Inspirasi menjadi salah satu bahan bakar utama bagi pekerja kreatif. Penulis – termasuk blogger – juga sangat memerlukan inspirasi untuk menghasilkan tulisan. Banyak yang bilang, inspirasi bisa datang kapan pun dan di mana saja. Namun, jikalau inspirasi itu datang dari seorang yang sudah menjadi pakarnya, tentunya banyak semakin ilmu bermanfaat yang bisa digali.
Sebulan lalu, Selasa 1 November 2016, syukur Alhamdulillah, saya berkesempatan untuk menghadiri acara bincang-bincang (talkshow) bersama novelis Eka Kurniawan, penulis novel bertaraf internasional “Cantik itu Luka” dan “Lelaki Harimau” yang diselenggarakan oleh @america. Presentasi bertajuk “”Writing Inspirations from Eka Kurniawan” tersebut berlokasi di @america yang berada di lantai 3 gedung perkantoran Pacific Place SCBD (Sudirman Central Business District) Jakarta. Berdurasi selama 2 jam dari pukul 13 – 15 WIB, talkshow tersebut dipenuhi oleh para mahasiswa dan kalangan umum.
Eka merupakan (sedikit) dari novelis asal Indonesia yang karyanya sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing. Dua novel karya Eka yaitu “Cantik itu Luka (Beauty is Wound)” dan “Lelaki Harimau (Man Tiger)” bahkan telah masuk ke dalam kolom “Sunday Book Review” pada salah satu laman berita online terkemuka di negara Paman Sam, The New York Times (di sini). Nominator The Man Booker International Prize (2015) dan peraih The FT/Oppenheinmer Funds Emerging Voices Awards(2016) tersebut juga merupakan sahabat dari seorang peneliti terkenal yang berasal dari Cornell University Amerika Serikat, almarhum Ben Anderson (1936-2015).
Barulah setelah Eka bertemu dengan penulis sekaligus jurnalis asal Inggris, Tariq Ali, Eka tak bisa lagi berkelit dari ‘todongan’ Tariq (sekaligus permintaan Ben) untuk menerjemahkan novelnya. “Maklumlah. Berbeda dengan Ben, dia (Tariq) itu mantan aktivis. Setiap minggu, dia rutin mengirimkan email ke saya dengan isi yang selalu sama yaitu ‘kapan novel saya diterjemahkan?’ Lama-lama gerah juga saya digituin,” kenangnya sambil tertawa kecil.
Jadilah novel “Lelaki Harimau” yang diterbitkan lebih dahulu. Pertimbangannya praktis. Novel itu relatif lebih singkat. Setiap selesai diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh penerjemah tersumpah, Eka mengirimkan hasilnya ke Ben untuk dikoreksi terlebih dahulu. Penggemar bacaan novel, sejarah, dan filosofi di waktu luangnya tersebut juga berbagi pengalaman bahwa terkadang dirinya dan sang editor berbeda pendapat mengenai penulisan kata dalam bahasa Indonesia.
Namun, pada akhirnya, Eka memilih untuk mengikuti pendapat sang editor karena ujarnya, “Dia kan yang lebih paham tentang EYD (Ejaan yang Disempurnakan).”
Eka juga menambahkan, dirinya tidak memiliki resep khusus sehingga kumpulan novelnya sampai menjadikannya salah satu sastrawan tingkat dunia. “Saya senang mengamati kondisi masyarakat sekitar dan kemudian menuliskannya dari berbagai sudut pandang, termasuk imajinasi saya,” ungkapnya merendah. Sepulang dari acara tersebut, saya semakin menyadari bahwa pada akhirnya, karya apapun yang dilandasi inspirasi dan idealisme akan selalu mendapat tempat yang terhormat dalam masyarakat. Sepakat? Selamat menulis dengan sepenuh hati. Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H