"Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut (gunung) Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia." Itulah kutipan bijak Bung Karno tentang strategisnya peran pemuda dalam mengubah nasib suatu bangsa seperti halnya Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Lalu bagaimana dengan generasi muda Indonesia yang lahir 67 tahun setelahnya? Sama besarkah energi para Generasi Z (Gen-Z) tersebut -- lahir tahun 1995 hingga 2014 -- dengan para pendahulu mereka yang hidup penuh keterbatasan selama penjajahan?Â
      Sebagai generasi milenial, saya sudah berkuliah di era internet namun masih mengakses via komputer rumah atau di rental warnet.  Saat musim ujian, kegiatan organisasi mahasiswa pun (terpaksa) diliburkan.  Energi para aktivis di kampus harus dibagi seimbang antara kuliah dan berorganisasi agar nilai kuliah tetap indah.
      Setiap mahasiswa jelas memiliki keunikannya masing-masing.  Tapi, tentu ada mahasiswa yang menghadirkan kesan berbeda.  Salah satunya adalah Rima F. Putri, mahasiswi semester 3 dari jurusan Bisnis Manajemen Islam.  Pertama kali Rima mengambil mata kuliah saya di semester 2 lalu.  Waktu itu, dia terlambat datang hampir setengah jam.  Sempat tak akan saya izinkan masuk, namun merasa iba melihat keringat di wajahnya, saya pun memperbolehkannya masuk.Â
      Sekalipun kesan pertama (tak) mempesona, Rima kini menjadi mahasiswi kepercayaan saya.  Gadis asal Makassar yang lahir pada Oktober 1995 itu termasuk Gen-Z.  Di usianya yang ke-22, idealnya kuliahnya sudah tingkat akhir atau bahkan bertitel sarjana.Â
      Lalu, kenapa dia masih semester 3?  Apakah kemampuan akademiknya lemah?  Sama sekali tidak.  Semasa SMU, dirinya menjadi juara kelas.  Mungkinkah karena keterbatasan ekonomi?  Tidak juga.  Nah, dari Rima pulalah, saya menjadi lebih tahu sisi lain Gen-Z.  Besarnya potensi energi mereka tentu sangat tepat untuk dioptimalkan dalam pembangunan zaman now untuk masa depan Indonesia yang wow.
      Kalau boleh jujur, pasti  banyak dari kita atau generasi sebelum Gen-Z yang mengambil jurusan kuliah (lebih) karena  tuntutan keluarga daripada berkuliah sesuai bakat, minat, serta kemampuan diri.  Ternyata, hal tersebut berhasil ditaklukkan oleh Rima sekalipun dia harus jatuh bangun selama 2 tahun hingga berhasil kuliah di jurusan yang tepat dengan panggilan hati dan bakat alami dirinya.
      Rima sempat berkuliah di dua kampus negeri.  Namun, jurusan yang diambilnya bukanlah ekonomi, namun Statistika dan Matematika.  Alasan pemilihan jurusannya saat itu karena mayoritas keluarganya alumni teknik dan ilmu pasti.  Sebagai murid SMU, jelas dia kagum dengan para kakak sepupunya yang lulus sebagai sarjana teknik lalu bekerja dengan gaji besar.  "Gimana saya tidak jadi pengen juga, Miss?" ungkapnya jujur.