Penasaran, pernah secara pribadi, saya tanyakan langsung kepada sejumlah Mbak Admin Kompasiana dalam kesempatan yang berbeda, bagaimana caranya bisa tetap tenang dan penuh senyum (termasuk di luar admin konten seperti Mbak Dewi Retno dari Marketing Communication) saat bertugas, jawaban kompak mereka, "Kita nikmati aja, Mbak. Â Yang pasti, semua saran dan keluhan (dari Kompasianer) kita sampaikan ke manajemen. Â Keputusan akhir ada di mereka, bukan di admin."
     Hebatnya lagi, di sela-sela kesibukannya sebagai admin Kompasiana, tercatat dua nama Mbak admin yang sudah meluncurkan buku.  Setelah Idul Fitri 2017, Mbak Nurhasanah memang fokus mengembangkan bisnis pudding coklatnya yang berlabel Pawonenuy.  Namun novel fiksi Mbak Nur yang berjudul "Pagi Gerimis" dirilisnya saat masih menjadi admin.  Lalu Mbak Rachmah Dewi, admin konten yang aktif menulis di Kompasiana, juga telah menghasilkan buku bestseller"Semoga Pilihanku Juga Pilihan-Mu." Kesabaran dan ketekunan memang akhirnya berbuah manis.  Â
 Pesona Kompasianer Wanita dari Indonesia hingga Mancanegara
     Selanjutnya, inilah para wanita Indonesia yang tulisan berkualitasnya telah banyak menghiasi Kompasiana.  Salutnya lagi, para Kompasianer wanita itu sangat beraneka warna latar belakangnya.  Semua wanita Indonesia bisa berkarya luar biasa di Kompasiana, baik  yang muda dan tua, mahasiswi dan akademisi, ibu rumah tangga dan wanita bekerja, dari Sabang hingga Merauke, bahkan hingga Eropa.  Setiap Kompasianer jelas memiliki pesona uniknya tersendiri.
     Di Indonesia, saya kagum dengan Kompasianer Mbak Dewi Puspa yang konsisten menulis tentang review film, baik yang mainstream maupun film indie.  Ulasan film dari penyayang kucing ini membuat saya jadi tahu tentang kumpulan film berkualitas yang tidak terekspos luas, termasuk film animasi romantis Paperman dan Rudolf the Black Cat. Â
Kerennya lagi, Mbak Puspa ini bahkan tak segan merogoh kocek pribadinya lebih dalam untuk menonton film berkualitas tersebut alias review tak berbayar. Â Mbak Puspa juga memiliki idealisme dalam menulis sehingga tak sembarangan menulis karena semata mengejar keuntungan materi. Â "Anggap saja (materi) itu sebagai bonus, Nisa" ungkapnya di KRL seusai kami menghadiri event Kompasiana di Palmerah.
Sejak masih menempuh S1 Gizi di UNDIP-Semarang, dirinya sudah mantap menulis seputar dunia kesehatan yang dipelajarinya sehari-hari hingga kini menempuh S2 Gizi di UGM-Yogya.  Lagi-lagi, statistik artikel saya di Kompasiana masih kalah jauh dari Mbak Listhia yang juga sejak tahun 2014 aktif di Kompasiana.  Maka sangat wajar di Kompasianival 2017 ini, penulis yang sudah menghasilkan 357 artikel tersebut memperoleh penghargaan Kompasiana Award 2017 untuk kategori Best in Specific Interest. Selamat Mbak Lis dan terus konsisten menulis artikel kesehatan yang informatif ya.
     Di luar negeri, Kompasianer wanita yang menjadi panutan saya yaitu seorang senior citizen, Oma Roselina Tjiptadinata dari Australia.  Beliau bersama suami tercinta yang juga Kompasianer aktif dan Kompasianer of the Year 2014, Opa Tjiptadinata Effendi, rajin berbagi pengalaman hidup mereka berdua di Indonesia maupun mancanegara yang dapat dijadikan pelajaran berharga bagi generasi muda.  Di Jerman, ada Mbak Gaganawati Stegmann yang dengan bangga mempopulerkan budaya asli Indonesia, terutama tarian tradisional, ke warga Eropa. Â
Mbak Gana ini juga termasuk penulis buku yang produktif lho, termasuk buku keempatnya yang terbaru tentang serba-serbi hidup di Jerman sebagai orang Indonesia yaitu "Unbelievable Germany". Â Di Negeri Sakura, Mbak Weedy Koshino juga senantiasa berbagi info kisah hidupnya sebagai wanita Indonesia yang menikah dengan pria Jepang dengan gaya bertutur layaknya percakapan dua orang kawan lama; ringan namun berkesan. Â Sama halnya seperti Mbak Gana, Mbak Weedy ini juga penulis buku tentang suka-dukanya tinggal di Jepang, "Unbelievable Japan." Â