Trio Narasumber: Pepih Nugraha dari Kompasiana, Putut Wijanarko dari Mizan, dan Eric Yang dari Tabon Korea serta dimoderatori oleh Kompasianer Wardah Fajri (Dokumentasi koleksi Kompasianer Agung Han)
Kompasiana Nangkring Sabtu, 1 November 2014, kemarin berlangsung di Panggung Utama Indonesia International Book Fair (IIBF) 2014.  IIBF tahun ini bertema "Lebih Lengkap, Lebih Terjangkau, Lebih Menarik, Lebih Kreatif." Sementara itu, "Print Books vs Digital Books" menjadi tema Nangkring kali ini.
Nangkring menghadirkan tiga orang narasumber yaitu Pepih Nugraha sebagai Manajer Kompasiana, Direktur Mizan Putut Widjanarko, dan Presiden Penerbit di Asia Pasifik (Asia Pasific Publisher Association) yang berkewarganegaraan Korea Selatan, Eric Yang. Eric juga sekaligus pendiri (founder) dan CEO dari Tabon Books yang bergerak di bisnis buku-buku digital. Wardah Fajri, Kompasianer yang lebih akrab disapa dengan sebutan Mbak Wawa menjadi moderator Nangkring IIBF 2014.
Acara yang berdurasi hampir 3 jam tersebut, dari pukul 14.00 hingga 17.00 tidak hanya dihadiri oleh Kompasianer, namun juga para pengunjung IIBF pada hari pertama. Lalu, apa saja fakta-fakta menarik dari hadirnya persaingan buku cetak vs buku digital di era menjamurnya smartphone saat ini? Inilah fakta-faktanya.
1. Proses pembuatan digital books tidak instan
Eric menganalogikan print books dan digital books seperti tubuh yang dilihat hanya dari satu sisi, kiri atau kanan saja. Jika seseorang memutar tubuhnya ke arah tertentu, sekalipun terlihat mudah, jelas ada koordinasi yang terjadi antara sistem syaraf di otak dengan kerja mata dan pergerakan otot tubuh. Proses antara (in between process) itulah yang mirip dengan pembuatan digital books dari print books. Adanya digital books diawali dengan inovasi teknologi dan informasi yang telah berlangsung sejak adanya komputer dan internet.
Di lain sisi, Pepih menuturkan anomali dari era kompetisi print vs digital books yang dialaminya sendiri. Dia membuktikan bahwa print books yang isinya berasal dari artikel blog Kompasianer tentang Presiden RI ke-6, Soesilo Bambang Yudhoyono berhasil dicetak berulang kali. Buku cetak yang berjudul 'Pak Beye' itu pun bahkan bisa menembus edisi kelima atau pentalogy.
2. Penerbit buku memilih untuk digital atau mau 'ditinggal'?
Contoh nyatanya adalah Encylopaedia Britannica yang kini tidak mencetak lagi edisi hard copy - terakhir tahun 2010 - dan beralih ke digital encyclopaedia. Info menarik dari Eric tersebut juga ditambahkan dengan penuturan Pepih tentang kehadiran Gramediana yang menjadi platform bagi penulis dan pembaca buku digital. Putut setengah berkelakar membayangkan bahwa 10 tahun kemudian, bisa jadi pameran buku kosong oleh tumpukan buku yang dicetak pada kertas dan malah penuh dengan barisan gadget untuk e-books.
Eric menyebutkan Kindle dari Amazon dan Nook dari Barnes & Noble sebagai dua pemain utama dalam digital publishing di dunia. Sekalipun demikian, Amazon tetap menjual print books via internet.
3. Bagaimana trend digital books di dunia?