Bagi seorang anak, kebaikan ibu tak akan pernah bisa dibalas dengan harta sebanyak apapun. Â Itu karena kasih sayang orangtua, terutama ibu memang sepanjang jalan alias tiada ujungnya. Â Sejak buah hati masih dalam kandungan hingga sang anak juga sudah menjadi orang tua, limpahan cinta dan perhatian dari ayah dan bunda itu selalu diberikan tanpa ada habisnya.
Ibu saya termasuk tipe orang tua yang mewujudkan rasa kasih dan sayangnya dalam bentuk perhatian, terutama makanan. Â Saat kecil dulu, Ibu rutin memasak makanan cemilan agar keempat buah hatinya tak sembarangan jajan di luar rumah. Â Pastinya snackringan buatan Ibu itu lebih lezat dan bersih serta bisa disesuaikan dengan selera kami rasa maupun bentuknya.
Setelah saya bekerja kini pun dan tak tidak tinggal serumah lagi dengan orang tua, Ibu pasti bertanya, "Mau dimasakkan makanan apa nanti waktu pulang ke rumah?" Ibu saya hafal menu favorit dari setiap anaknya maupun makanan pantangan kami berempat. Â Saat akan bepergian, Ibu sering membawakan kami bekal makanan yang kami sukai agar lebih hemat.
Seingat saya, Ibu jarang sekali memberikan hadiah berupa barang di luar makanan kepada saya dan ketiga adik saya. Â Maklumlah, Ibu bukan wanita bekerja sehingga beliau sangat efisien dan efektif dalam mengatur uang belanja dalam keluarga. Â Maka dari ibulah, saya belajar untuk selalu bisa membedakan antara kebutuhan dan keinginan serta hidup hemat sesuai prioritas.
Ah, Ibu tersayang! Beliau memang tipe perempuan yang lebih mementingkan fungsi daripada gengsi. Â Saya pun baru menyadari, hadiah yang diberikan Ibu setelah kami bekerja, khususnya saya, memang diberikan untuk menunjang kelancaran tugas profesional. Â Ibu memberikan saya beberapa potong rok untuk bekerja ketika saya mulai mengajar di kampus.
Di lain waktu, Ibu menghadiahkan saya sebuah Al-Qur'an khusus wanita lengkap dengan tata cara membacanya yang sesuai kaidah ilmu tajwid. Â Itu karena Ibu tahu ada pengajian rutin sebulan sekali di kampus yang khusus untuk para staf, dosen, dan mahasiswa. Â Kata Ibu bijak, "Jadi lebih masuk ilmu ngajinya kalau membawa Al-Qur'an yang komplit dengan cara bacanya."
Sebagai alumni sekolah zaman old yaitu PGA (Pendidikan Guru Agama), Ibu senantiasa menekankan pentingnya belajar ilmu agama kepada saya dan ketiga adik laki-laki. Â Menurut Ibu, "Saat hidup susah, dengan berpegang pada agama, InshaAllah, hidup akan terasa lebih mudah dan terarah." Â Setiap hari, kami terbiasa untuk membaca Al-Qur'an meskipun hanya 1 lembar.
Maka, selain dompet dan HP serta payung sebagai warga Kota "Hujan" Bogor, buku saku berisi zikir pagi dan petang dari Ibu itu selalu menjadi pengisi tas saya saat bepergian. Â Kalau tak sempat membaca seusai sholat di kamar, saya pun membacanya di kendaraan dengan waktu baca sekitar 10 menit. Â Kalau belum membacanya, seperti ada yang kurang lengkap di hari itu.
Ibu juga ternyata jeli melihat jenis barang yang rutin saya bawa tiap kali akan keluar rumah, terutama dompet. Â Sadar bahwa putri satu-satunya juga tak (terlalu) feminin seperti halnya beliau, maka dompet kulit hitam polos dengan banyak kantong untuk menyimpan kartu pun diberikannya untuk saya. Â Tahun ini, dompet dari Ibu sudah berusia lebih dari 10 tahun!
Syukur Alhamdhulillah, dompet hitam dari Ibu itu masih awet dan layak pakai. Â Sakingnyamannya dompet dari Ibu itu, saya pun tak tergoda untuk menggantinya dengan dompet baru yang lebih modis dan kekinian. Â Kalau pun nanti dompet itu sudah waktunya "dimuseumkan", saya akan tetap menyimpannya sebagai salah satu kenang-kenangan terindah dari Ibu tercinta.