sejarah pendidikan, di Indonesia, tradisi pendidikan telah ada bahkan sebelum masuknya kolonialisme. Bangsa Indonesia memiliki tradisi pendidikan yang dikelola oleh masyarakat atau komunitas yang dipengaruhi oleh adat istiadat, tradisi, budaya, agama dan berbagai kepercayaan lainnya.
Berbicara mengenaiPendidikan yang diajarkan berkaitan dengan persoalan ketuhanan, keindahan, pertanian, akhlak, moral, dan tata pemerintahan kerajaan. Di zaman kerajaan bercorak Hindu-Budha, pendidikan masih bersifat informal dan non-formal. Belum ada lembaga pendidikan dalam bentuk sekolah seperti dewasa ini. Kendati demikian, telah berkembang berbagai tempat yang dijadikan lembaga pendidikan. Di antaranya adalah pecantrikan/padepokan, Pura, Pertapaan, dan keluarga.
Pendidikan era klasik di Nusantara dimulai dengan masuknya agama Hindu Budha pada abad ke-5 Masehi melalui wilayah Kutai, Kalimantan (Rifai, 2020: 15).Â
Salah satu Prasasti Kutai yang menggunakan huruf pallawa dari India, menceritakan tentang upacara pengorbanan kepada Dewa yang dilakukan oleh kaum Brahmana. Hal tersebut menunjukkan bahwa telah ada pengajaran baca tulis pada masa Hindu-Budha di Nusantara. Selain itu, kerajaan tempat prasasti tersebut dibuat telah menjalin hubungan dengan bangsa asing, yang dibuktikan dengan aksara yang dipakai dalam prasasti. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa para duta telah mendapatkan pendidikan bahasa, budaya dan tata pemerintahan.Â
Selain itu, menurut catatan I-Tsing yang melakukan perjalanan dari Kanton ke India pada 671 M, dapat diketahui bahwa di Sumatra terdapat kerajaan kuat bernama Sriwijaya yang menjadi pusat ilmu pengetahuan bagi para sarjana dan teolog Budha. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa pada masa Hindu-Budha, telah terdapat proses, institusi, kebijakan pendidikan, yang memiliki konteks berbeda dengan zaman sekarang (Bradjanegara,1945:10-11).Â
Menurut catatan I-Tsing tersebut, "Universitas" di Sriwijaya dapat menampung beratus-ratus mahasiswa biarawan Budha yang belajar dan tinggal asrama-asrama khusus. Pada masa kekuasaan Rakai Panangkaran dari wangsa Syailendra, di samping candi Borobudur dibangun suatu tempat pendidikan agama Budha yang dipimpin oleh seorang  pendeta yang dikenal dengan nama  Janabadra. Sekolah ini memakai sistem asrama atau pecantrikan atau padepokan (biara). Pendidikan yang disampaikan lebih berfokus pada pendidikan religi. Tujuan akhir dari pendidikan Hindu adalah untuk mencapai Moksa, sedangkan pendidikan Budha untuk mencapai Nirwana.Â
Pecantrikan atau padepokan merupakan istilah yang dipakai sebagai tempat berkumpulnya para cantrik, yaitu murid-murid yang belajar kepada guru di suatu tempat sehingga disebut pecantrikan. Lembaga ini dikhususkan bagi keturunan kaum brahmana untuk mempelajari segala macam pengetahuan yang bersumber dari kitab suci (Weda dan Upanishad bagi Hindu, serta Tripitaka bagi Budha). Padepokan merupakan tempat untuk bertapa, melatih kanuragan, bela diri, belajar ilmu pemerintahan, seni, budaya, dan sosial. Lembaga pendidikan ini memiliki tujuan jelas untuk mempersiapkan kader yang kelak akan dilibatkan dalam birokrasi pemerintahan  istana di kerajaan era itu.Â
Selain itu, ada pula pecantrikan bebas yang tidak terikat oleh suatu pemerintahan apapun. Tujuan pendidikannya untuk mentransformasikan ilmu. Jabatan guru dipegang  oleh brahmana, wiku, pandita, panembahan, dang acarya, atau resi. Mereka mempunyai tingkatan pengetahuan yang berbeda dengan kekhususan ilmu yang diajarkan.Â
Dalam relief-relief yang terdapat pada salah satu tembok di Candi Borobudur, tampak suatu ukiran yang menggambarkan suasana proses pendidikan. Ditengah-tengah pendopo besar, tampak seorang Brahmana/Pendeta yang duduk dengan murid-muridnya di muka kiri-kanan dengan membentuk lingkaran. Para murid memegang buku dan tampak sedang menerima pelajaran.Â
Sebagaimana dalam kitab Sarasamuscaya, sistem pendidikan pada masa  Hindu-Budha di Indonesia sama dengan yang ada di India, yaitu guru kulawesi atau guru kula yang berarti tinggal di rumah guru. Sebagaimana yang disebutkan dalam Pararaton, guru dan murid tinggal bersama di suatu asrama atau pertapaan. Kegiatan belajar mengajar tidak terbatas oleh waktu. Murid mendengarkan dan menulis di daun lontar, dan guru menjelaskan pelajarannya. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Sansekerta atau bahasa Kawi, dengan memakai huruf Jawa.Â
Selain belajar, murid berkewajiban untuk membantu gurunya memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hal tersebut dikarenakan para pendidik tidak menerima gaji. Sehingga, di samping belajar, para murid akan bekerja untuk menjamin kehidupan gurunya tersebut. Mereka harus tunduk kepada guru atau guru susrusa dan murid menaati aturan atau yang disebut siksasisyakrama.Â
Saat itu, para murid memiliki istilahnya sendiri, yang disebut cantrik, djedjangan, dan putut. Dari berbagai macam istilah tersebut, terdapat kemungkinan bahwa pada masa itu telah ada pengajaran rendah, menengah, dan tinggi. Murid atau cantrik dibagi atas empat tingkat atau catur asrama, yaitu brahmacari, grhastha, wanaprastha, dan bhiksuka. Brahmacari ada di tahap menuntut ilmu. Mereka tinggal bersama dengan brahmana untuk bertapa dan mempelajari berbagai ilmu. Dasar-dasar ilmu pendidikan yang dipakai adalah agama Budha dan Hindu.
Pelajaran-pelajaran yang diberikan Brahmana (dalam Rifai, 2020: 22) diantaranya adalah:
- Â Agama Budha atau Brahma;Â
-  Kepustakaan (Literatur) Mahabharata dan Ramayana;
- Filsafat dan kesusilaan (etika);
- Kesenian, seni bangunan, seni lukis, dan seni pahat;
- Ketuhanan (religi), seperti yang terbentang dalam Bhagavad Gita;Â
- Kenegaraan, seperti yang terbentang dalam Hasta Brata;Â
- Ilmu bangunan (bouw kunde);Â
- Ilmu pasti dan Ilmu alam
 Dalam Pararaton disebutkan bahwa materi yang diajarkan antara lain pelajaran tentang huruf, sengkalan (angka tahun dengan lambangnya), nama bulan, tahun Saka, dan hari. Di dalam kitab Jawa Kuno, dijumpai ajaran-ajaran tentang kebenaran, tingkah laku, filsafat dan memahami kesusastraan. Adapun pelajaran nyanyian atau tembang yang terdapat dalam kitab Wertasancaya. Disamping terdapat ajaran agama Budha Mahayana, kitab Sanghyang Kamahayanikan juga berisi tuntutan bersemedi. Berbagi pendidikan kejuruan dan keterampilan diselenggarakan secara turun temurun melalui jalur kastanya masing-masing (Depdikbud, 1965: 61-63).
 Misalnya, bagi kasta Brahmana meliputi tata cara upacara keagamaan dan sastra, sedangkan kasta Ksatria, pengetahuannya meliputi ilmu perang, seni bela diri dan sastra. Keterangan dari kitab Pararaton, pendidikan keterampilan juga meliputi pengetahuan tentang pembuatan alat dan barang dari logam yang diajarkan oleh seorang Mpu.
Keterangan naskah Wraspatitattwa mengatakan bahwa agama itu adalah sebutan pengetahuan yang diberikan oleh seorang guru. Pengetahuan yang diperoleh dari orang biasa bersifat insidentil atau hanya memberikan teladan sesaat saja. Naskah Wraspatitattwa juga menerangkan evaluasi pengajaran dilakukan dengan cara tanya jawab langsung antara guru dan siswa. Dilakukan secara individual maupun antara sekelompok siswa dengan gurunya. Karena pendidikan yang berlaku tidak bersifat formal, sehingga sangat dimungkinkan untuk para murid mencari guru lain guna memperdalam pengetahuannya,
Pendidikan yang diajarkan di pecantrikan/padepokan ini diarahkan pada kesempurnaan pribadi dalam hal agama, kekebalan dan kekuatan fisik, dan keterampilan memainkan senjata tajam dan menunggang kuda. Sedangkan bagi kasta bawah cenderung belum menerima pendidikan ini (Rifa'i, 2020:28).
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H