Sebenarnya perasaan seperti ini bukan hal yang baru bagi saya, di mana setelah menonton, membaca, atau sekedar mendengar cerita tentang orang-orang hebat yang melakukan perubahan besar untuk banyak orang. Dan kali ini, saya kembali merasa ‘kecil’ setelah menyaksikan kisah perjuangan Muhammad Darwis a.k.a KH Ahmad Dahlan dalam melahirkan Muhammadiyah. Merasa ‘kecil’ karena saya selalu melihat pola yang sama baik dari sosok KHA Dahlan, Moh. Hatta, ataupun Erwin Gruwell (guru di Amerika yang berhasil mengubah hidup banyak muridnya): mereka pekerja keras, teguh dalam mempertahankan ideologinya, berhasil melawan segala rasa takutnya, memikirkan hidup dan kesejahteraan orang banyak, dan hidup dalam kesederhanaan.
Ya, saya jadi tahu tentang bagaimana seorang pejuang, pencerah, pembaharu giat berkarya. Saya menyaksikan bagaimana mereka mengorbankan banyak hal, termasuk harta benda keluarga, untuk kemaslahatan masyarakat. Erwin Gruwell, guru yang diperankan oleh Hillary Swank di Freedom Writers, bahkan bekerja tambahan sebagai pelayan di dept. store dan hotel demi menyediakan buku yang layak bagi anak didiknya. Sementara saya? Saya ciut dan merasa ‘kecil’ karena sadar, betapa saya masih enggan mengorbankan lebih banyak harta pribadi untuk orang lain yang membutukan.
Saya juga ciut karena saya tahu betapa penakutnya saya. Terus terang saya bukan orang yang berani dalam mengambil keputusan besar, maka saya suka heran kalau ada orang yang berani menunjuk saya untuk memimpin. Karena saya tahu, seorang pemimpin, pencerah, adalah orang yang harus berani mengambil resiko. Sementara saya takut, bagaimana kalau langkah yang saya ambil menuju cita-cita saya itu tidak tepat?
Teman-teman, saya bercita-cita untuk menjadi bagian dari mereka yang memajukan pendidikan anak-anak Indonesia. Saya bercita-cita mengembangkan pendidikan untuk kaum miskin agar pendidikan berkualitas dapat mereka raih dan bukan dominasi kaum berada. Tetapi kini saya menulis blog ini ditemani brownies dan kopi ala Amerika yang saya beli dari gaji saya bekerja (Insya Allah halal) sebagai dosen di salah satu universitas swasta di Jakarta. Sebagian orang mungkin berkata, “bagaimana kamu bisa tahu cara membantu mereka kalau kamu berada di ruang ber-ac, berada di dalam kelas, sementara mereka berada di tempat yang hampir tidak pernah teraih olehmu?”
Ya teman, percayalah suara itupun menghantui saya. Tetapi apakah saya harus meninggalkan pekerjaan saya yang cukup ‘aman’ dari segi financial ini? Saya belum berani. Saya memikirkan keluarga, belum lagi apabila nanti punya anak, anak pembantu di rumah yang sudah anak masuk sekolah, kalau saya meninggalkan pekerjaan tetap yang memang menyita waktu ini demi cita-cita saya untuk terjun di pendidikan kaum marjinal, mampukah saya membantu suami menafkahi keluarga dan orang-orang di dekat kami? Mampukah saya berbesar hati apabila tidak dapat menikmati film di bioskop, makan di mall, ngopi2 sambil kerja, dan belanja-belanja buku lagi? Teman, apakah saya berfikir terlalu buruk dan memiliki ketakutan berlebihan? Tetapi kalau Anda sudah menyaksikan apa yang dikorbankan KHA Dahlan dan sang istri, maka mungkin Anda akan menimbang lagi sebelum mengatakan: “nisa, kamu lebay deh. Ngga segitunya, kali!” J
KHA Dahlan berhasi membangun teamwork yang solid. Walaupun bekerja dengan sangat sedikit muridnya, mereka punya satu visi yang sama: pembaharuan. Kembail saya befikir, bagaimana dengan saya? Di awal karier saya, dengan penuh kepolosan, saya fikir saya bekerja dengan mereka yang punya passion yang sama, ambisius dalam membangun kapasitas guru di berbagai wilayah di Indonesia. Kini setelah menjadi dosen (dulunya saya adalah fasilitator untuk pendidikan guru), antusiasme saya mengendur ketika saya menemui bahwa rekan-rekan saya memiliki ambisi-ambisi yang, saya ngga bilang salah atau buruk, berbeda dengan saya. Mereka sibuk kasak-kusuk cari beasiswa PhD dengan motivasi salah satu atau kedua hal ini: jabatan akademik (biar bisa jadi professor atau guru besar) dan hidup di luar negri. Saya yang tadinya ikut semangat ingin belajar lebih jauh tentang pendidikan multikultural dan pendidikan kaum marginal, jadi merasa ilfil karena melihat mereka yang sebegitu tergila-gilanya dengan jabatan akademik, atau dengan hidup enak di dunia barat.
Saya juga mulai ragu dengan keterkaitan antara profesi dosen yang saya ampu ini dengan cita-cita saya tadi. Masalahnya, saya diarahkan untuk tidak terlalu fokus pada urusan ‘community service’ a.k.a terjun ke lapangan dan bekerja sama dengan guru-guru di sekolah atau rumah singgah. Mengapa? Karena menurut perhitungan jabatan akademik, diantara tridarma perguruan tinggi (mengajar, meneliti dan mengabdi), maka untuk level saya (asisten ahli), kegiatan pengabdian masyarakat tidak perlu banyak bahkan dibatasi hanya 15%. Sedangkan mengajar di kelas adalah 35% minimal. Selain saya berkomentar: “pantesan ya banyak dosen yang ngga ngerti kebutuhan sekolah, kebutuhan guru, masalah yang dialami siswa…” saya juga merasa ngeri: apakah saya akan terperangkap di menara gading ini?!
Saya bukan sekedar bercita-cita membangun sekolah untuk anak-anak miskin, tetapi saya justru ingin sekali dapat mengembangkan kurikulum untuk sekolah-sekolah non-formal, memajukan sekolah-sekolah di pedesaan dan area-area terpencil di Indonesia. Agar bukan saja anak-anak Indonesia memperoleh kesempatan yang sama dalam pendidikan, tetapi juga kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Saya ingin menjadikan sekolah yang saya bangun sebagai model dan laboratorium saya dalam menciptakan materi belajar untuk anak-anak di berbagai penjuru Indonesia. Ah, menjadi pencerah dan pembaharu pasti perlu strategi toh? Dan saya ciut menyadarinya. Menyadari bahwa betapa utopis pikiran saya, betapa saya kebingungan untuk mulai dari mana, apa dulu yang harus dikerjakan, apakah saya harusnya ada di pemerintahan (oh no,…). Apakah memang harus dimulai dari keluar dari tempat kerja dan fokus pada cita-cita ini?
KHA Dahlan mengajarkan saya bahwa bagaimanapun kecilnya usaha yang kita lakukan, ketika beliau mengajar di langgar untuk segelintir orang, visi atau cita-cita besar harus dipelihara, sehingga semua usaha mengarahkan diri kita pada pencapaian cita-cita; dengan demikian tidak ada aktivitas dan upaya yang menjadi sia-sia atau ‘ngga nyambung’ dengan cita-cita kita. Bagaimana dengan saya? Apakah memang posisi dan pekerjaan saya saat ini dapat benar-benar memberi arti bagi kehidupan dan kemajuan bangsa ini atau sekedar pekerjaan mencari nafkah semata?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H