Mohon tunggu...
Khairunisa Maslichul
Khairunisa Maslichul Mohon Tunggu... Dosen - Profesional

Improve the reality, Lower the expectation, Bogor - Jakarta - Tangerang Twitter dan IG @nisamasan Facebook: Khairunisa Maslichul https://nisamasan.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Berbagi Cerita juga Tawa Bersama Kompasianer dan Satria JNE

4 Desember 2014   06:55 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:05 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_380376" align="aligncenter" width="448" caption="Penulis dan Teh Lilis (Okti Li) bersiap menuju Sungai Oya dari Gua Pindul dengan celana basah kuyup (Dokumentasi Mas Eko)"]

1417616016578838559
1417616016578838559
[/caption]

Perjalanan selanjutnya menuju Sungai Oya (dibaca ‘Oyo’) adalah dengan menggunakan mobil bak terbuka.Info dari tour guide, Mas Yudi, semula mobil pick-up di Bejiharjo digunakan untuk mengangkut kawanan sapi yang akan diperjual-belikan di pasar hewan.Namun setelah jumlah ternak sapi menurun, mobil itu dialihfungsikan untuk mengangkut para wisatawan.Hasilnya ternyata jauh lebih menguntungkan.

[caption id="attachment_380379" align="aligncenter" width="448" caption="Diangkut dengan truk sapi saat menuju Sungai Oya, mooo! (Dokumentasi Mas Eko - Tempo)"]

1417617148946031436
1417617148946031436
[/caption]

Saya nyaman saja dengan mobil ala kadarnya tersebut yang mampu melaju di medan terjal berbatuan.Malah menurut saya dan Mbak Riana, inilah wisata alam yang sesungguhnya karena kami langsung bersentuhan dengan kondisi nyata di alam yang keras dan penuh perjuangan.Menurut kami, wisata alam yang ‘hanya’ menampilkan keindahan alam untuk dipotret itu sudah kuno.

[caption id="attachment_380381" align="aligncenter" width="448" caption="Harus mandiri dengan memanggul sendiri ban karet sebelum menyusuri Sungai Oya (Dokumentasi Mas Eko - Tempo)"]

1417617643396089516
1417617643396089516
[/caption]

[caption id="attachment_380382" align="aligncenter" width="448" caption="Selfie dan narsis jalan terus sekalipun sedang mengapung di Sungai Oya (Dokumentasi Kompasianer Okti Li)"]

14176178321829385790
14176178321829385790
[/caption]

Kami didampingi Mas Yuli Saputra, penduduk asli desa tersebut. Pemandu wisata yang berusia 23 tahun tersebut sangat responsif dan informatif menjawab pertanyaan kami seputar Sungai Oya.Selain berprofesi sebagai tour guide di Sungai Oya, Mas Yuli juga bekerja sebagai koki di rumah makan.Saat saya tanya, “Lebih enak mana, Mas, bekerja sebagai guide atau koki?” Jawabnya diplomatis, “Ya, sama-sama ada enaknya, Mbak.” Jawaban yang sangat cerdas!

[caption id="attachment_380384" align="aligncenter" width="448" caption="Mas Yudi Saputra, sang pemandu wisata di Dewa Bejo (Desa Wisata Beji Harjo) ini ternyata juga seorang koki di rumah makan (Dokumentasi Kompasianer Okti Li)"]

14176180331070272364
14176180331070272364
[/caption]

Kami mengakhiri wisata alam di Gua Pindul dan Sungai Oya pada pukul 4 sore.Tempat wisata menyediakan tempat mandi yang bersih dan murah karena hanya membayar sebesar Rp2000 per orang.Selesai mandi, kami disuguhi kelapa muda langsung masih dari batok kelapanya, jajanan tradisional, dan teh manis.Karena sudah terbiasa dengan teh tawar yang umumnya disajikan di Bogor, saya agak terkejut juga dengan suguhan teh manis di Yogya.Lain padangnya, lain pula belalangnya.

Seperti umumnya tempat wisata, ada fotografer lokal yang menjepret para wisatawan lalu menjual foto-foto tersebut di sekitar lokasi bus wisata.Saya bersama Pak Aljohan menjadi pembeli terakhir dari Kompasianer.Kami berdua hanya membayar Rp10,000 per foto karena bus akan segera pergi.Sementara itu, pembeli lainnya harus membayar Rp15,000 hingga Rp20,000 per foto.Jam lima sore, bus kami bergerak kembali menuju Kota Yogya dengan berjuta kenangan dari Dewa Bejo.

[caption id="attachment_380387" align="aligncenter" width="448" caption="Pak Johari Zein, Managing Director JNE saat beramah-tamah dengan blogger Kompasiana dan sempat bertanya tentang CEO Kompas Gramedia, Agung Adiprasetyo (Dokumentasi Mas Eko - Tempo)"]

1417618305191687917
1417618305191687917
[/caption]

Bapak Johari Zein selaku Managing Director JNE membuka acara dan memberikan waktu khusus untuk sesi wawancara.Saya hanya sempat mengikutinya di akhir sesi karena masih menghabiskan makan malam.Informasi yang sangat saya ingat dari Pak Johari tersebut adalah JNE akan melepas saham perdana mereka atau Initial Public Offering (IPO) ke lantai bursa saham pada tahun 2016.Pastinya JNE akan semakin profesional dan mendunia dengan IPO.

Saat ramah-tamah dengan para tamu, Pak Johari bertanya pada Mas Nurul dan Mas Deri, “Oh, dari Kompas? Stafnya Pak Agung?” Mereka berdua kompak menjawab, “Ya, Pak.”Pak Agung Adiprasetyo, adalah CEO Kompas Gramedia.Sama halnya dengan Om William dari Astra, Mas Nurul berbagi cerita, Pak Jakob Oetama (pendiri Kompas selain almarhum PK Ojong) juga rutin memberikan bonus kepada karyawannya di momen-momen tertentu.

Saya bersama Mbak Riana lalu mewawancarai seorang pria asing di jajaran direksi JNE, Monsieur Phillippe Lefevre.Pria ramah yang menjabat sebagai Quality Control Advisor tersebut tepat setahun bekerja di JNE pada Senin, 1 Desember 2014.

[caption id="attachment_380388" align="aligncenter" width="448" caption="Kompasianer menikmati dinner di Hyatt Hotel Yogya bersama direksi JNE: Mas Nurul, Mas Agung, Penulis, Mbak Riana, Mbak Pungky, Mbak Grace (Dokumentasi Mas Eko - Tempo)"]

14176186301456447212
14176186301456447212
[/caption]

Wawancara dengan pria yang sudah tinggal di Indonesia sejak 2010 tersebut memakai bahasa gado-gado (10% Perancis, 40% Inggris, dan 50% Indonesia).Phillippe mengungkapkan mulai 1 Januari 2015, JNE akan meluncurkan program Customer Service Satisfaction sehingga setiap bulannya dapat dibuat grafik perkembangan kepuasan pelanggan.Program training yang berkelanjutan (sustainable training) untuk karyawan JNE juga akan semakin ditingkatkan mutu dan jumlahnya.

[caption id="attachment_380389" align="aligncenter" width="448" caption="Penulis dan Kompasianer Riana Dewi mewawancarai Monsieur Phillippe Levefre, pria Perancis yang menjabat sebagai Quality Control Advisor JNE (Dokumentasi Mas Eko - Tempo)"]

1417618822994647723
1417618822994647723
[/caption]

Phillippe menyebutkan kata the best service sebagai kata kunci pelayanan JNE.“JNE always try and do our best to reach the perfection in our services by reducing the failure to the most minimum level,” kesimpulan Phillippe di akhir wawancara.Saya langsung teringat dengan billboard di jalan menuju Hyatt Hotel yang bertuliskan, “Don’t settle for good.Demand great.”

Esoknya, saya sempatkan merawat diri sejenak di kamar hotel.Sabtu pagi itu, 29 November 2014 Mas Yahdi dari JNE terus meng-update info via sms tentang jadwal kami hari itu, yaitu membatik di Sekar Kedhaton dan acara puncak hut JNE ke-24 di Candi Prambanan.

Saya dan Mbak Grace duduk bersebelahan di bus dalam perjalanan PP Hotel Eastparc-Sekar Kedhaton.Pendiri Rumah Ramah Rubella (RRR) tersebut ternyata juga penulis buku Letters to Aubrey dari Stilletto yang mengisahkan tentang perjuangannya dalam membesarkan anak penderita Rubella.Mbak Grace lalu berpesan, “Nanti beli bukunya ya Mbak Nisa.”

[caption id="attachment_380392" align="aligncenter" width="448" caption="Tetap asyik selfie dengan Mbak Grace sebelum melaju menuju Sekar Kedhaton untuk membatik"]

14176190981683143871
14176190981683143871
[/caption]

Saat membatik di Sekar Kedhaton, tiga dara Kompasianer: saya, Mbak Riana, dan Mbak Grace ikut turut serta.Kompor tempat lilin/malam kami dipanaskan ternyata kurang berfungsi baik sehingga lilin kami mudah dingin.Hasilnya, karya batik kami mirip dengan anak kecil yang pertama kali belajar menulis.

[caption id="attachment_380393" align="aligncenter" width="448" caption="Merasakan langsung perjuangan membatik yang selama ini dirasakan oleh perajin batik tulis (Dokumentasi Mas Eko - Tempo)"]

1417619271766957272
1417619271766957272
[/caption]

[caption id="attachment_380394" align="aligncenter" width="448" caption="Segitiga pembatik ala Kompasianer, unik bukan? (Dokumentasi Mas Eko - Tempo)"]

14176194651992827525
14176194651992827525
[/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun