Mohon tunggu...
Khairunisa Maslichul
Khairunisa Maslichul Mohon Tunggu... Dosen - Profesional

Improve the reality, Lower the expectation, Bogor - Jakarta - Tangerang Twitter dan IG @nisamasan Facebook: Khairunisa Maslichul https://nisamasan.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sepenggal Cerita Tentang PNS dari Dunia Pendidikan

31 Agustus 2014   17:24 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:00 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_356468" align="aligncenter" width="570" caption="Para PNS Sedang Berkumpul (www.jpnn.com)"][/caption]

Mulai bulan Agustus 2014 ini, pendaftaran CPNS online kembali digelar seperti tahun 2013 lalu.  Bisa ditebak, lowongan CPNS tersebut membuat banyak warga Indonesia melamar.  Di era ketika gaung kewirausahaan sedang digalakkan, pesona profesi sebagai PNS ternyata tetap bernilai 'wah' pamornya.

Saya sendiri tidak ingin berpolemik tentang profesi PNS vs non-PNS.  Toh, itu semua tergantung pilihan dan panggilan hidup masing-masing.  Ayah saya dan keluarga besarnya mayoritas berprofesi sebagai pegawai swasta.  Sementara itu, Ibu saya dan keluarganya banyak yang menjadi PNS.  Berbeda dengan dua pilihan profesi di atas, saya sudah mantap memilih untuk menjadi 'Metropawon' (mengutip istilah Kompasianer, Mbak Avy) dan lebih banyak bekerja dari rumah (working from home) setelah satu dekade (sepanjang 10 tahun SBY berkuasa) merasakan dunia kerja di luar rumah, baik sebagai full maupun part-timer.

Kalau ditanya, apakah saya pernah menjadi PNS atau CPNS? Jawabnya adalah tidak.  Tapi, kalau ditanya, apakah saya pernah mengikuti tes CPNS? Wah, sudah hampir sepuluh jari frekuensinya.  Hasilnya? Nihil.

Saya yang awalnya sempat frustasi, lama-lama sadar.  Bisa jadi, keputusan saya mengikuti tes CPNS memang setengah hati.  Belakangang ini, saya baru menyadari, saya lebih menikmati dunia ekonomi kreatif (tulisan, lukisan, fotografi, fashion, kuliner, dan lainnya).  Kalau begitu, saya setuju dengan Steve Jobs, pendiri Apple bersama Steve Wozniak, yang mengatakan "Love what you do and don't settle until you've found it."

Sekalipun tidak pernah menjadi CPNS apalagi PNS, saya pernah beberapa kali bekerja sama dengan mereka.  Kesimpulannya, budaya kerja (corporate culture) dan sistem birokrasi PNS memang masih memerlukan banyak pembenahan sehingga profesionalisme dan idealisme bisa seiring dan sejalan.  Apa mungkin itu ya sebabnya saya tidak sepenuh hati mengikuti tes CPNS?

Menariknya, kemarin, Sabtu, 30 Agustus 2014, saat Nangkring Kompasiana bersama Sun Life Asuransi Syariah di Kafe Pisa, Menteng, Jakarta, saya duduk di sebelah Mbak Nanik Tri Winarsih, Kompasianer yang kini bekerja di Malaysia, yang pernah bekerja di BUMN bertahun lampau.  Singkat cerita, dengan gaya cerita mirip seorang kakak ke adiknya - meskipun kami baru pertama kali berkenalan - beliau memilih mengundurkan diri karena mentalitas pelayanan BUMN tempatnya bekerja yang (saat itu) masih berprinsip, "Kalau bisa dipersulit, kenapa dipermudah?" Tulisan lengkap beliau bisa dibaca di "PNS (Bukan) Untukku".

Sebelum bertemu Mbak Nanik melalui Nangkring Kompasiana, sebelumnya saya sudah membaca tentang tulisan Kompasianer lainnya, Mbak Ilyani Sudardjat, yang juga berkisah tentang PNS.  Bukan Mbak Ilyani yang sudah resign dari profesi PNS, namun sang suami.  Artikelnya yang menjadi HL pada 19 Agustus 2014 bisa disimak di "Bertahun Keluar dari PNS, Nama Masih Terdaftar & Gaji Jalan Terus?"

Lalu, pagi ini, artikel Kompasianer milik Mbak Cucum Suminar tentang rekruitmen CPNS, "Negatif-Positif Perekrutan CPNS Satu Pintu" juga menjadi HL.Ternyata, tidak hanya profesinya yang tetap menggiurkan, namun juga cerita tentang PNS selalu menarik minat banyak orang.

Berbeda dengan dunia swasta yang sangat memperhitungkan kinerja karyawannya, PNS (hingga saat ini) relatif belum terlalu 'dipaksa' untuk menyempurnakan kinerjanya, baik secara kuantitas, apalagi kualitas. Hal tersebut ternyata tidak hanya berlaku di kementerian atau instansi pemerintah lainnya, namun termasuk pula dunia pendidikan di kampus (perguruan tinggi negeri/PTN) serta sekolah negeri.

Saya pernah mendengar cerita seorang dosen PTN yang beristrikan seorang guru SMU negeri di Jawa Barat.  Demi mendapatkan tunjangan setelah sertifikasi guru, sang suami harus lembur berhari-hari untuk merapikan kelengkapan berkas sang istri, mulai dari menginventarisir, mengetik di komputer, hingga memfotokopinya!  Harap maklum, sang istri adalah guru senior yang tidak terbiasa dengan komputer, apalagi laptop.  Saya cuma bisa terbengong dan kehabisan kata ketika mendengar keluhan hati sang suami: "Mengetik saja harus saya yang kerjakan.  Tapi, tetap saja dia (sang istri maksudnya) yang dianggap guru profesional!"

[caption id="attachment_356469" align="aligncenter" width="225" caption="www.timikaexpress.com"]

14094552231512552304
14094552231512552304
[/caption]

Belum lagi, kisah guru yang melanjutkan S1 agar naik jabatan di sekolahnya.  Teman saya ada yang selalu repot mengerjakan hampir semua tugas kuliah bahkan hingga skripsi milik paman dan bibinya saat mereka melanjutkan tugas belajarnya untuk peningkatan kualitas guru SD negeri.  Padahal, teman saya itu sendiri juga sedang menyelesaikan S1nya di salah satu PTN bergengsi di Jawa Tengah.  Teman saya itu pernah protes kepada paman dan bibinya tentang 'tugas lembur' dari mereka.  Komentarnya, "Tidak usah bagus-bagus.  Yang penting selesai.  Memang dosennya sempat membaca tugas kuliah semua mahasiswanya?"

Ada lagi teman saya, seorang dosen swasta, yang ayahnya berprofesi sebagai dosen di PTN di ibukota.  Tiap kali melihat putrinya terobsesi dengan mutu tugas kuliah mahasiswanya, dengan santainya sang ayah malah berkata, "Dibaca judulnya saja lalu dilihat sekilas kerapian format laporannya.  Setelah itu, langsung dinilai.  Lebih praktis kan?" Waduh, kalau dosen PTN saja begitu gampangnya memberi nilai kepada mahasiswa, lalu bagaimana dengan kualitas sebenarnya kemampuan para mahasiswanya dan bukan sekedar mengacu pada nilai IPK di transkrip kuliah?

Saya pernah mengambil mata kuliah yang terkenal sulit dan diajar oleh para dosen killer saat masih kuliah S1 di salah satu PTN di Jawa Barat.  Kebetulan saya mengambilnya di semester pendek.  Bukan karena mengulang, tapi karena ingin mengisi liburan tengah tahun.  Saat masuk, koordinator mata kuliah sudah mewanti-wanti, bahwa nilai yang akan diberikan tetap amat selektif, sekalipun kami peserta semester pendek (SP).  Dosen itu pastinya sudah paham benar, banyak mahasiswa yang termotivasi mengambil SP, dengan konsekuensi membayar lebih, karena (biasanya) dosen lebih 'obral nilai' saat SP daripada mahasiswa di semester reguler.

Dosen alumni Jerman itu lalu bercerita bahwa mereka pernah menerima keluhan dari sebuah perusahaan multinasional di Indonesia tentang alumni mereka yang kurang kompeten di bidangnya saat bekerja.  Padahal, nilai IPK mahasiswa itu luar biasa bagus sehingga perusahaan tambang tersebut menerimanya menjadi pegawai.  Keluhan itu tentu saja membuat malu sekaligus kebakaran jenggot para dosen di PTN mahasiswa itu pernah berkuliah.  Sejak itu, para dosen di jurusan tersebut memutuskan untuk 'pelit nilai'.

Kebijakan yang awalnya terasa pahit bagi mahasiswa, dan tentu saja membuat para dosen dari jurusan tersebut semakin populer sebagai dosen killer.  Sedangkan saat itu, banyak dosen PTN yang mulai lebih longgar memberikan nilai pada mahasiswanya.  Saya ingat, saya sampai belajar mati-matian selama SP, bahkan hingga mengambil les tambahan dari senior agar bisa lulus mata kuliah.  Alhamdulillah, saya mendapat nilai B.  Dari hampir seratus peserta mata kuliah itu, hanya dua mahasiswa mendapat nilai A, belasan orang mendapat B, dan sisanya mendapat C.

Namun, kini saya selalu terkesan dan juga terkenang dengan mata kuliah maupun para dosen 'pelit nilai' tersebut.  Kenapa? Saya masih mengingat beberapa materi dasar yang penting dari mata kuliah tersebut hingga saat ini karena saya serius dan sungguh-sungguh memahaminya (meskipun awalnya lebih karena terpaksa) hingga bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.  Kita tentu patut mengapresiasi para dosen maupun guru PNS yang masih memiliki idealisme tinggi dalam dunia pendidikan.

Saya juga beberapa kali mengalami dan juga mendapati cerita teman yang turut serta dalam penelitian (baca: proyek) dosen di PTN yang ujung-ujungnya menjadi 'proyek terima kasih' (thank you project).  Para mahasiswa yang dilibatkan sebagai asisten dalam penelitian tersebut hanya mendapat imbalan ala kadarnya dan tidak seimbang dengan tugas yang mereka kerjakan.  Padahal, nominal dana yang didapat untuk penelitian dosen tersebut, terutama jika penyandang dana berasal dari luar negeri, sangat besar.  Bahkan hingga ratusan juta.  Setelah dana turun, ada saja dosen yang lalu membeli kendaraan atau rumah baru.

Sebagai penutup, saya ingin berbagi humor dari seorang dosen muda di PTN di ibukota.  Dia mengatakan, bisa memahami harapan besar dari masyarakat terhadap para pendidik yang berprofesi sebagai PNS.  Sudah menjadi rahasia umum, bisa menembus sekolah negeri dan PTN favorit di Indonesia masih menjadi kebanggaan tersendiri.  Wajar, jika kualitas guru dan dosen PTN pun diharapkan sama bergengsinya dengan tempat mereka mengabdi.  Namun, kualitas itu sudah selayaknya dibarengi pula dengan insentif yang memadai. Sehingga profesi dosen tidak lagi merupakan singkatan jenaka namun nyata "ngomong se-dos (banyak bicara), tapi gaji se-sen (gaji minim)".

Salam Kompasiana

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun