Mohon tunggu...
Nisa
Nisa Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Mahasiswa informatika

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menagih Hutang

28 Januari 2023   10:10 Diperbarui: 28 Januari 2023   21:48 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wanita pruh baya itu melontarkan pertanyaan kepada anak-anak disana, dilihatnya para gadis sudah tetunduk-tunduk tak kuasa melawan kantuk.

" Baik, ada yang ditanyakan?" kali ini pandangan dinginnya menyapu seisi kelas.

" Tidak ada ustadzah." jawaban klise! Mereka hanya mengganti kalimat "kami tidak mengerti apa-apa" dengan kaliamt lain.

Diwaktu yang sama dua orang dibelakang Laila mengayunkan tekanan keras kebelakang kepalanya, membuat kitab dan penanya terserak kedepan. Meski begitu ia tidak melakukan apa-apa. Baginya, melawan dua orang dibelakangnya sama menakutkannya dengan melawan wanita paruh baya itu.

"Tashdiq!" kalimat keramat itu akhirnya terucap, kepala yang tentunduk-tunduk serempak tegak, dibanding wajah mereka purnama malam ini pun kalah berseri. Anak-anak berdo'a tanda pelajaran telah usai. Para gadis berduyun-duyun saling dorong, menghantam bahu satu sama lain, suara tawa bercampur ramainya suara kaki dan gesekkan seragam yang memekakan telinga. Bak lautan manusia dipadang mahsyar, bedanya mereka keluar kelas bukan ke surga.

Perut kosong yang melolong kasar laksana rakyat meminta keadilan, Laila mengikuti nalurinya menuju ke dapur, tempat berisi kuali-kuali besar yang dapat menelan dua orang dewasa sekaligus. Antrean panjang melambai dibelakangnya, nampaknya mulut para gadis bukan satu-satunya sumber keramaian.

Usai mendapat makanan anak-anak berbalik dan pergi, tak sabar menikmati hidangan santap sore, begitupun Laila. Dua anak itu berada diambang pintu meminta makanan Laila, adalah orang yang sama yang membuat kitab dan penanya terserak saat mengaji. Makanan Laila direnggut oleh gadis-gadis picik sore itu, pun sore -sore sebelumnya.

Sayang sekali dua centong nasi dan sesendok sayur itu tidak dimakan, mereka menumpahkan kuah bercampur nasi ke tangan gadis kecil yang penuh lukan basah dan nanah.

" Aku muak melihatmu menggaruk sepanjang hari, menjijikan melihat luka berdarah dan nanahmu itu!" senggak salah satu gadis picik.

"Lebih baik kau bau sayur dari pada bau amis, sial ! aku mau muntah" imbuh lintah yang lain.

"Apakah sekalipun pernah aku berbuat buruk terhadap kalian? Mengapa kalian selalu melakukan ini?" mata Laila berkaca-kaca

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun