[caption id="attachment_379572" align="aligncenter" width="448" caption="Workshop Membatik dari JNE yang dihadiri Kompasianer"][/caption]
Kalau ingin pintar jelas harus belajar. Nah, kalau ingin pintar sekaligus sabar, maka belajar membatik adalah salah satu caranya. Saya bersama para Kompasianer sudah merasakannya sendiri saat belajar membatik dalam rangka HUT JNE ke-24 tahun ini di Yogya.
Selama ini, saya hanya tahu caranya membeli, menawar, dan memakai kain batik. Ya, baru sebatas itu. Belum pernah terpikir sebelumnya di benak saya untuk belajar membatik. Toh, kalau bisa membeli jadi, kenapa harus repot-repot membuat sendiri?
Namun, ketidakpedulian saya akan seni membatik seketika sirna saat saya mengunjungi Yogya baru-baru ini. Belajar membatik bersama Putra Putri Batik Nusantara 2014 termasuk salah satu rangkaian acara ulang tahun ke-24 JNE. Kegiatan membatik tersebut berlangsung pada hari Sabtu, 29 November 2014 dan bertempat di Sekar Kedhaton, Yogyakarta.
Mbak Dewi, salah seorang staf JNE dari Departemen Media Relation yang mengurus keberangkatan para Kompasianer ke Yogya, mengingatkan saya kembali via telepon pada hari Rabu pukul 4 sore, 26 November 2014 (dua hari sebelum keberangkatan) untuk membawa minimal dua buah baju batik selama kunjungan ke Yogya. Sebelumnya memang sudah ada email dari JNE yang berisi tentang itinerary dan dress code yang harus digunakan para Kompasianer.
Agar aman dan nyaman, saya memutuskan untuk membawa tiga buah baju batik. Inilah dua dari tiga baju batik yang saya bawa dan kenakan saat di Yogya. Keduanya sama-sama berwarna hijau. Bedanya hanya satu berwarna hijau tua dan satu lagi hijau muda. Namun, keduanya bermotif berwarna cerah dan berbunga-bunga. Mirip suasana hati dan perasaan saya selama di Yogya selama acara JNE dan Kompasiana Blog Trip.
[caption id="attachment_379574" align="aligncenter" width="448" caption="Batik hijau bunga-bunga putih dan hijau milik penulis"]
Pukul 11.30 siang, rombongan media dan blogger berangkat menuju Sekar Kedhaton dari Hotel Eastparc Yogyakarta. Seperti biasanya, sebelum bus melaju menuju tempat tujuan, staf Media Relation Department dari JNE rutin mengabsen semua anggota rombongan untuk memastikan semuanya sudah berada dalam bus. Nah, kali ini giliran Mbak Dewi yang bertugas mengabsen tim media dan blogger. Berbalutkan atasan batik merah, Mbak Dewi yang ramah dan bersahabat ini dengan semangat 45 melalui suaranya yang khas sekaligus menenangkan mengecek satu-per satu kehadiran penumpang bus.
[caption id="attachment_379576" align="aligncenter" width="336" caption="Halo! Sudah di bus semua? tanya Mbak Dewi dari JNE sebelum pergi"]
Perjalanan menuju Sekar Kedhaton hanya memakan waktu sekitar 40 menit. Selain awak media dan blogger, sudah ada tim manajemen dari JNE yang tiba duluan di sana. Para tamu JNE dipersilakan untuk menikmati makan siang terlebih dahulu yang sudah disiapkan tuan rumah sebelum acara workshop membatik dimulai. Saya dan Kompasianer dari Yogya, Mbak Riana Dewi, menikmati makan siang di Sekar Kedhaton pada satu meja bersama Mbak Hendrianida Primanti (Ria), Head of Media Relations Department, dan Mbak Ririn dari JNE Cabang Yogyakarta.
[caption id="attachment_379578" align="aligncenter" width="336" caption="Sekar Kedhaton, tempat belajar membatik"]
[caption id="attachment_379579" align="aligncenter" width="448" caption="Mbak Ria dari JNE Jakarta (berkacamata) dan Mbak Ririn dari JNE Yogya"]
Sekitar pukul 1 siang, kegiatan membatik dimulai setelah kehadiran Bapak Johari Zein selaku Managing Director JNE di lokasi acara. Sabtu siang itu, beliau menggunakan batik lengan panjang berwarna hitam. Para MC acara yang terdiri dari Putri Batik Nusantara 2014 yang bergaun batik hitam dan Putri Persahabatan Batik 2014 dengan batik kombinasi merah serta biru muda mengawali acara dengan mempersilakan salah seorang rekan mereka yang bernama Anisa (tujuh besar finalis) untuk menari. Saya lupa nama persis tarian yang dibawakannya. Intinya, setelah menari, Anisa mengungkapkan bahwa tarian yang baru saja dipertunjukkannya tadi merupakan rangkaian cara membatik sejak awal dibuat hingga kain batik siap untuk digunakan.
[caption id="attachment_379581" align="aligncenter" width="336" caption="Pak Johari Zein, Managing Director JNE menunggu sejenak sebelum acara membatik imulai"]
[caption id="attachment_379583" align="aligncenter" width="336" caption="Tarian batik oleh salah satu finalis Putri Batik Nusantara 2014"]
Selanjutnya, Putra Batik Nusantara 2014, William yang berasal dari Bandung, memaparkan cara pembuatan batik. Sebelumnya dia meminta Pak Johari untuk maju ke depan dan menunjukkan batik yang beliau pakai. Pak Johari ternyata memakai batik tulis. William berbagi ilmu tentang batik serta cara mengetahui jenis-jenisnya.
Batik sendiri berasal dari bahasa Jawa: ‘amba’ artinya menulis dan ‘titik’. Jadi batik berarti 'menulis titik'. Batik termasuk karya seni yang merupakan salah satu identitas asli bangsa Indonesia dan memiliki arti di setiap gambarnya. Patut dicatat dan diingat, pembuatan batik harus menggunakan malam/lilin dan canting. Kalau begitu, batik yang dibuat tanpa malam dan canting apakah masih bisa disebut sebagai batik?
[caption id="attachment_379582" align="aligncenter" width="448" caption="Putra Batik Nusantara 2014, William, berbagi ilmu tentang batik"]
Ternyata, hanya ada 3 (tiga) jenis batik menurut cara pembuatannya. Perlengkapan batik sendiri terdiri atas malam/lilin, canting, kain, dan kompor. Inilah detilnya:
1. Batik Tulis
Batik ini paling rumit dan memakan waktu terlama saat pembuatannya karena menggunakan malam/lilin dan canting yang langsung digoreskan di atas kain secara manual. Tak heran, harganya juga menjadi yang termahal di antara ketiga jenis batik.
2. Batik Cap
Bedanya dengan batik tulis, batik cap tidak menggunakan canting. Malam/lilin langsung dicap di atas kain. Biasanya cap menggunakan suhu tinggi agar lilin menempel.
[caption id="attachment_379584" align="aligncenter" width="336" caption="Jenis-jenis batik berdasarkan cara membatik"]
3. Batik Cap Tulis
Batik jenis ini merupakan kombinasi dari batik tulis dan cap.Proses membatik diawali dengan cap dan disempurnakan dengan canting.
[caption id="attachment_379588" align="aligncenter" width="448" caption="Para Kompasianer berbatik ria (Kiri - kanan: Mbak Riana Dewi, Mbak Grace, Mas Nurul sang admin, Mbak Pungky, Pak Hendi, dan Pak Aljohan)"]
Para pesertaworkshopmembatik di Sekar Kedhaton hanya bisa tersenyum-simpul – termasuk saya sendiri – setelah mengetahui bahwa batik yang dicetak massal (printingbatik) tidak termasuk kategori batik.Jelas tidak bisa disebut batik karena proses pembuatannya tidak menggunakan malam/lilin dan canting.Harga batik print pun murah-meriah karena dicetak dalan skala besar dengan mesin.Mbak Grace, Kompasianer lainnya dari Yogya, langsung berkomentar kepada saya: “Lha, pantesan aja! Harganya ada yang cuma Rp 25.000.”Meminjam istilah Mbak Ria dari JNE: “Ada harga, ada barang.”
[caption id="attachment_379586" align="aligncenter" width="448" caption="Peralatan membatik: kain, malam/lilin, canting, dan kompor"]
[caption id="attachment_379589" align="aligncenter" width="448" caption="Para peserta workshop membatik di Sekar Kedhaton Yogya, Sabtu 29 November 2014"]
William lalu berbagi tips lainnya tentang cara membedakan jenis batik. Jika ingin mengetahui jenis batik, baliklah bagian dalam batik. Jika warna dan pola di dalamnya sama tebal dan jelasnya seperti warna dan pola di luar, maka bisa dipastikan itu adalah batik tulis. Jika warna dan pola di bagian dalam kain masih terlihat seperti di luar, namun tak sejelas batik tulis, maka biasanya batik tersebut termasuk batik cap. Kalau yang jelas di luar akan tetapi sama sekali tidak ada bekasnya di bagian dalam kain – persis seperti hasil print di selembar kertas putih – maka itulah yang disebut kain yang dicetak dengan motif batik namun bukan batik. Wah, saya harus menabung kalau ingin memiliki kain batik yang asli!
Informasi menarik dan unik lainnya tentang membatik dari William adalah tentang pengakuan badan UNESCO-PBB tentang batik sebagai Warisan Kemanusiaan untuk BudayaLisan dan Non-Bendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) pada 2 Oktober 2009. Lho, kok bisa batik diakui sebagai karya non-bendawi? Bukankah wujudnya ada dan tampak nyata dalam bentuk kain maupun pola dan warna, begitu pikir saya awalnya.
Ternyata batik lebih dari sekedar kain, pola, maupun warna. Batik mengandung cerita-cerita, nilai-nilai filosofi dan humanis, serta kearifan budaya lokal (local wisdom) sebagai warisan budaya yang harus selalu diteruskan untuk generasi penerus. Setiap pola batik memiliki maknanya masing-masing sehingga harus disesuaikan dengan situasi dan kondisinya saat akan memakai batik bermotif tertentu agar tidak ‘saltum’ alias salah kostum. Contohnya kain batik yang khusus untuk upacara pernikahan sebaiknya tidak dipakai sebagai busana sehari-hari.
William lalu melanjutkan dengan menjelaskan tiga motif batik terbanyak di Indonesia beserta nilai-nilai filosofi yang terkandung di dalamnya. Berikut penjelasannya:
- Batik Parang
Motif batik yang berasal dari Yogya ini dahulu hanya terbatas untuk kalangan raja dan keluarga keraton. Batik parang ini bermakna ‘pantang menyerah, tegar, dan berjiwa satria’.
[caption id="attachment_379591" align="aligncenter" width="448" caption="Filosofi dari motif batik parang"]
- Batik Megamendung
Sekalipun masih berupa batik print, saya senang karena ternyata sudah memiliki motif batik yang berasal dari Cirebon ini.Motifnya yang berbentuk awan ini menggambarkan dunia luas dan bebas serta bermakna transedental (Ketuhanan).
[caption id="attachment_379597" align="aligncenter" width="448" caption="Batik motif Megamendung milik penulis"]
- Batik Kawung
Motifbatik ini sudah ada sejak zaman kerajaan Mataram serta banyak dijumpai di Solo dan Yogya.Kawung sendiri bisa menggambarkan buah kawung (sejenis kelapa atau bisa juga buah kolang-kaling) atau bunga lotus yang disusun rapi secara geometris.Namun, keduanya sama-sama bermakna baik.Kawung melambangkan kesederhanaan, keadilan, dan kesejahteraan. Sedangkan bunga lotus adalah simbol panjang umur dan kesucian.
[caption id="attachment_379605" align="aligncenter" width="448" caption="Batik motif buah kawung atau bunga lotus"]
Proses pembuatan batik terdiri atas 5 (lima) tahapan yaitu:
1. Membuat pola di atas kain – biasanya menggunakan pensil
2. Membatik kerangka – menggoreskan lilin/malam dari canting di atas kain berpola
3. Ngisen-iseni – mengisi kerangka
4. Nerusi – mempertebal dan memperjelas tembusan batikan pertama dari proses membatik kerangka di tahapan kedua
5. Nembok – menyempurnakan proses nerusi dengan warna
Kegiatan puncak membatik di Sekar Kedhaton tentu saja adalah membatik. Pak Johari didaulat sebagai peserta perdana membatik oleh panitia. Selain piawai memimpin perusahaan kurir sebesar JNE, Pak Johari juga ternyata piawai membatik. Beliau cukup sabar, gigih, dan telaten membatik kerangka di atas kain hingga tuntas, rapi, dan tidak ada tumpahan cairan lilin yang menetes di luar garis pola. Wajarlah jika batik goresan beliau menjadi pemenang dari kaum pria.
[caption id="attachment_379614" align="aligncenter" width="336" caption="Pak Johari mengawali lomba membatik"]
[caption id="attachment_379618" align="aligncenter" width="336" caption="Ternyata Pak Johari jago membatik!"]
Putri Pak Johari, Mbak Mindy, tak mau kalah dengan ayahnya dan keluar sebagai juara membatik kategori putri. Kesabaran dan kegigihan memang termasuk sifat mulia yang patut dilestarikan, sama halnya seperti batik. Pasti itu juga menjadi kunci dari nama besar JNE dan Kompas selama ini.
Saya bersama Kompasianer Mbak Riana dan Mbak Grace lalu menjajal kemampuan kami membatik. Hasilnya? Jauh panggang dari api alias masih berantakan di sana-sini! Setelah mengetahui kesulitan membatik, saya semakin menghargai kerja keras para perajin batik tulis.
[caption id="attachment_379621" align="aligncenter" width="448" caption="Trio Kompasianer juga ikut belajar membatik (Kiri-Kanan: Mbak Riana, Mbak Grace, dan penulis)"]
[caption id="attachment_379624" align="aligncenter" width="448" caption="beginilah hasil karya pembatik pemula milik penulis"]
[caption id="attachment_379626" align="aligncenter" width="448" caption="Mana yang lebih oke ya kira-kira hasilnya?"]
[caption id="attachment_379628" align="aligncenter" width="560" caption="Membatik itu ternyata melatih kesabaran (Dokumen Kompasianer Punky)"]
Ayu Dyah Pasha, aktris cantik sekaligus Pembina Putra-Putri Batik Nusantara menginformasikan bahwa di Ibu Kota kini sudah mulai terapi atau yoga dengan membatik agar lebih rileks sekaligus sabar. Sepertinya saya harus mengikuti terapi tersebut secepatnya.
[caption id="attachment_379632" align="aligncenter" width="448" caption="Pak Johari diapit sang putri yang juga jago membatik, Mindy dan Ayu Dyah Pasha (kebaya putih)"]
Terima kasih JNE dan Kompasiana.Membatik ternyata menyenangkan sekaligus menenangkan.Mari belajar membatik agar budaya Indonesia terus berjaya sepanjang masa.
Silakan baca juga:
Berbagi Cerita dan Tawa bersama Kompasianer dan JNE
Kenangan yang Unik dan Menarik dari Yogya #1
Waktunya Makan yang Unik dan Menarik di Yogya #2
Sabar di Jalan! Separuh Hati Tertinggal di Yogya #3
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H