Wanita yang memilih tetap berkarir setelah menikah dan memiliki anak harus pandai mengelola waktu dan energi yang dimilikinya sehari-hari (Sumber Ilustrasi)
Era modernisasi pada saat ini telah menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah wanita yang bekerja di luar rumah. Hal ini dipicu oleh semakin tingginya tingkat pendidikan formal wanita belakangan ini sehingga ketika menikah wanita tetap bisa melanjutkan karirnya. Banyak wanita yang merasa sayang jika hanya tinggal di rumah setelah menikah dan lebih memilih menjadi ibu rumah tangga saja.
Tentu saja konsekuensi dari pilihan wanita untuk tetap berkarir setelah menikah adalah berlipat-gandanya tanggung jawab wanita tersebut, yaitu di dalam dan di luar rumah. Meskipun mayoritas wanita bekerja yang sudah menikah memiliki asisten rumah tangga, namun mereka tidak bisa menyerahkan tanggung jawab sebagai seorang istri dan ibu sepenuhnya kepada para asisten rumah tangga tersebut. Banyak wanita bekerja tersebut secara rutin memantau keadaan di rumahnya kepada para asisten rumah tangga saat jam istirahat makan siang melalui telepon. Sebelum pulang dari tempat mereka bekerja, tak sedikit pula yang memantau kembali keadaan di rumah mereka sebelum mereka sampai di rumah.
Beban ganda (double burden) yang dialami oleh wanita bekerja yang berkeluarga tentunya sulit dihindari karena mereka memang mempunyai multi peran dan fungsi yaitu sebagai istri dan ibu di rumah serta staf di instansi tempat mereka bekerja. Beban tersebut relatif tidak terlalu dirasakan dan dialami oleh para wanita yang hanya memiliki peran sebagai ibu rumah tangga. Tulisan ini tentu saja tidak bermaksud mengecilkan peran sebagai ibu rumah tangga yang seolah-olah santai dan jauh dari tekanan. Namun, tulisan ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana tingkat kelelahan lahir batin (burn out) yang lebih rentan dialami oleh wanita karir yang berkeluarga daripada ibu rumah tangga dan strategi untuk menghadapinya.
Jika dilihat dari ritme aktivitas sehari-hari, dapat dipastikan ritme kerja wanita karir yang berkeluarga lebih tinggi karena umumnya mereka sudah harus berada di kantor sebelum jam 8 pagi dan bekerja sampai pukul 4 atau 5 sore. Para wanita tersebut jelas harus mempersiapkan diri sebelum jam 8, baik untuk menyiapkan keperluannya sendiri sebagai wanita karir dan juga sekaligus keperluan suami dan anak-anaknya. Setelah pulang kerja pun, mereka juga masih harus terlibat dengan pengasuhan anak dan urusan rumah tangga lainnya sambil mempersiapkan diri untuk tugas-tugas di kantor esok harinya.
Semua kesibukan tersebut memang tidak dirasakan oleh para ibu rumah tangga karena fokus mereka hanya pada urusan domestik dan pengasuhan anak. Para ibu rumah tangga tidak dipusingkan dengan berbagai macam urusan dan tanggung jawab dari tempat mereka bekerja layaknya para wanita karir yang berkeluarga.
Karena itulah, para wanita yang memutuskan untuk tetap bekerja setelah menikah harus sudah memiliki kesiapan fisik dan juga mental sebelum menjalani peran ganda tersebut. Burnout yang mereka alami sangat rentan memicu konflik dalam rumah tangga karena sang wanita mengalami stress sehingga mudah tersinggung dan sulit berkerja sama dengan orang lain, baik dengan keluarga di rumah maupun rekan kerja. Beberapa cara untuk mencegah terjadinya burnout adalah dengan pengaturan waktu yang seimbang antara tugas di rumah dan di kantor. Selain itu, pembagian dan pendelegasian tugas di rumah dan tempat bekerja juga dapat menjadi solusi alternatif untuk mengurangi tingginya resiko burnout pada wanita karir yang berkeluarga.
Salah satu cara cerdas yang dapat diterapkan adalah penggunaan “Aturan 8 Jam” yaitu 8 jam untuk bekerja, 8 jam untuk beristirahat (tidur) dan 8 jam untuk bersantai, baik bersama keluarga maupun teman. Acapkali, para wanita karir yang sudah berkeluarga mendapati bahwa bahkan waktu 24 jam dalam sehari tidak cukup untuk menyelesaikan semua tugas, entah itu dalam lingkup domestik maupun profesional. Namun, hal yang harus selalu diingat oleh mereka adalah manusia bukanlah robot apalagi mesin yang bisa bekerja non-stop. Kecenderungan untuk memaksakan bekerja terus-menerus, bahkan saat di rumah, jelas menjadi penyebab utama burn out. Berikut ini adalah langkah-langkah praktis penerapan “Aturan 8 Jam”:
8 Jam untuk Bekerja
- Menyusun Skala Prioritas
Setiap malam sebelum tidur atau pagi hari segera setelah bangun tidur, tulis semua tugas dan kegiatan yang harus dilakukan dan diselesaikan pada hari ini atau keesokan harinya. Kegiatan tersebut terlihat sederhana dan tidak penting, namun itu membuat seseorang menyadari tingkat kepentingan suatu tugas atau aktifitas yang harus diselesaikan, bukan yang ingin dikerjakan.
- Disiplin pada Skala Prioritas yang Sudah Dibuat (Get Things Done)
Banyak dan sering terjadi, seseorang begitu piawai dalam menulis dan menyusun suatu rencana atau skala prioritas, namun realisasinya sangat minim. Oleh karena itu, setelah menyusun skala prioritas, harus dicamkan dalam diri seseorang, bahwa hal itu harus tercapai dan bukan sekedar catatan rapi tanpa realisasi. Ingatkan diri sendiri bahwa masih banyak tugas yang menunggu untuk diselesaikan sehingga menunda satu tugas, berarti menambah beban kerja, yang berarti juga mengurangi waktu untuk beristirahat dan bersantai bersama keluarga.
- Evaluasi Pelaksanaan Skala Prioritas
Kegiatan ini bisa dilaksanakan bersamaan pada saat menyusun skala prioritas. Evaluasi ini penting dilakukan karena menjadi tolok ukur keberhasilan penyelesaian tugas yang telah diprioritaskan sebelumnya. Evaluasi juga membantu dalam mencermati, hal-hal yang bisa dilakukan seorang diri, bersama tim, atau cukup didelegasikan kepada orang lain sehingga efisiensi dan efektifitas kerja tercapai.
8 Jam untuk Bersantai
- Pilih Satu Kegiatan bersama Keluarga atau Teman Setiap Hari
Agar kebersamaan dengan keluarga dan teman tidak luntur, maka pilihlah satu kegiatan yang bisa dan harus dilakukan bersama keluarga atau teman setiap harinya. Kegiatan itu bisa berupa makan malam bersama, beribadah bersama keluarga sebelum tidur, memasak dan menyiapkan makan, berkebun, berolahraga, dan masih banyak lagi. Meskipun tidak bisa dilakukan dalam waktu yang lama, hanya 15 sampai dengan 1 jam tiap harinya, jika dilakukan rutin setiap harinya, maka beban stress karena bekerja dapat berkurang pula dari hari ke hari. Manusia adalah mahluk sosial, sehingga keberadaannya bersama orang lain dalam bentuk interaksi sosial mutlak diperlukan.
- Luangkan Waktu untuk Diri Sendiri (Me Time)
Waktu untuk diri sendiri ini bukan berarti seseorang menjadi egois dan tidak mempedulikan kehadiran apalagi kepentingan orang lain. Selain berinteraksi secara sosial, seseorang juga memerlukan waktu untuk dirinya sendiri sehingga tercapai keseimbangan, terutama secara emosional dan spiritual, dalam dirinya. Me Time ini bisa diisi dengan membaca buku, menonton film, melakukan hobi, dan sebagainya.
8 Jam untuk Beristirahat atau Tidur
Setelah melakukan setumpuk aktifitas selama sehari yaitu 16 jam yang terdiri atas bekerja dan bersantai bersama keluarga, tubuh seseorang tentunya memerlukan tidur yang cukup sehingga kembali fit ketika beraktifitas kembali. Burn out memang tidak bisa dihindari, namun seseorang tentu dapat berusaha untuk meminimalisir terjadinya hal tersebut. Selamat mencoba!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H