[caption id="attachment_406348" align="aligncenter" width="448" caption="Pintu gerbang Taman Budaya Tionghoa-Indonesia di TMII Jakarta Timur (Dokpri)"][/caption]
“Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina.”Kutipan terkenal tersebut menggambarkan tentang peran penting Negera Tirai Bambu tersebut sebagai salah satu pusat ilmu pengetahuan di dunia.Di Indonesia, masyarakat keturunan dari dataran Tiongkok tersebut lebih akrab disebut sebagai ‘kaum peranakan’ atau orang Tionghoa.Di era tahun 70an hingga 90-an, tercatat beberapa nama masyarakat Tionghoa di Indonesia yang menorehkan prestasi emas di bidang bulutangkis (badminton) seperti Rudy Hartono juara All England termuda sekaligus terbanyak, serta peraih emas perdana Indonesia di Olimpiade yaitu pasangan Susi Susanti bersama Alan Budikusuma, dan lainnya.Lalu di bidang birokrasi dan pemerintahan, tercatat nama Kwik Kian Gie, Menko Ekonomi di era Presiden Gus Dur dan Megawati serta Basuki ‘Ahok’ T. Purnama, Gubernur DKI saat ini.
[caption id="attachment_406350" align="aligncenter" width="448" caption="Pembangunan Taman Budaya Tionghoa-Indonesia di TMII ini berlangsung dari tahun 2006 (Dokpri)"]
Hubungan masyarakat bumiputera dengan peranakan Tionghoa di Indonesia memang tidak selalu berjalan mulus.Pada era reformasi di tahun 1997/1998, hubungan harmonis yang sudah berjalan ratusan tahun tersebut sempat tegang karena ternodai dengan kasus kerusuhan sosial yang sama-sama menimbulkan korban jiwa di kedua belah pihak.Tahun 1999 hingga 2001, saat Abdurrahman ‘Gus Dur’ Wahid menjadi presiden RI keempat, hubungan baik masyarakat Indonesia dengan kaum Tionghoa kembali normal dengan ditetapkannya Imlek sebagai hari libur nasional dan Kong Hu Cu diakui sebagai agama resmi di Indonesia.
Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang diprakarsai pada tahun 1975 oleh First Lady Indonesia kedua, Ibu Tien Soeharto, juga turut menjembatani asimilasi atau pembauran budaya antara kaum Tionghoa dan masyarakat Indonesia.Presiden RI kedua, Soeharto, yang juga Ketua Yayasan Harapan Kita, meresmikan pembangunan Taman Budaya Tionghoa Indonesia (TBTI) pada tahun 2006 di TMII.Tahun 2012, Museum Hakka Indonesia (MHI) sebagai bagian TBTI dibuka bagi para pengunjung TMII.Selain MHI, di TBTI juga terdapat Museum Cheng Ho atau Museum Peranakan yang terletak tepat di samping MHI. Setelah mengunjungi keduanya, saya menyadari bahwa taman dan kedua museum tersebut memang sarana yang sangat tepat sebagai media perekat budaya antara kaum pribumi dan Tionghoa di Indonesia.
[caption id="attachment_406351" align="aligncenter" width="640" caption="Pintu 2 TMII yang buka dari pukul 7.00 hingga 22.00 (Dokpri)"]
Bagi Kompasianer yang tertarik untuk mengunjungi TBTI, ada baiknya masuk lewat Pintu 2 TMII karena lebih dekat jaraknya dan terletak setelah Museum Listrik dan Energi Baru (MLEB).Pengunjung TMII tidak dipungut bayaran saat berkunjung ke Taman Budaya dan kedua museum di dalamnya. Cukup membayar tiket masuk TMII saja.TBTI buka setiap hari sedangkan MHI buka dari Selasa hingga Minggu dari jam 9 pagi hingga 4 sore. Sebelum mengunjunginya langsung, silakan nikmati terlebih dahulu liputan berikut ini.Selamat membaca!
Taman Budaya Tionghoa Indonesia (TBTI)
Taman ini sungguh tepat bagi Anda yang ingin menikmati sejuknya alam sekaligus mempelajari sejarah kaum Tionghoa di Indonesia.Bagi yang membawa buah hatinya, bisa menyewa perahu bebek dan naga yang disewakan di atas danau.TBTI juga menyediakan tempat duduk yang nyaman serta pendopo untuk berkumpul.
[caption id="attachment_406352" align="aligncenter" width="336" caption="Patung pahlawan nasional Laksamana Muda TNI John Lie di Taman Budaya Tionghoa-Indonesia TMII (Dokpri)"]
Bukti nyata nasionalisme masyarakat Tionghoa di Indonesia dapat dilihat dengan hadirnya patung pahlawan nasional John Lie atau Jahja Daniel Dharma (1911 – 1988).Patung Laksamana Muda TNI yang berbintang dua tersebut berada dalam posisi berdiri dengan tangan kirinya bertumpu pada pedang panjang sementara tangan kanannya memegang Injil (Alkitab).
Selain berjiwa nasionalisme, masyarakat Tionghoa ternyata juga tetap mengenang tokoh leluhurnya yang bermoral mulia sehingga dapat dijadikan teladan bagi generasi penerusnya.Contohnya adalah patung Kwan Yu atau Guan Yu (140 -219 M).Jenderal ksatria yang setia, jujur, serta bijaksana dari marga Kwan tersebut memilih dihukum mati dan tetap setia pada negara yang dibelanya daripada harus menyerah sekalipun telah diiming-imingi harta oleh pihak lawan.Bahkan Kwan Yu kerap dipuja sebagai Dewa Kesetiaan (Kwan Sen Ti).
[caption id="attachment_406359" align="aligncenter" width="448" caption="Jembatan Kasih Sayang menuju Museum Cheng Ho dan Hakka Indonesia di TMII (Dokpri)"]
Jika ingin mengunjungi Museum Hakka dan Cheng Ho di TBTI, sebaiknya Anda melintasi Jembatan Kasih Sayang.Jembatan tersebut terletak tak jauh dari patung legenda cinta sejati yang abadi dan termasyhur dari Tiongkok, Sam Pek Eng Tay.Selain melalui Jembatan Kasih Sayang, pengunjung juga bisa menuju museum di TBTI melalui jalan lurus di dekat danau.
Museum Cheng Ho (Museum Peranakan)
Setelah puas berteduh di Taman Budaya, selanjutnya Anda bisa melanjutkan napak tilas tentang sejarah asimilasi atau pembauran marga Tionghoa di Indonesia dengan mengunjungi Museum Cheng Ho atau Museum Peranakan.Museum tersebut diberi nama dari pelaut muslim legendaris dari Tiongkok yang menjelajahi dunia, termasuk ke Indonesia.Daerah-daerah di Indonesia yang dilewati oleh Cheng Ho bersama armadanya antara lain Jakarta, Palembang, Deli, Aceh, Semarang, Surabaya, Tuban, dan Cirebon. Gedung museum merupakan sumbangan dari salah satu warga Tionghoa di Sentiur, Kalimantan Timur, Bapak H. M. Yos Sutomo.
[caption id="attachment_406361" align="aligncenter" width="640" caption="Museum Cheng Ho atau Museum Peranakan di TMII (Dokpri)"]
Di dalam Museum Cheng Ho, terdapat foto-foto dan sejarah singkat para tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia yang berasal dari marga Tionghoa.Mereka antara lain Oei Tiang Tjoei atau Permana (1893 – 1977) dan Yap Tjwan Bing (1910 – 1988) yang sama-sama berperan dalam persiapan kemerdekaan Indonesia di tahun 1945 sebagai anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia).Foto tokoh Tionghoa Indonesia yang berasal dari kalangan militer dan kini di masa pensiunnya aktif mengurus Taman Budaya, Him Tek Ji atau Brigjen TNI Purnawiran Tedy Jusuf juga terdapat di sana.
[caption id="attachment_406362" align="aligncenter" width="480" caption="Tokoh nasional dari etnis Tionghoa yang turut berjuang dalam kemerdekaan (Dokpri)"]
Dari kalangan akademisi, ada Profesor Tjan Tjoe Siem (1909 -1978) dari keluarga Tionghoa Muslim sebagai profesor Jawa Modern dan Dekan FSUI – sekarang FIB UI – dari tahun 1964 hingga 1968.Untuk penulis bermarga Tionghoa, ada Kho Ping Hoo atau Asmaraman Sukowati (1926 – 1994).Uniknya, meskipun banyak menulis cerita silat berlatar belakang Tiongkok, penulis yang tersohor dengan ceritanya tentang Pendekar Gunung Lawu tersebut tidak tidak menguasai kemampuan baca-tulis dalam bahasa Mandarin.
[caption id="attachment_406363" align="aligncenter" width="480" caption="Indonesia Kepadamu Kami Berbakti (Dokpri)"]
Selain sejarah, Museum Cheng Ho juga menyimpan foto dan koleksi sejarah budaya antara lain sepasang barongsai, Martavan atau guci besar dari keramik, batik peranakan, upacara pernikahan (Chio Tau), dan buku bacaan tentang yang berkaitan dengan marga Tionghoa di Indonesia.
[caption id="attachment_406378" align="aligncenter" width="448" caption="Koleksi motif batik peranakan di Museum Cheng Ho TMII (Dokpri)"]
[caption id="attachment_406364" align="aligncenter" width="448" caption="Bagian dalam Museum Cheng Ho di Taman Budaya Tionghoa TMII (Dokpri)"]
Hal menarik dari bangunan Museum Cheng Ho ini adalah bangunannya yang tetap sejuk dan terang meskipun lampu dan pendingin ruangan atau AC tidak dinyalakan.Setelah diperhatikan, langit-langit dan bangunan atap yang tinggi ternyata menjadi faktor penyebab bangunan tersebut sangat ramah lingkungan.
Museum Hakka Indonesia (MHI)
Selain marga Hokkian, keturunan marga Hakka juga banyak tinggal di Indonesia.Menurut petugas MHI, mayoritas marga Hokkian di zaman kolonial saat penjajahan Belanda dahulu memiliki tingkat pendidikan yang lebih baik dari marga Hakka.Hal ini disebabkan oleh garis keturunan leluhur marga Hokkian yang berasal dari keluarga bangsawan dari Tiongkok sementara marga Hakka adalah kalangan rakyat biasa.Setelah kemerdekaan, baik marga Hokkian maupun Hakka di Indonesia kini sama-sama sudah sejajar dalam status sosial ekonominya.