Fobia merupakan gangguan kecemasan yang disebabkan oleh rasa takut secara berlebihan sehingga ketakutan ini menimbulkan kecemasan pada diri individu tersebut dan bisa juga terjadi depresi. Kecemasan yang terjadi secara terus menerus akan membahayakan pada diri sendiri. Penderita fobia menyadari bahwa ketakutan yang ia alami tidak melebih-lebihkan dan harus ditangani oleh psikolog maupun psikiater, fobia bisa terkena oleh siapa saja tidak pandang batas umur dan jenis kelamin.Â
Menurut Sudirjo (dalam Azmarina 2015) penderita fobia itu menyadari bahwa ketakutannya tidak melebih-lebihkan, tetapi dia sendiri tidak bisa untuk mengatasinya.Â
Seperti halnya seseorang yang memiliki fobia dengan nasi, ketika melihat nasi, orang tersebut akan merasakan takut atau cemas pada situasi tersebut.Â
Bahkan melihatnya ataupun memegangnya, orang tersebut menolak. Kebanyakan dari mereka mengetahui bahwa ketakutan yang mereka rasakan cenderung berlebihan. Menurut Ridwan (2015) berbicara secara psikologis, fobia dapat mengganggu produktivitas pada figure otoritas (dosen, pemimpin, guru, orang tua dan lain sebagainya), orang yang memiliki gangguan fobia tidak pernah kehilangan ikatan dengan realitasnya.Â
Rasa khawatir ini adalah kecemasan akan ekspektasi berlebihan yang menyebabkan gangguan fobia bisa terjadi dengan siapa saja. Ketakutan akan fobia ini berbeda dengan ketakutan biasa. Ketakutan bisa menjadi fobia dalam situasi seperti ketakutan yang tidak sebanding dengan risikonya, berlangsung lebih dari 6 bulan, mengakibatkan dampak yang besar dalam kehidupan sehari-hari, dalam kasus ekstrem fobia dapat mempengaruhi aktivitas sosial dan pekerjaan. Fobia yang terjadi pada masa kanak-kanak paling umum terjadi antara usia lima sampai Sembilan tahun.Â
Fobia ini biasanya berlangsung dalam waktu yang singkat. Fobia dapat berlangsung selama beberapa tahun pada orang yang berusia 20-an. Tanpa pengobatan, fobia ini tidak bisa sembuh dengan sendirinya. Fobia yang di alami oleh orang dewasa dapat mengakibatkan risiko kesehatan mental seperti depresi.Â
Saat berhadapan dengan akar penyebab rasa takut, gejala fisik umum fobia yaitu ketika badan merasa pusing dan ingin pingsan, lemas, sesak, berkeringat, tubuh merasa gemetar, dan muntah. Jika gejala fobia semakin parah, penderita mungkin mengalami serangan panik. Mengingat banyaknya gejala yang muncul, banyak penderita fobia memilih untuk menghindari akar penyebab rasa takut. Akibatnya, semakin sulit bagi merekka untuk menghilangkan fobia tersebut hal itu dapat mempengaruhi kehidupan mereka. Kalimat zikir mengandung arti yang sangat dalam agar dapat mengurangi timbulnya kecemasan atau stress (Perwitaningrum, Prabandari, & Sulistyarini 2016).
Menurut Subandi (2009) cara untuk menurunkan tingkat stress dan afeksi negatif harus memiliki kegiatan dzikullah yaitu mendekatkan diri kepada Allah SWT, ada juga Psikoterapeutik dengan terapi dzikir mempunyai dampak yang lebih signifikan untuk mengurangi masa cemas yang di alami oleh ibu kehamilan pertama. Supradewi (2008) mengatakan dzikir seharusnya dilakukan dengan serius dan tulus agar makna nya meresap ke psikologis. Jadi saat dzikir dan menyerahkan diri kepada Allah SWT individu akan masuk ke dalam bidang transendensi (vertikal), memperdalam pengalaman agama yang misterius (mystical experience), dan merasakan kenikmatan secara rohani (Sucinindyasputeri, Mandala, Zaqiyatuddinni, & Aditya 2017).Â
Dalam konsep hipnosis, pengucapan kata berulang kali akan berdampak memberi pengaruh untuk orang tersebut agar meyakinkan dirinya sendiri tentang apa yang dia katakan dalam tahapan hipnotis. Maka dari itu, dapat di maknai ketika manusia mengatakan hal-hal baik atau mengatakan kalimat pujian pada Allah SWT dalam zikir. Orang yang beriman, selalu ingat Allah SWT, dan ketahuilah zikir bisa membuat hati menjadi damai (QS. ArRa'd: 28), (Azmarina 2015). Gejala fobia dapat bervariasi, tergantung pada tingkat keparahan penyakit dan kondisi fisik pasien.Â
Rasa takut dan fobia memang disebabkan oleh suatu hal yang sama yaitu amigdala (bagian otak yang berfungsi untuk merespon insting). Ketika seseorang memiliki gangguan kecemasan pada jangka panjang tubuh akan langsung mengalami efeknya yaitu pada sistem saraf pusat yang menyebabkan otak melepaskan hormon stres secara teratur, manusia yang mempunyai gejala fobia tidak hanya ditandai dengan kondisi fisik atau psikis saja akan tetapi banyak faktor yang lain.Â
Adapun untuk cara menanggulangi seseorang yang mempunyai gejala fobia yaitu dengan cara menerapi seluruh badan orang tersebut dan juga diberi obat-obatan, selain itu juga seseorang biasanya lebih ditekankan untuk mengendalikan perasaan dan pikiranya untuk mempermudah mengobati gejala fobia ini.Â
DAFTAR PUSTAKA
 Azmarina, R. (2015). Desensitisasi sistematik dengan dzikir tasbih untuk menurunkan simtom kecemasan pada gangguan fobia spesifik. Jurnal Psikologi Indonesia, 12(2), 91-93. http://dx.doi.org/10.26555/humanitas.v12i2.3836Â
Ridwan, R. (2015). Fobia, ragam dan penangananya. Respository Uin Jambi, 53(9), 1689--1699. Retrieved from http://repository.uinjambi.ac.id/4341/1/jurnal Fobia 2015.pdÂ
Subandi, M. A. (2009). Psikologi zikir: Fenomenologi transformasi religious. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Retrieved from https://repository.ugm.ac.id/97140/Â
Sucinindyasputeri, R., Mandala, C. I., Zaqiyatuddinni, A., & Aditya, A. M. S. (2017). Pengaruh terapi zikir terhadap penurunan stres pada mahasiswa magister profesi psikologi. Jurnal Ilmiah Psikologi, 8(1), 31-33. Retrieved from https://journal.paramadina.ac.id/index.php/inquiry/article/view/125Â
Supradewi, R. (2008). Efektivitas pelatihan dzikir untuk menurunkan afek negatif pada mahasiswa. Jurnal Psikologi, 1(2), 199-215. Retrieved from http://digilib.uinsuka.ac.id/id/eprint/8847Â
Perwitaningrum, C. Y., Prabandari, Y. S., & Sulistyarini, I. (2016). Pengaruh terapi relaksasi zikir terhadap penurunan tingkat kecemasan pada penderita dispepsia. Jurnal Intervensi Psikologi 8(2), 160-164. https://doi.org/10.20885/intervensipsikologi.vol8.iss2.art1Â
Anggraieni, W. A., Subandi, S. (2014). Pengaruh terapi relaksasi zikir untuk menurunkan stres pada penderita hipertensi esensial. Jurnal Intervensi Psikologi 6(1), 87-88. https://doi.org/10.20885/intervensipsikologi.vol6.iss1.art6Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H