, presiden Donald Trump -- sebagai pengguna aktif Twitter -- dan timsesnya juga mengoptimalkan media sosial.
Bagaimana dengan di Indonesia? Jokowi dan Prabowo sama-sama memiliki akun Instagram dengan pengikut (followers) yang signifikan jumlahnya. Lalu, apakah timses mereka (hanya) akan mengandalkan marketing 4.0 atau marketing in digital era atau digital marketing?
Marketing 1.0: Ketika Keunggulan Produk adalah Segalanya
Marketing 1.0 adalah marketing yang berfokus pada produk (product centric). Perusahaan (dalam pemilu, partai politik atau parpol) akan menjual 'habis-habisan' keunggulan produk/jasa/kandidatnya. Fitur terbaiknya ditampilkan (dipoles) agar calon pengguna tertarik.