Peringatan (atau ancaman?) dari Kompasiana untuk mem-black list peserta Nangkring yang tidak membuat reportase membuat saya ngeri sekaligus termotivasi.Email konfirmasi dari admin tentang Nangkring bareng BKKBN Jakarta menjadi lebih ‘menggigit’ karena ada note yang berbunyi: Noted: Kompasianer yang tidak menuliskan hasil reportase acara ini akan di-nonaktifkan di 2 acara offline Kompasiana selanjutnya.Tapi, saya dapat memahami maksud note tersebut. Toh, hakikatnya Kompasiana adalah media untuk citizen journalism.
Nangkring Kompasiana bareng BKKBN pada Selasa, 14 Oktober 2014 lalu, menjadi kegiatan Nangkring ketiga saya selama tahun 2014 ini.Nangkring perdana saya selama tergabung sebagai Kompasianer adalah saat launching Kuldon Sariawan dari Deltomed di fx Lifestyle Sudirman Jakarta pada Mei 2014.Reportasenya yaitu Kuldon, Momen Perdana Nangkring bersama Kompasiana.
Selanjutnya, saya sempat mendaftar beberapa Nangkring offline, namun ada yang tidak berhasil.Kemungkinan besar karena saya mendaftar di akhir waktu menjelang deadline sehingga sudah tidak masuk daftar prioritas oleh admin Kompasiana.
Saya harus jujur kepada Bang Isjet dan Kang Pepih dari Kompasiana, pada Nangkring kedua saya bersama Sunlife Syariah Financial di Pisa Cafe Jakarta akhir bulan Agustus lalu, saya termasuk Kompasianer yang tidak membuat reportasenya.Untuk membela diri, saat itu saya terlambat satu setengah jam dari jadwal yang telah ditentukan karena KRL yang berangkat dari Bogor ke Jakarta juga telat hehehe..... Efek negatif dari keterlambatan itu adalah saya jadi ketinggalan acara di awal sehingga tidak bersemangat lagi membuat reportasenya #EkpresiTanpaDosa
Nah, belajar dari kesalahan pada Nangkring sebelumnya – di Nangkring ketiga bareng BKKBN, saya menyiapkannya sebaik mungkin.Mulai dari mendaftar hampir 2 minggu sebelum deadline, mengosongkan agenda di hari-H, bertanya info detil tentang rute menuju lokasi Outback Kuningan kepada Kompasianer Mbak Fitri Harsono, dan berangkat tiga jam lebih awal dari Bogor untuk menghindari kemacetan.
Alhasil, saya tiba 1 jam lebih awal di Outback sebelum waktu registrasi yang dijadwalkan jam 4 sore dimulai.Tapi, sesuai kutipan bijak pada papan pengumuman di Stasiun Kota yang pernah saya baca, “Lebih baik berangkat tiga jam lebih awal daripada terlambat satu menit.”
Saat saya tiba di Outback Kuningan,di lokasi saya baru melihat para panitia yang masih menyiapkan perangkat audio visual.Selain itu, terlihat pula Kompasianer Rahab Ganendra yang sedang berbincang dengan moderator Wardah Fajri.
Awalnya saya mengira MC Nangkring bareng BKKBN, Mbak Citra Agnesia, termasuk Kompasianer yang juga sudah hadir.Namun, setelah melihat wajahnya, saya teringat bahwa presenter yang cantik dan juga ramah tersebut juga menjadi MC Nangkring bareng Sunlife.Kami lalu berkenalan dan sempat berbincang selama hampir 10 menit.Mbak Citra yang tinggal di Serpong Tangerang ternyata sudah tiba dari jam 2 siang di Outback.Saat mengetahui saya dari Kota Bogor, Mbak Citra menuturkan dia pernah menjadi presenter di salah satu wahana hiburan di Bogor.Presenter yang interaktif dan murah senyum tersebut juga tampil di TVRI sebagai presenter acara kuliner.
Sambil berbincang santai dengan saya, Mbak Citra juga sedang mempersiapkan diri dengan membaca run down acara.Ketika ditanya tentang suka-dukanya menjadi MC selama ini, menurutnya profesi MC itu dijalaninya seperti seolah-olah sedang bermain sehingga tidak terasa berat, apalagi sampai menjadi beban.Wah, prinsip bekerja yang sangat menarik dan inspiratif dari Mbak Citra.
Percakapan kami terhenti saat Mbak Citra dan moderator Mbak Wardah Fajri melakukan final briefing.Saya lalu memilih untuk mencari toko buku di Kuningan City sambil menunggu registrasi Nangkring dimulai jam 4 sore.Ternyata,tidak ada toko buku di sana.Akhirnya, saya memutuskan untuk ber-window shopping dari lantai dasar hingga yang tertinggi.Kalau untuk berbelanja, lain kali saja hehe...
Ada beberapa fashion outlet yang sempat saya tengok.Namun, outlet yang paling berkesan bagi saya adalah satu brand perlengkapan bayi dan balita.Di salah satu baju untuk bayi laki-laki, ada tulisan unik dan menggelitik “Cool like Daddy, Yummy like Mommy.”Spontan saya teringat slogan KB dari BKKBN “Dua Anak Cukup.Kaos bayi itu bisa menjadi media sosialisasi program KB yang out of the box dengan menambahkan kalimat “Cool like Daddy, Yummy like Mommy, from One Little Happy Family.”
Saat kembali lagi ke Outback pada jam 4 sore, sudah banyak Kompasianer yang hadir.Saya lalu berkenalan dengan Kompasianer senior Pak Syaiful Harahap yang pernah bekerja sebagai wartawan tabloid Mutiara.Beliau sempat berbagi tips kepada saya dan Kompasianer dari Depok, Mbak Fadlun Arifin, tentang penulisan blog dan teknik fotografi yang bisa dipraktekkan para pemula seperti pentingnya suasana kehidupan yang tampak di objek yang sedang dipotret.Mas Agung Han yang biasanya hanya saya baca artikelnya di Kompasiana juga akhirnya bisa saya jumpai langsung.
Saya juga berkenalan dengan Mbak Ria Astuti yang hobi menulis puisi – yang menurutnya adalah curahan kegalauan hatinya – di kanal fiksi Kompasiana.Pak Tubagus Encep (TE) hadir sambil membawa satu set kuas make-up untuk sang istri tercinta yang juga Kompasianer, Bunda Ai, sebagai salah satu pemenang reportase Beauty Class bersama Paula Meliana.Pak TE memang suami siaga yang patut dicontoh kaum muda karena sayang dan bertanggungjawab kepada istri hehehe...
Serapi-rapinya persiapan saya untuk Nangkring BKKBN, ternyata kamera saya tertinggal, duh... Syukurlah ada Mbak Maria Margaretha yang berbaik hati untuk berbagi dokumentasi Nangkring via email kami.Yup! Sesuai dengan tagline Kompasiana, Sharing and Connecting.Thanks so much, Mbak Maria!
Mas Isjet yang mewakili Kompasiana membuka acara Nangkring dengan sedikit berkampanye tentang Verifikasi Biru.Sebelum mendapat warna biru, Kompasianer tentunya wajib terverifikasi warna hijau.Menurut Mas Isjet, verifikasi hijau untuk membuktikan bahwa keberadaan Kompasianer memang nyata atau bukan seseorang dari daerah antah-berantah dengan ribuan akun yang tak kredibel.Ajaibnya, ada peserta Nangkring BKKBN Jakarta yang ternyata belum terverifikasi hijau saat ditanya oleh Mas Isjet! Wah wah wah....
Adanya kebijakan verifikasi biru dan wajibnya membuat reportase setelah Nangkring – kalau tak ingin dicoret namanya dari dua acara offline berikutnya, membuat saya memutuskan untuk menulis dua reportase sesudah mengikuti setiap Nangkring – paling lambat seminggu setelahnya - dimulai dari Nangkring BKKBN Jakarta ini.Reportase Nangkring nantinya akan berisi info dan gaya penulisan yang berbeda, yaitu “S3 vs SerSan” atau “Super Serius Sekali vs Serius tapi Santai”.
Sesegera mungkin, info penting yang dikemas dengan gaya penulisan lebih serius – mirip kolom Opini di harian cetak Kompas – menjadi reportase prioritas utama saya.Syukur alhamdulillah, 9.5 jam setelah Nangkring BKKBN Jakarta berakhir pada pukul 8 malam, esoknya, pada hari Rabu, 15 Oktober 2014 jam setengah enam pagi, saya sudah berhasil memuat reportase pertama dari Nangkring BKKBN Jakarta.Setelah saya baca lagi, reportase pertama yang berjudul “Reportase Nangkring BKKBN Jakarta: Sinergi Informasi, Mindset, dan Kesalehan Sosial” itu tampaknya sudah cocok menjadi bahan acuan atau referensi untuk tugas mahasiswa saking seriusnya bahasanya hahaha....
Nah, reportase saya yang kedua dari Nangkring BKKBN Jakarta ini tentunya lebih rileks atau bersifat lebih ilmiah populer.Saya usahakan untuk tidak mengulangi informasi sama yang sebelumnya sudah saya tulis.Sederhananya, padareportase yang pertama, saya akan lebih banyak mengulas tentang tema atau konten acara.Sementara itu, untuk reportase kedua, isinya juga akan meliputi hal-hal di luar tema acara, termasuk tentang makanan dan minuman yang disajikan saat Nangkring yang pastinya enak-enak plus gratis juga hehehe... Terima kasih ya Mas Fandi Sido untuk masukan ide cemerlangnya tentang reportase konsumsi Nangkring di kolom komentar reportase pertama milik saya dari Nangkring BKKBN Jakarta.
[caption id="attachment_367670" align="aligncenter" width="450" caption="Pak Sonny Harry, Ketua LD FEUI & Narasumber Nangkring BKKBN Jakarta: (Calon) Menteri Kependudukan 2014 - 2019? (www.konfrontasi.com)"][/caption]
Pak Sonny Harry B. Harmadi dari Lembaga Demografi (LD) FEUI menjadi narasumber pertama yang mengawali diskusi. Dosen FEUI yang tahun depan akan berusia 40 tahun tersebut dari awal acara terlihat santai dan banyak melontarkan candaan yang menyegarkan suasana.Sesegar lemon tea ice yang telah disiapkan oleh manajemen Outback untuk para Kompasianer hehehe....
Selain humoris, Pak Sonny yang berasal dari Surabaya itu juga tak sungkan berbagi sedikit tentang latar belakang beliau yang berasal dari keluarga bersahaja.Pakar demografi yang juga Ketua Koalisi Kependudukan Pusat tersebut berayahkan seorang pegawai negeri sipil dari tingkat yang sederhana dan ibu seorang guru SMP swasta.Beliau sayangnya tidak menceritakan jumlah saudara kandung beliau.Kisah beliau tentang keluarganya yang cukup unik adalah tentang budenya yang memiliki 8 orang anak.Saking seringnya melahirkan, sang bude sampai tidak terasa ketika perutnya telah mengeluarkan anak kedelapannya saat persalinan! Ada-ada saja.
Pak Sonny yang mengaku kemampuan bahasa Inggrisnya pas-pasan – tapi, kok Bapak sudah pernah bertemu Direktur IMF bidang Asia-Pasifik ya? Hehehe – lalu mengawali penuturan beliau yang lebih serius tentang penting informasi yang akurat sehingga menghasilkan values (nilai-nilai) yang tepat.Beliau mencontohkan, saat masih kecil dan berkunjung ke rumah neneknya yang berlantaikan tanah – sang eyang putri menyuruhnya untuk memakan daging ayam karena menurut beliau, daging ayam mengandung vitamin.Setelah dewasa, Pak Sonny baru sadar, informasi neneknya tersebut kurang akurat.Kenapa? Daging ayam merupakan sumber utama protein sedangkan vitamin lebih banyak terdapat pada buah dan sayur.
Tak heran, setelah mempelajari demografi setiap malam – karena Pak Sonny sebenarnya secara formal berpendidikan ekonomi, akhirnya beliau menyadari nilai penting dan strategis dari adanya data demografi yang akurat untuk merumuskan arah dan program pembangunan nasional yang tepat.Menurut Pak Sonny lagi, Bonus Demografi merupakan jembatan antara ilmu ekonomi dan demografi.Jumlah penduduk usia produktif sekaligus berkualitas yang lebih besar dari usia anak dan lansia jika dapat diberdayakan secara optimal dapat mendongkrak tingkat pertumbuhan dan pemerataan ekonomi di satu negara.Setuju sekali, Pak! Penambahan kuantitas memang idealnya seiring sejalan dengan peningkatan kualitas.
Pak Sonny lalu memberi contoh, jika ledakan jumlah penduduk tidak terkendali dan tanpa dibarengi fasilitas infrastruktur yang memadai tentunya akan menimbulkan masalah sosial yang harus dihadapi seluruh rakyat.Selain masalah macet, kepadatan penduduk di Jakarta juga Pak Sonny rasakan di rumahnya sendiri di daerah TB Simatupang berupa terbatasnya pasokan air bersih sehari-hari.Bahkan sekalipun jika sudah memasang pompa air yang bertenaga luar biasa besar.
Saya langsung terenyuh sekaligus mengucap syukur alhamdulillah setelah mendengar curahan hati Pak Sonny tentang langkanya air di Jakarta.Monggo Pak Sonny dan keluarga, tertarik pindah ke Kota Hujan alias Kota Bogor, tempat saya tinggal selama 14 tahun terakhir? Hehehe....
Insya Allah, pasokan air aman di daerah Bogor karena ada Kebun Raya Bogor yang pepohonan berusia ratusan tahun di dalamnya menjadi daerah resapan air terbesar di Bogor, selain sebagai paru-paru kota.Tapi, siap-siap saja dihujat masyarakat ibukota karena penduduk Bogor sering dianggap sebagai pengirim banjir ke Jakarta setiap musim hujan datang, hadeuh....Setiap kali Jakarta terendam banjir, baik keluarga maupun teman-teman saya di Jakarta setengah menyalahkan sering berkomentar: “Gimana sih, Nis? Kok orang Bogor seneng banget ngirim banjir ke Jakarta? Yang dikirim tuh enaknya asinan Bogor aja!” Hahaha....
Saya juga baru tahu, LD FEUI itu ternyata dipelopori oleh Prof. Widjojo Nitisastro, begawan ekonomi dari FEUI, yang pernah menjabat sebagai menteri di awal zaman Pak Harto berkuasa.Kalau begitu, Pak Sonny sebagai Ketua LD juga berpeluang besar menjadi menteri dong? Hehehe.....
Lebih tepatnya menjadi Menteri Kependudukan. Bukankah Selasa 21 Oktober 2014, tepat sehari setelah pelantikan Jokowi dan JK, nama para menteri akan resmi diumumkan? Kita tunggu saja kepastiannya besok.Ingatlah kami para Kompasianer ya Pak waktu sudah jadi menteri.
Ya, candaan antara Pak Sonny dengan narasumber kedua, Akbar Faizal sebagai politisi, Deputi Tim Transisi, dan anggota dewan yang peduli tentang masalah kependudukan tentang calon Menteri Kependudukan juga turut mengisi diskusi Nangkring BKKBN Jakarta hampir seminggu yang lalu.Pak Sonny bahkan sampai menggoda Pak Faizal dengan gurauan iseng: “Yang bener yang mana nih, Pak? Jadinya saya mau ditaruh sebagai wakil rakyat atau menteri? Kok enggak jelas begini posisinya?” Wkwkwkwk...... Benar-benar diskusi yang serius tapi santai.
[caption id="attachment_367671" align="aligncenter" width="1200" caption="Terlihat tidak lemon ice tea di meja untuk para Kompasianer? (Dokumen Koleksi Maria Margaretha)"]
Namun, baik Pak Sonny maupun Pak Faizal sama-sama kompak mengingatkan Kompasianer tentang kemungkinan batalnya pembentukan Kementerian Kependudukan, sekalipun sudah di detik-detik terakhir.Hal ini karena pembentukan suatu kementerian termasuk penunjukkan sang menteri di dalamnya biasanya terkait erat dengan beragam deal politik antara parpol.Bahkan penunjukkan menteri yang berasal dari kalangan profesional pun tak terlepas dari kesepakatan politik tersebut.
Pak Faizal juga berbagi cerita tentang dirinya yang merupakan ayah tiga orang anak dan tidak begitu menyukai data kependudukan yang sebatas di atas kertas.Beliau lebih menyukai peristiwa nyata di masyarakat seputar bidang kependudukan.Maka itulah, setengah curhat, beliau menyebut dirinya meskipun termasuk anggota DPR - yang belum sempat melakukan tindak pidana korupsi (semoga tetap istiqomah ya Pak, Amin!) - tetap ketar-ketir alias khawatir dengan biaya pendidikan ketiga anaknya saat tahun ajaran baru menjelang.
Pak Faizal juga pernah dibuat bingung saat salah satu anaknya ingin berlibur.Sebagai seorang ayah sayang anak, beliau menawarkan, “Mau liburan ke mana kita, Nak? Bandung, Bali, atau Toba?” Jawaban spontan sang anak, “Keluar negeri dong, Yah!” Beliau lalu menambahkan, itulah pentingnya perencanaan jumlah anak saat berkeluarga.Tambahan satu orang anak sekalipun pastinya akan berdampak langsung dengan pengeluaran keluarga, termasuk biaya tiket pesawat yang harus dibayar saat liburan. Terlihat sepele tapi memang itulah faktanya.
Sup jamur putih, spaghetti pasta, dan mashed potatoes menjadi beberapa menu yummy dinner di Outback malam itu.Saya juga sempat mencicipi manisnya potongan semangka sebagai hidangan penutup.Mohon maaf karena tidak ada dokumentasi konsumsi Nangkring BKKBN Jakarta hehe...
Pak Yunus Noya dari Tim Advokasi dan Informasi BKKBN mengakhiri Nangkring dengan memberikan dua kuis seputar BKKBN.Suasana menjadi penuh semarak tawa saat Kompasianer Pak TE menjawab pertanyaan Pak Yunus mengenai 2 metode kontrasepsi untuk pria.Pak Tubagus sempat kesulitan menyebutkan istilah ‘vasektomi’.“Maklum, lidah Sunda jadi sulit membedakan P dan F ataupun V!” kilahnya sambil senyam-senyum.Senyum Pak Encep semakin lebar saat menjawab satu lagi metode KB untuk pria yaitu kondom. Bagaimana tidak mesem? Pak Yunus sempat-sempatnya menanyakan, apakah Pak TE pernah memakai kondom dan berapa kali hihi....
Nangkring kemudian ditutup dengan foto bersama narasumber (atau calon menteri? Hehehe...).Sepanjang perjalanan pulang ke Bogor, saya membayangkan betapa nyamannya KRL jika penumpangnya pas sesuai kapasitas gerbong.Tugas bersama Kementerian Kependudukan dan
Perhubungan di kabinet Jokowi dan JK mendatang?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H