Mohon tunggu...
Khairunisa Maslichul
Khairunisa Maslichul Mohon Tunggu... Dosen - Profesional

Improve the reality, Lower the expectation, Bogor - Jakarta - Tangerang Twitter dan IG @nisamasan Facebook: Khairunisa Maslichul https://nisamasan.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Melihat Dunia Melalui Buku Bajakan, Etiskah?

27 Oktober 2014   23:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:31 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Buku memang jendela dunia.Lalu, bagaimana dengan buku bajakan? Apakah buku bajakan akan mengurangi nilai wawasannya? Terlebih lagi, bagaimana dengan faktor etika dalam hak karya cipta (copy right)?Di Indonesia, mencari pemilik buku yang sama sekali tidak memiliki buku bajakan atau fotokopian sama halnya seperti mencari sebatang jarum dalam tumpukan jerami.

Jujur saja, saya memiliki dan membaca lebih dari satu buku bajakan.Alasannya klise, mahalnya harga buku asli.Apalagi jika buku tersebut berasal dari penerbitan asing.Jika dirupiahkan, buku-buku asing tersebut jelas melonjak dan melambung harganya.

Setelah mengunjungi beberapa perpustakaan, saya akhirnya menyadari, membajak atau memfotokopi buku ternyata tidak hanya untuk kepentingan komersial, tak terkecuali dengan keperluan pendidikan.Para pustakawan mengatakan, buku-buku asli yang mahal maupun langka – terutama koleksi textbook asing berbahasa Inggris - hanya dapat diakses dan dibaca dalam ruang perpustakaan.Sementara itu, mereka menduplikasi buku tersebut menjadi beberapa kopi sehingga dapat dipinjam dan dibawa keluar dari perpustakaan.Bagi para mahasiswa dan akademisi, buku merupakan ruh dalam keseharian aktifitas mereka di kampus.

Saya memang sudah berniat untuk merutinkan kebiasaan dalam melakukan riset sederhana berupa survei dengan menyebarkan kuesioner tentang topik blog yang akan saya tulis di Kompasiana.Sebelumnya, saya telah melakukannya – dengan menyebarkan kuesioner kepada 38 orang mahasiswi - dalam blog competition tentang BKKBN, Mana yang Lebih Terkenal, BKKBN atau Programnya?

Oleh karena itu, selama tiga hari, Rabu hingga Jum’at, 22 sampai 24 Oktober 2014, saya menyebarkan kuesioner tentang membaca kepada para pengunjung dan pembaca buku pada perpustakaan kampus di Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) Tazkia dan LSI IPB.Keduanya berlokasi di Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.Survei sederhana mengenai membaca itu berhasil menjaring 62 orang responden.Berikut ulasan reportase dan hasil dari survei tersebut.

[caption id="attachment_369723" align="aligncenter" width="560" caption="Para mahasiswi di perpustakaan STEI Tazkia Dramaga Bogor (Dokumen Pribadi)"][/caption]

Rumahku Perpustakaanku

Saya lahir dan besar dari keluarga pecinta buku.Sementara Bapak saya menyukai buku, Ibu saya lebih menggemari majalah.Topiknya pun berbeda.Sejarah menjadi topik terfavorit Bapak dan pengasuhan anak diminati Ibu.Namun, keduanya sama-sama hobi membaca buku agama Islam.

Maka itu, sebelum masuk SD di usia 6 tahun, saya sudah bisa membaca.Ibu adalah guru pertama saya dalam membaca.Tak heran, usia 5 tahun, syukur Alhamdulillah, saya sudah mampu membaca.Uniknya lagi, Ibu ternyata mengajarkan keempat anaknya mengenali huruf-huruf Hijaiyah terlebih dahulu – sebagai modal penting untuk membaca Al-Qur’an – sebelum diajari membaca huruf Latin.Alasan Ibu sangat sederhana.Menurut beliau, jika seseorang sudah menguasai huruf Hijaiyah, mempelajari huruf Latin akan jauh lebih mudah dan bukan sebaliknya.

Usia 5 tahun ternyata juga menjadi rataan usia bisa membaca para 62 responden yang mengisi kuesioner dari saya.Tapi, ada juga yang baru bisa membaca saat telah berumur 10 tahun, sebanyak 2 orang.Awalnya saya pikir, para responden dengan rataan usia sebesar 23 tahun tersebut belajar membaca di sekolah.Saya memberikan tiga pilihan tempat pertama kalinya para responden membaca: rumah, sekolah, dan lainnya (selain rumah dan sekolah).

Dugaan saya meleset.Mayoritas responden (68 %) pertama kali belajar membaca di rumah mereka masing-masing.Jawaban tersebut diperkuat dengan fakta bahwa sebagian besar memiliki orang tua yang menyimpan koleksi buku di rumah mereka, yaitu 42 orang tua responden dari total 62 pengisi kuesioner.

Saya lalu teringat, Bapak dan Ibu saya juga memiliki koleksi buku di rumah kami.Mau tak mau, saya dan ketiga orang adik memiliki hobi membaca.Bahkan kami saling bertukar info tentang buku-buku yang telah kami baca di luar rumah, baik di perpustakaan maupun toko buku.Jika banyak anggota keluarga yang berminat, maka buku rekomendasi tersebut bisa dipastikan akan menjadi pengisi koleksi buku di rumah kami.

Hobi membaca ternyata tidak berhenti di rumah.Saat kuliah dan bekerja di luar kampung halaman, saya tetap rutin membaca sehari-hari, apapun jenis bacaannya.Anehnya, para responden yang menjadi pengunjung perpustakaan tersebut ada sebagian kecil (24 %) yang tidak rutin membaca dalam kesehariannya.Ada bahkan yang setengah bercanda, hanya sempat membaca buku saat ke perpustakaan karena info masa kini bisa disaksikan di media sosial dan televisi.Berikut ini adalah tabel dan grafik yang berisi data responden penelitian saya tentang kebiasaan membaca.

Profil Responden Survei Berdasarkan Kebiasaan Membaca (Total 62 Orang)

No.

Kriteria

Hasil

1.

Rataan usia responden

23 tahun

2.

Rataan usia bisa membaca

5 tahun

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun