SYAIR
"Oma...!"
"Eh, Non, Omanya lagi sholat dzuhur."
"Oww, makasih Bik."
"Sama, Non. Mari...." Bik Inah berjalan meninggalkanku.Â
Aku duduk menggenggam sofa. Memandang jauh ke angan. Liburan rutin yang kulewati bersama nenek, selalu menimbulkan banyak pertanyaan. Dari kisah ini, dari bibir nenek dan dari keseharian manusia yang ada di kehidupanku. Aku menemukan banyak tanda tanya, tapi tak kunjung bersua dengan tanda titik.
Umurku semakin berkurang, kata nenek. Berkurang 17 tahun, terlalu cepat bagiku. Tapi kata nenek, aku bertumbuh sangat lambat, sehingga mempengaruhi perkembanganku yang juga melambat. Aku tidak pernah mengerti setiap perkataan nenek. Bius ucapannya saja, yang mampu membuatku merenung.Â
Entahlah, dalam lirik kekuranganku, percaya dengan telinga harus semakin di depan. Mengolah dan memperpadu yang kutahu. Hingga aku tahu yang tersentuh dan tersemu. Tapi nenek bilang, aku tak pernah tahu apa yang ada di dekatku. Kekuranganku hanya menambah kekurang lainnya. Aneh, nenek seperti mengejekku.Â
"WA IDZ QAALA RABBUKA LILMALAA-IKATI INNII JAA'ILUN FIIL ARDHI KHALIIFATA QAALUU ATAJ-'ALU FIIHAA MAN YUFSIDU FIIHAA WA YASFIKUD DIMAA-A WA NAHNU NUSABBIHU BIHAMDIKA WA NUQADDISULAKA QAALA INNII A'LAMU MAA LAA TA'LAMUUN(A),"Â suara merdu nenek terdengar dari balik tirai. Itulah tirai pembatas sebagai tempat ruang sholat, nenekku yang memintanya.Â
Aku sering mendengar nenek melantun ayat-ayat suci Al-Quran. Dan syair itu selalu berhasil membawaku pergi dari villa ini. Karena nenek melantunkannya dengan sangat merdu. Aku pun mengikuti kata demi kata yang nenek ucapkan.
Dengan guruku, hanya ilmu umum yang diperjelas. Lagi-lagi, itu kata nenekku.
Aku tahu, nenek sudah mengakhiri syairnya. Dan sekarang, dia duduk tersenyum di hadpanku.