[caption id="attachment_356468" align="aligncenter" width="570" caption="Para PNS Sedang Berkumpul (www.jpnn.com)"][/caption]
Mulai bulan Agustus 2014 ini, pendaftaran CPNS online kembali digelar seperti tahun 2013 lalu. Bisa ditebak, lowongan CPNS tersebut membuat banyak warga Indonesia melamar. Di era ketika gaung kewirausahaan sedang digalakkan, pesona profesi sebagai PNS ternyata tetap bernilai 'wah' pamornya.
Saya sendiri tidak ingin berpolemik tentang profesi PNS vs non-PNS. Toh, itu semua tergantung pilihan dan panggilan hidup masing-masing. Ayah saya dan keluarga besarnya mayoritas berprofesi sebagai pegawai swasta. Sementara itu, Ibu saya dan keluarganya banyak yang menjadi PNS. Berbeda dengan dua pilihan profesi di atas, saya sudah mantap memilih untuk menjadi 'Metropawon' (mengutip istilah Kompasianer, Mbak Avy) dan lebih banyak bekerja dari rumah (working from home) setelah satu dekade (sepanjang 10 tahun SBY berkuasa) merasakan dunia kerja di luar rumah, baik sebagai full maupun part-timer.
Kalau ditanya, apakah saya pernah menjadi PNS atau CPNS? Jawabnya adalah tidak. Tapi, kalau ditanya, apakah saya pernah mengikuti tes CPNS? Wah, sudah hampir sepuluh jari frekuensinya. Hasilnya? Nihil.
Saya yang awalnya sempat frustasi, lama-lama sadar. Bisa jadi, keputusan saya mengikuti tes CPNS memang setengah hati. Belakangang ini, saya baru menyadari, saya lebih menikmati dunia ekonomi kreatif (tulisan, lukisan, fotografi, fashion, kuliner, dan lainnya). Kalau begitu, saya setuju dengan Steve Jobs, pendiri Apple bersama Steve Wozniak, yang mengatakan "Love what you do and don't settle until you've found it."
Sekalipun tidak pernah menjadi CPNS apalagi PNS, saya pernah beberapa kali bekerja sama dengan mereka. Kesimpulannya, budaya kerja (corporate culture) dan sistem birokrasi PNS memang masih memerlukan banyak pembenahan sehingga profesionalisme dan idealisme bisa seiring dan sejalan. Apa mungkin itu ya sebabnya saya tidak sepenuh hati mengikuti tes CPNS?
Menariknya, kemarin, Sabtu, 30 Agustus 2014, saat Nangkring Kompasiana bersama Sun Life Asuransi Syariah di Kafe Pisa, Menteng, Jakarta, saya duduk di sebelah Mbak Nanik Tri Winarsih, Kompasianer yang kini bekerja di Malaysia, yang pernah bekerja di BUMN bertahun lampau. Singkat cerita, dengan gaya cerita mirip seorang kakak ke adiknya - meskipun kami baru pertama kali berkenalan - beliau memilih mengundurkan diri karena mentalitas pelayanan BUMN tempatnya bekerja yang (saat itu) masih berprinsip, "Kalau bisa dipersulit, kenapa dipermudah?" Tulisan lengkap beliau bisa dibaca di "PNS (Bukan) Untukku".
Sebelum bertemu Mbak Nanik melalui Nangkring Kompasiana, sebelumnya saya sudah membaca tentang tulisan Kompasianer lainnya, Mbak Ilyani Sudardjat, yang juga berkisah tentang PNS. Bukan Mbak Ilyani yang sudah resign dari profesi PNS, namun sang suami. Artikelnya yang menjadi HL pada 19 Agustus 2014 bisa disimak di "Bertahun Keluar dari PNS, Nama Masih Terdaftar & Gaji Jalan Terus?"
Lalu, pagi ini, artikel Kompasianer milik Mbak Cucum Suminar tentang rekruitmen CPNS, "Negatif-Positif Perekrutan CPNS Satu Pintu" juga menjadi HL.Ternyata, tidak hanya profesinya yang tetap menggiurkan, namun juga cerita tentang PNS selalu menarik minat banyak orang.
Berbeda dengan dunia swasta yang sangat memperhitungkan kinerja karyawannya, PNS (hingga saat ini) relatif belum terlalu 'dipaksa' untuk menyempurnakan kinerjanya, baik secara kuantitas, apalagi kualitas. Hal tersebut ternyata tidak hanya berlaku di kementerian atau instansi pemerintah lainnya, namun termasuk pula dunia pendidikan di kampus (perguruan tinggi negeri/PTN) serta sekolah negeri.
Saya pernah mendengar cerita seorang dosen PTN yang beristrikan seorang guru SMU negeri di Jawa Barat. Demi mendapatkan tunjangan setelah sertifikasi guru, sang suami harus lembur berhari-hari untuk merapikan kelengkapan berkas sang istri, mulai dari menginventarisir, mengetik di komputer, hingga memfotokopinya! Harap maklum, sang istri adalah guru senior yang tidak terbiasa dengan komputer, apalagi laptop. Saya cuma bisa terbengong dan kehabisan kata ketika mendengar keluhan hati sang suami: "Mengetik saja harus saya yang kerjakan. Tapi, tetap saja dia (sang istri maksudnya) yang dianggap guru profesional!"