Sekilas tiga kata di atas tidak saling berkorelasi. Â Namun, di bulan April ini, ketiga kata tersebut memiliki momentumnya masing-masing.Â
Hari Nelayan Indonesia diperingati pada 6 April, Kesehatan Sedunia dirayakan setelahnya atau 7 April, dan dua minggu berikutnya, 21 April adalah Hari Kartini. Ketiganya dapat disinergikan menjadi satu dalam bentuk pemberdayaan perempuan.
Selama ini, profesi nelayan identik dengan profesi maskulin. Hal tersebut karena mayoritas nelayan yang pergi melaut adalah kaum pria atau kepala keluarga.Â
Saat mengajak anggota keluarga untuk turut membantu menangkap ikan di lautan luas, anak laki-laki yang dipilih, bukan anak perempuan.Â
Istri yang juga ibu bersama anak perempuannya lalu menunggu di rumah selama sang ayah dan anak laki-laki pergi ke laut. Â Tetapi, apakah berarti peran perempuan, terutama secara ekonomi, dalam keluarga nelayan menjadi tidak signifikan?
Jumiati berasal dari Serdang Berdagai, Sumatera Utara dan Habibah tinggal di ibu kota, tepatnya Marunda Kepu di Jakarta Utara. Â Kedua perempuan tersebut menjadi contoh nyata bahwa nelayan perempuan memiliki peran strategis dalam pemberdayaan kondisi sosial dan ekonomi.Â
Caranya adalah dengan menanam mangrove di sekitar pantai di daerah mereka bersama nelayan perempuan lainnya. Hasilnya antara lain tepung kue, dodol, dan kerupuk dari buah serta teh dari daun mangrove sebagai komoditi perdagangan.
Sedangkan Habibah menggantungkan hidupnya dari menjual kerang yang ada di sekitar pantai Marunda. Kerang tersebut ada yang dimakan maupun dijual. Â
Jika masih tersedia lahan yang cukup luas di pesisir Marunda, Habibah dapat pula membudidayakan mangrove seperti halnya Jumiati. Namun karena reklamasi pantai Marunda yang terus-menerus, atas nama pembangunan dan modernisasi, maka budidaya mangrove sulit dilaksanakan di sana.
Selain meningkatkan perekonomian keluarga, kiprah Jumiati dan Habibah juga berkaitan dengan bidang kesehatan. Menurut Menteri Kesehatan RI, Prof Nila Djuwita F. Moeloek, SpM(K), hingga tahun 2017 lalu, Indonesia masih memiliki angka merah untuk angka kematian ibu dan bayi menurut Millenium Development Goals (MDG) yaitu 305 kasus per 100 ribu kelahiran.Â
Target angka yang ditentukan MDG yaitu 102 kasus kematian per 100 ribu kelahiran. Fakta memprihatinkan itu sangat memerlukan kerja sama dari semua pihak, pemerintah dan masyarakat untuk memperbaiki rapor merah tersebut.Â
Oleh karena itu, inisiatif Jumiati untuk menambah penghasilan keluarga, setelah dirinya hamil dan melahirkan, dengan mengoptimalkan potensi lokal daerahnya dapat menjadi salah satu alternatif untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi. Â
Kondisi ekonomi yang memadai dalam suatu keluarga berpengaruh besar dalam tingkat kesehatan dan status gizi ibu dan anak. Penelitian yang dilakukan oleh Profesor Ali Khomsan, dari Institut Pertanian Bogor pada tahun 2004-2005, pada masyarakat nelayan di Indramayu menunjukkan bahwa semakin tinggi status sosial-ekonomi suatu keluarga nelayan, semakin baik status gizi keluarga tersebut.Â
Kekurangan protein beresiko pada tidak optimalnya pertumbuhan bayi selama dalam kandungan maupun setelah dilahirkan. Â Penelitian Khomsan (2005) dari IPB mendapati bahwa status gizi keluarga nelayan di Indramayu juga dipengaruhi oleh tingkat kecukupan konsumsi protein dalam keluarga.
Hari Nelayan Nasional, Kesehatan Sedunia, dan Kartini tahun ini tepat kiranya untuk mengingatkan kembali masyarakat luas tentang pentingnya pemberdayaan perempuan, dalam hal ini nelayan perempuan, untuk menggerakkan roda pembangunan nasional. Â
Pemberdayaan perempuan, seperti cita-cita mulia R.A. Kartini dahulu saat mendirikan sekolah untuk perempuan, tidak hanya berdampak positif terhadap sang perempuan sendiri, tapi juga untuk kemajuan serta kesejahteraan keluarga dan masyarakat di daerah mereka tinggal.Â
Kewirausahaan yang telah dirintis Jumiati berhasil memberdayakan nelayan perempuan yang berpendidikan rendah. Banyak di antara mereka tidak lulus SD, bahkan buta aksara.Â
Tapi, berbekal ide yang aplikatif, semangat untuk maju dan kerja keras, keterbatasan pendidikan dan modal mampu diatasi dengan baik oleh Jumiati dan kelompok nelayan perempuannya.
Selain mangrove dan kerang, potensi maritim yang ada di lautan Indonesia masih banyak yang belum tergali. Produk perikanan selain dijual dalam bentuk utuh dan segar, juga dapat ditingkatkan nilai ekonomisnya dengan produksi lebih lanjut, tanpa harus mengorbankan nilai gizinya saat dikonsumsi.Â
Misalnya, produk nugget, bakso, dan sosis ikan yang bisa diproduksi dalam skala usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).Â
Sayangnya, belum ada koordinasi dan kerja sama yang sistematis dan komprehensif untuk mengoptimalkan potensi melimpah tersebut dari instansi pemerintahan dan swasta di Indonesia.Â
Maka, saat ini, sudah saatnya untuk mengurangi diskusi sebatas wacana yang banyak dilakukan oleh kalangan - yang menganggap mereka - terdidik dan terpelajar.Â
Tindakan nyata dari Jumiati dan Habibah, terbukti mampu memberdayakan perempuan, yang berujung pada meningkatnya status sosial-ekonomi, dan kesehatan masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H