Mohon tunggu...
Sosbud

Kartini Juga Santri

22 April 2019   11:06 Diperbarui: 22 April 2019   11:15 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"... Ibu kita Kartini Pendekar bangsa Pendekar kaumnya Untuk merdeka, Wahai ibu kita KartiniPutri yang muliaSungguh besar cita-citanya Bagi Indonesia ..."

Sepenggal lirik lagu yang seringkali kita dengar bahkan kita hafal, lirik lagu yang menggambarkan sosok perempuan pahlawan bangsa dimana pada tanggal 21 April kita peringati sebagai hari kebesarannya.  Sosok pahlawan dalam memperjuangkan emansipasi wanita, siapa lagi kalau bukan R.A Kartini.

R.A Kartini adalah seorang priyayi lahir di Jepara pada 21 April 1879, putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat dan M.A. Ngasirah. Ayahanda Kartini adalah seorang wedana yang diangkat sebagai bupati Jepara setelah menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan yang merupakan keturunan Raja Madura. Sedangkan Ibundanya adalah putri dari Kyai Haji Madirono dan Nyai Haji Siti Aminah, seorang guru agama di Telukawur, Jepara.

R.A Kartini merupakan seorang anak bangsawan yang memiliki sifat gigih dalam belajar ini ditunjukkan dengan kegigihannya mempertahankan keinginan nya untuk belajar ke Belanda yang pada akhirnya gagal. Namun, walaupun demikian Kartini tetap membuka wawasannya melalui buku-buku Kakaknya Sosrokartono. Oleh karenanya, Kartini adalah gambaran wanita yang cerdas dan berwawasan luas.

Karena kecerdasan dan kegigihannya dalam menuntut ilmu, ketika ia belajar Al-Qur'an merasa hampa. Karena ia hanya diajari untuk belajar mengeja dan membaca tanpa mendalami kandungan yang ada dalam Al-Qur'an. Ia merasapercuma saja mampu membaca namun tidak mengerti maknanya apa padahal Al-Qur'an merupakan pedoman hidup umat Islam. Ketika Ia meminta Guru ngajinya mengartikan ayat Al-Qur'an Kartini justru mendapat amarah. Menjadikan Kartini gelisah akan keagamaannya.

Kegelisahannya ini, ia ungkapkan dalam suratnya kepada Stella Zihandelaar bertanggal 6 November 1899, R.A Kartini menuliskan:

" Mengenai agamaku, Islam, aku harus menceritakan apa? Islam melarang umatnya mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain. Lagi pula, aku beragama Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya?

Alquran terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun, agar bisa dipahami setiap Muslim. Di sini tidak ada orang yang mengerti Bahasa Arab. Di sini, orang belajar Alquran tapi tidak memahami apa yang dibaca.

Aku pikir, adalah gila orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibaca. Itu sama halnya engkau menyuruh aku menghafal Bahasa Inggris, tapi tidak memberi artinya.

Aku pikir, tidak jadi orang soleh pun tidak apa-apa asalkan jadi orang baik hati. Bukankah begitu Stella?"

Atas kegelisahannya ini terjawab dengan bertemunya Kartini dengan Mbah Kyai Sholeh Darat. Peretemuan ini dikisahkan oleh Ny Fadhilah Sholeh terjadi ketika R.A Kartini berkunjung ke rumah pamannya Pangeran Ario Hadiningrat seorang Bupati Demak. Saat itu Kartini menyempatkan diri mengikuti Pengajian yang diajarkan oleh Mbah Kyai Sholeh Darat tentang tafsiran Surat Al-Fatihah. Kartini menjadi amat tertarik dengan Mbah Sholeh Darat. Ia tertegun dengan apa yang dijelaskan oleh Mbah Kyai Sholeh Darat.

umroh.com
umroh.com

Setelah pengajian, Kartini mendesak pamannya untuk menemani bertemu dengan Mbah Kyai Sholeh Darat. Dalam pertemuan itu terjadiah dialog antara R.A Kartini dengan Mbah Kyai Sholeh Darat,

" Kyai, perkenankan saya bertanya bagaimana hukumnya apabila seorang berilmu menyembunyikan ilmunya? " Kartini membuka dialog.

Kyai Sholeh tertegun, tapi tak lama. " Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian? " Kyai Sholeh balik bertanya.

" Kyai, selama hidupku baru kali ini aku berkesempatan memahami makna surat Al Fatihah, surat pertama dan induk Al Quran. Isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku " ujar Kartini.

Kyai Sholeh tertegun. Sang guru seolah tak punya kata untuk menyela. Kartini melanjutkan; " Bukan buatan rasa syukur hati ini kepada Allah. Namun, aku heran mengapa selama ini para ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al Quran ke dalam Bahasa Jawa. Bukankah Al Quran adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia? "

Ny Fadhila menulis dialog hanya sampai situ, Mbah Kyai Sholeh Darat tak mampu berkata apapun kecuali subhanallah. Karena percakapan tersebut, menggugah Kyai Sholeh Darat untuk menerjemahkan Al-Qur'an ke dalam bahasa Jawa. Namun saat itu penjajahan Belanda secara resmi melarang orang menerjemahkan Al-Qur'an, oleh karena itu beliau menerjemahkan Al-Qur'an dengan ditulis dalam huruf "arab gundul" atau pegon agar tidak dicurigai.

Kitab tafsir ini diberi nama Kitab Faidhur Rohman yang merupakan kitab tafsir pertama diNusantara dalam bahasa jawa dengan aksara Arab. Dan kitab ini pula hadiah dari Mbah Kyai Sholeh Darat kepada R.A Kartini ketika menikah dengan R.M. Joyodiningrat seorang Bupati Rembang. Kartini sungguh bahagia ketika menerima kitab tersebut bahkan hampir setiap waktu luangnya digunakan untuk mempelajari kitab tersebut. Sayang surat yang diterjemahkan Mbah Kyai Sholeh Darat hanya Al-Fatihah sampai Ibrahim dan belum terselesaikan karena Mbah Kyai Sholeh Darat keburu wafat.

Melalui kitabnya tersebutlah Mbah Kyai Sholeh Darat membawa Kartini dalam perjalanan transformasi spiritual. Pandangan Kartini tentang Barat pun berubah. Hal ini sesuai dalam surat Kartini kepada Ny Abendon tanggal 27 Oktober 1902,

" Sudah lewat masanya, semula kami mengira masyarakat Eropa itu benar-benar yang terbaik, tiada tara. Maafkan kami. Apakah ibu menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban.

Tidak sekali-kali kami hendak menjadikan murid-murid kami sebagai orang setengah Eropa, atau orang Jawa kebarat-baratan. "

Selain itu, dalam surat Kartini kepada Ny Van Kol tanggal 21 Juli 1902. Kartini mengungkapkan keinginan memperbaiki Islam untuk Pribumi,

" Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang Islam sebagai agama disukai. "

Setelah membaca kisah Kartini tersebut, kita tahu Kartini juga merupakan santri dari Mbah Kyai Sholeh Darat. Selain itu, dari silsilah keluarga Ibundanya Kartini merupakan cucu seorang pemuka agama yang pasti diajarkan ajaran-ajaran agama. Sebagai bukti lain bahwa Kartini adalah santri dan pendorong Mbah Kyai Sholeh Darat membuat buku tafsir dapat dilihat dalam pembukaan kitab tafsir Faidhur Rohman, dimana dalam pembukaan itu Mbah Kyai Sholeh Darat menegaskan bahwa penerbitan bagian dari seluruh kitab tafsir adalah permintaan sebagian teman-temannya bahkan ditulis dengan ikhwan kito fiddin yang artinya teman yang seagama. Hal ini menjelaskan bahwa permintaan yang dimaksud bukan dari Belanda yang beda agama.

Sekian J

Sumber :

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun