Perjuangan para pemuda Indonesia dimulai sejak Pemerintah kolonial Belanda mendirikan sekolah-sekolah bagi kaum bumiputra dalam rangka melaksanakan kebijakan politik etis. Melihat keadaan bangsanya yang tertindas dan dieksploitasi dalam segala hal, para elit pribumi yang terpelajar kemudian tergerak untuk melawan pemerintahan Kolonial Belanda. Perlawanan tersebut dilatarbelakangi atas hasrat ingin maju, meningkatkan taraf hidup, mengikuti perubahan zaman, dan memperluas kesempatan dalam memperoleh pendidikan. Meskipun telah didirikan sekolah-sekolah, namun tidak semua golongan masyarakat memiliki kesempatan yang sama. Pada saat itu hanya golongan tertentu saja yang dapat menjangkaunya, pun mereka tidak lepas dari diskriminasi yang ada (Kartodirdjo, 2014, hlm. 115-116). Gagasan untuk mengemansipasi diri tersebut diawali dengan pembentukan organisasi-organisasi pergerakan nasional, seperti Budi Utomo, Serikat Islam (SI), Indische Partij (IP) yang kemudian diikuti dengan terbentuknya beberapa organisasi pergerakan nasional lainnya (Susilo, 2018, hlm. 410).
1. Budi Utomo
Budi Utomo merupakan suatu organisasi yang terlahir dari pertemuan-pertemuan dan diskusi beberapa pelajar STOVIA yang dilakukan di Perpustakaan STOVIA (Susilo, 2018, hlm. 411). Mereka adalah Sutomo, Gunawan Mangunkusumo, Soeradji, R.T. Ario Tirtokusumo, dan sebagainya. Dilihat dari latar belakang masyarakat pribumi yang masih bersifat tradisional, bernasib buruk, dan dipandang tidak bermartabat oleh bangsa lain, maka apa yang dilakukan sekelompok pelajar STOVIA itu merupakan suatu langkah inovatif dengan membentuk Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908, sebagai suatu lembaga modern pertama dalam jenisnya dan bersifat sosial, ekonomi, kebudayaan, serta tidak bersifat politik.
Istilah Budi Utomo berasal dari kata “Budi” yang berarti perangai atau tabiat dan “Utama” yang berarti baik atau luhur. Budi Utomo yang dimaksud oleh pendirinya adalah perkumpulan yang akan mencapai sesuatu berdasarkan keluhuran budi dan kebaikan perangai atau tabiat (Sudiyo, 2002, hlm. 21). Semboyan yang dikumandangkan Budi Utomo ialah Indie Vooruit (Hindia Maju) dan bukan Java Vooruit (Jawa Maju).
Adapun tujuan Budi Utomo menurut Panyarikan (1993: 20-21) adalah: Pertama, Mengadakan studiefonds (beasiswa) untuk menolong anak-anak Indonesia di tanah Jawa yang akan melanjutkan belajar tetapi tidak memiliki biaya. Kedua, Mengusahakan supaya bumiputera di tanah Jawa mengetahui adat istiadatnya dan tidak terpengaruh kebudayaan Eropa.
Pada kongres Jong Java yang dilaksanakan tanggal 5 Oktober 1908, terjadi konfrontasi antara dua golongan intelektual dengan orientasi yang berbeda dalam menghadapi westernisasi, yaitu golongan tradisional (konservatif) seperti Dr Radjiman Wedyodiningrat dan golongan progresif seperti Dr Cipto Mangunkusumo (Kartodirdjo, 2014, hlm. 119-120). Cipto Mangunkusumo (dalam Kartodirdjo, 2014, hlm. 20) berpendapat bahwa bangsa Indonesia perlu memanfaatkan pengetahuan barat dan unsur kultural mereka sehingga dapat meningkatkan taraf hidup pribumi. Namun, para pemimpin Budi Utomo pada umumnya terlalu terikat pada lokasi sosial serta budayanya sehingga Cipto Mangunkusumo yang kalah suara memutuskan hengkang dari Budi Utomo.
Meskipun kehilangan kekuatan progresif, Budi Utomo tetap mampu tumbuh sebagai organisasi yang moderat serta kooperatif terhadap Belanda dan evolusioner. Disini, Budi Utomo mengalami keterbatasan dalam memobilisasi anggotanya, sehingga terbentuklah organisasi baru yang serupa dengan Jong Java seperti Jong Sumatra, Jong Ambon, Jong Minahasa, dan sebagainya.
Usaha-usaha yang akan dilakukan oleh Budi Utomo adalah sebagai berikut, yaitu: (a) Memajukan pengajaran sesuai dengan yang dicita-citakan Dr. Wahidin; (b) Memajukan pertanian, peternakan, dan perdagangan; (c) Memajukan teknik dan industri; dan (d) Menghidupkan kembali kebudayaan (Susilo, 2018, hlm. 411-412). Selain memiliki fungsi dan tujuan seperti yang sudah dijelaskan dimuka, organisasi ini juga menjadi wadah bagi kaum priyayi dan terpelajar untuk memupuk kesadaran berpolitik, berpartisipasi aktif, menghayati identitas golongan dan memperkuat solidaritas atas dasar senasib sepenanggungan (Kartodirdjo, 2014, hlm. 122).
2. Serikat Islam