Mohon tunggu...
Khairunisa Maslichul
Khairunisa Maslichul Mohon Tunggu... Dosen - Profesional

Improve the reality, Lower the expectation, Bogor - Jakarta - Tangerang Twitter dan IG @nisamasan Facebook: Khairunisa Maslichul https://nisamasan.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

[Resensi] Sosok Lanjut Usia, Namun Berdaya Luar Biasa

20 Mei 2016   12:37 Diperbarui: 20 Mei 2016   14:38 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Usianya yang sudah 73 tahun tak menyurutkan semangat Pak Hanggono dalam mengembangkan bisnis getuknya (Dokpri)
Usianya yang sudah 73 tahun tak menyurutkan semangat Pak Hanggono dalam mengembangkan bisnis getuknya (Dokpri)
Pak Hanggono (73 tahun) dari Magelang – Jawa Tengah, menjadi contoh nyata bahwa usia pensiun malah menjadi masa produktifnya.  Pendiri usaha kue “Getuk Marem”yang diwawancarai oleh Kompasianer Afandi Sido ini memulai usahanya sejak 30 tahun lalu atau di tahun 1986 (saat dirinya masih bekerja sebagai PNS) dalam rangka persiapan sebagai purnabakti kelak.  Sempat menjalani masa jatuh-bangun dalam membesarkan usaha kue getuknya, termasuk penjualan getuk yang sangat minim di tahun pertama usahanya, Pak Hanggono kini menjadi wirausaha “Jagoan” yang rajin mengisi program pendampingan dan pelatihan usaha bagi purnabakti pada program Dayakan Indonesia dari BTPN.  “Berani melangkah.  Itu kuncinya,” begitu tutur Pak Hanggono mengenai rahasia suksesnya.

Pak Suwono, pensiunan PNS yang berhasil mengubah masalah berupa limbah tinja menjadi berkah berupa pupuk pertanian organik (Dokpri)
Pak Suwono, pensiunan PNS yang berhasil mengubah masalah berupa limbah tinja menjadi berkah berupa pupuk pertanian organik (Dokpri)
Pak Suwono juga mampu tetap optimal beraktifitas setelah memasuki masa purnabakti PNS di tahun 1995 atau 21 tahun lalu.   Pensiunan PNS dari Ponorogo – Jawa Timur yang diwawancarai oleh Kompasianer Nanang Diyanto ini kini menjadi pengusaha pupuk organik yang berasal dari limbah tinja hasil sedotan dari usaha sedot WC yang dijalankannya terlebih dahulu.  Ya, masalah limbah tinja yang baunya ‘luar binasa’ tersebut diubahnya menjadi berkah sebagai pupuk organik yang meningkatkan kesuburan tanah pertanian. Luar biasa kreatif, bukan? Sejak tahun 2013, Pak Suwono rutin menjadi pembicara bagi pensiunan di BTPN Ponorogo.  Setelah berhasil mengubah masalah menjadi berkah, Pak Suwono masih menyimpan harapan untuk dapat mewujudkan agrowisata pertanian organik di Ponorogo sebagai proyek percontohan secara nasional maupun internasional.  Semoga segera terwujud, Amin.

Bukan hanya bank uang, bank sampah yang didirikan Pak Ayo (65) ternyata mampu menyejahterakan warga di Purwokerto (Dokpri)
Bukan hanya bank uang, bank sampah yang didirikan Pak Ayo (65) ternyata mampu menyejahterakan warga di Purwokerto (Dokpri)
Siapa sangka, masalah sampah malah menjadi berkah di tangan para kaum lansia.  Selain Pak Suwono dari Ponorogo, Pak Slamet Akhmad Mukhyidin (65) termasuk kaum senior yang sukses memanfaatkan sampah untuk memberdayakan warga dan meningkatkan pendapatan mereka di Purwokerto – Jawa Tengah dengan mendirikan Bank SBS (Bank Sampah Bintang Sembilan). Sejak 2012, Pak Ayo – begitu beliau disapa – aktif mengelola Bank SBS yang awalnya berupa Unit Pengelola Sampah.  Kompasianer Singgih Swasono yang mewawancarai Pak Ayo mendapati temuan bahwa di awal usahanya, Pak Ayo sempat mendapat penolakan dari warga, khususnya dari para pemulung dan jasa pemungut sampah.  Namun bukannya patah arang dan menyerah, mantan tukang bangunan itu malah terus mengajak warga sekitarnya dengan slogan: “Pilihlah sampah sejak di rumahmu, jadikan sampah menjadi berkah, jangan tunggu jadi musibah!” Hingga Mei 2015, Bank SBS telah memiliki 221 KK nasabah dan 95 komunitas.  Setiap Lebaran, para nasabah tersebut rutin mendapatkan THR dari dana simpanan mereka di Bank SBS.

Pak Munadji, pensiunan guru agama di Salatiga memberdayakan pemuda di bidang pertanian dan peternakan dengan mengoptimalkan ilmu pertanian Jawa Kuno yaitu
Pak Munadji, pensiunan guru agama di Salatiga memberdayakan pemuda di bidang pertanian dan peternakan dengan mengoptimalkan ilmu pertanian Jawa Kuno yaitu
Pak Munadji (65), pensiunan PNS guru agama pada tahun 2010 di Salatiga – Jawa Tengah, berhasil membuktikan bahwa “walau usia senja, tidak terlambat untuk memulai usaha.”  Pak Munadji yang ditulis kisah inspiratifnya dalam pemberdayaan SDM pertanian oleh Kompasianer Danang Dhave ini, sejak tahun 1988 aktif mengerakkan para pemuda untuk turun ke sawah, ladang, dan kolam yang tergabung dalam kelompok tani Bina Persada untuk memajukan pertanian dan perikanan.  Ketua KTN (Kontak Tani Nelayan) Salatiga tersebut prihatin dengan para generasi muda yang ogah menjadi petani atau nelayan karena dianggap sebagai profesi yang tidak bergengsi dan kampungan.  Selain memberdayakan SDM yang berkualitas untuk sektor pertanian dan nelayan, Pak Munadji juga memanfaatkan kearifan lokal dalam menentukan jenis tanaman yang paling sesuai untuk ditanam dengan musim pertanian (dalam bahasa Jawa , ilmu meteorologi Jawa Kuno ini disebut sebagai pranata mangsa/pengaturan musim).  Menurut Pak Munadji, sekalipun ilmu tersebut termasuk budaya dan pengetahuan pertanian kuno, para generasi muda yang ingin sukses bertani atau berternak dapat mempraktekkan ilmu pranata mangsa yang manfaatnya tak akan pernah lekang oleh zaman.

Pak Sunardi (65) tetap maju berusaha tambak ikan sekalipun pernah bangkrut saat krisis moneter tahun 1998 (Dokpri)
Pak Sunardi (65) tetap maju berusaha tambak ikan sekalipun pernah bangkrut saat krisis moneter tahun 1998 (Dokpri)
 Pak Sunardi (65) menjadi bukti luar biasa bahwa pensiun dini di usia ke-50 atau 6 tahun sebelum masa pensiunnya sebagai PNS di Tegal – Jawa Tengah merupakan pilihan hidup yang sangat tepat.  Purnabakti yang sukses membudidayakan ikan bandeng dan lele ini pada tahun 2012 pernah mengikuti pelatihan wirausaha di BTPN Kantor Cabang Tegal.  Pelatihan itulah yang membuat semangatnya untuk berwirausaha bangkit kembali setelah usaha yang dirintisnya sejak belum pensiun yaitu tambak udang windunya di tahun 1998 kolaps karena krisis moneter. Pak Sunardi kemudian menjadi lebih tahu caranya mengelola usaha, termasuk cara produksi, penjualan dan pemasaran produk, terutama kiat menghadapi segala resiko bisnis yang mungkin terjadi. Pendiri kelompok petani tambak lele Taruna Jayaini juga mengemukakan 4 syarat yang semuanya harus dimiliki seorang wirausaha yang ingin berhasil dalam bisnisnya – berdasarkan pengalamannya selama ini - yaitu ilmu, modal, keberanian,dan doa.  Kini Pak Sunardi terus melebarkan usahanya dari tambak ke usaha bisnis kuliner dan jual beli tanah.  “Berwirausaha memang tidak mudah, tapi tidak juga sulit, asal tahu tip-tipnya,” tuturnya kepada Kompasianer Akhmad Fatkhulamin. Semangat berusaha Pak Sunardi memang sungguh mengagumkan dan patut ditiru oleh para orang muda.       

Siapa saja bisa berdaya dan memberdayakan

           Lalu, apakah hanya orang tua dan purnabakti yang mampu berdaya dan memberdayakan? Bagaimana dengan kaum muda yang masih minim modal, pengetahuan, dan pengalaman? Jangan khawatir.  Buku “Hidup yang Lebih Berarti”ini juga memuat kisah unik dan menarik dari para orang muda yang terus konsisten berusaha, bahkan seorang pemuda yang baru berusia 19 tahun, wow! Namanya yaitu Faizal Abdillah yang gigih melestarikan kain tradisional yaitu Ikat Jawa.  Pemuda dari Desa Ketawangrejo di Purwokerto – Jawa Tengah tersebut mendirikan Komunitas Iket Jawa (KI Jawa) yang berfokus pada bisnis dan budaya.  Faizal (diwawancarai oleh Kompasianer Nia Ayu Anggraeni) saat ini sedang mengerjakan proyek Desa Wisata di desanya agar perekonomian warga desa terus meningkat, termasuk dengan memproduksi kain iket - dikerjakan oleh para ibu yang bekerja sebagai buruh tani di luar musim tanam dan panen - sebagai oleh-oleh khas Ketawangrejo.

Pak Taryat dan Bu Eli, pasangan muda pengusaha
Pak Taryat dan Bu Eli, pasangan muda pengusaha
Selain Faizal, ada pula kisah Pak Taryat (40) dan istrinya Bu Eli (38) yang mantap berwirausaha produk coklat batangan mulai tahun 2007 setelah hampi satu dekade sebelumnya bekerja sebagai karyawan.  Sempat disangka sebagai pesuruh saat menjual coklatnya di bazaar pada suatu sekolah, Pak Taryat yang turut menjadi pembicara saat peluncuran buku mengungkapkan bahwa usahanya yang diberi nama “Alia Chocolate” ternyata tidak hanya mampu menghidupi keluarganya, namun sekaligus juga menjadi perantara rezeki bagi keenam pegawainya.  Pak Taryat adalah nasabah BTPN sejak tahun 2012 untuk program Daya Tumbuh Usahadalam unit bisnis Mitra Usaha Rakyat.

Total ada 20 kisah inspiratif yang dapat dibaca pada buku ini.  Sila berikan buku ini kepada seseorang yang menurut Anda memerlukan inspirasi untuk berdaya atau memberdayakan.  Anda juga bisa mengunjungi website resmi program Dayakan Indonesia dari BTPN untuk mengetahui lebih lanjut dan lengkap tentang program bermanfaat untuk pemberdayaan masyarakat ini, termasuk jika Anda juga tertarik untuk bergabung. 

Bagi Anda, buku ini tentunya bisa berfungsi lebih dari sekedar koleksi bacaan yang wajib dibaca berulangkali.  Buku bersampul warna oranye cerah ini semoga dapat membuat hidup Anda semakin lebih berarti dengan menjadi sosok yang berdaya dan memberdayakan banyak orang seperti halnya kedua puluh orang yang telah ditulis kisahnya oleh para Kompasianer.  Salam dayakan Indonesia.           

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun