Resensi Buku dengan judul Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda oleh Reggie Baay
“Sejarah para perempuan dalam buku ini memberi pemahaman kepada kita mengenai pola hubungan pada zaman kolonial, dalam proses kemunculan para Indo dan posisi perempuan Indonesia (dan ketidakadilan yang diterimanya). Pengetahuan mengenai hal ini tidak hanya penting untuk masa lalu, tapi juga untuk masa kini dan masa depan. Manusia yang tidak mengenal sejarahnya, tidak akan dapat menentukan posisinya di masa kini dan tidak tahu bagaimana harus menentukan arah ke masa depan. Oleh karena itu, sejarah mengenai nyai juga penting untuk disebarluaskan. Dengan demikian, para perempuan ini akan mendapat tempat dalam sejarah di negara asalnya, Indonesia.” – Penggalan pengantar dari Penulis
Alphen aan den Rijn, Mei 2010
Reggie Baay
Judul Resensi :
Hak dan kedudukan para Perempuan Indonesia di Era masa kolonial
Judul Buku :
Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda
Pengarang: Reggie Bay
Peyunting: Dahlia Isnaini
Penerjemah: Siti Hertini Adiwoso
Penerbit: Komunitas Bambu
Cetakan ke/Tahun terbit: I (pertama), Komunitas Bambu, Mei 2010.
Jumlah Halaman: (xx + 300 hlm) ;
Ukuran Buku : (14x21 cm)
ISBN: 979-3731-78-8
Tema :
Membahas tentang sejarah kedudukan para perempuan terutama menyangkut perempuan Indonesia (pribumi) sebagai Nyai dan pergundikan yang terjadi di Hindia Belanda pada masa kolonial ketika Indonesia dijajah oleh Belanda. Diawali dengan kedatangan perusahaan dagang Belanda VOC yang berkonsentrasi pada perdagangan rempah-rempah dalam skala Internasional.
Kilas Sejarah Pergundikan Perempuan Hindia Belanda
Pergundikan para perempuan di Indonesia dimulai ketika Perusahaan Dagang Belanda VOC tiba di Nusantara yang dikenal dengan nama Hindia Belanda (pada masa itu). Perusahaan dagang Belanda yang berkonsentrasi pada usaha rempah-rempah dalam skala Internasional. Indonesia merupakan salah satu negara terbesar penghasil rempah-rempah. Potensi kekayaan yang dihasilkan sumber daya alam Indonesia yang sangat melimpah menarik minat Belanda untuk lebih dalam mengenal dan menggali Indonesia.Peran perempuan pribumi Indonesia pada masa itu hanya sebatas sebagai perempuan yang mengurusi rumah tangga saja, belum ada perempuan yang mengenal pendidikan, belum ada perempuan yang mengetahui hak dan kedudukannya sebagai perempuan merdeka dan sebagai seorang manusia pada umumnya. Ada perbedaan kedudukan serta derajat status sosial antara perempuan Eropa (Eurasia) dengan perempuan pribumi Indonesia sehingga menyebabkan perbedaan penyikapan terhadap keduanya. Perempuan tidak dilihat secara utuh sebagai perempuan berdasarkan kodratnya. Rasisme juga terjadi masa itu.
Pada awalnya, VOC perusahaan dagang yang berkonsentrasi pada perdagangan rempah-rempah seperti merica, cengkeh dan pala di Timur. Namun, perdagangan berkembang dengan cepat hingga ke sutera, katun, kopi, nila, tembaga dan timah (di luar rempah-rempah). Demi memenuhi kebutuhan perdagangan tersebut, diciptakanlah jaringan kantor dagang dan gudang di Asia. Disanalah para pegawai (yang mayoritas merupakan para pria, pada zaman itu perempuan masih langka bekerja) bekerja. Mereka membeli dan mengatur pencatatan barang-barang untuk selanjutnya dimasukkan ke dalam gudang-gudang. Di samping itu, ditempatkan juga para serdadu yang tidak hanya bertugas menjaga gudang-gudang penyimpanan tapi juga seluruh pemukiman. Di sana juga ada banyak awak kapal yang bekerja mengatur transportasi barang dagang yang bernilai tinggi. Daerah-daerah pendudukan di Asia dihuni oleh kelompok-kelompok masyarakat laki-laki dan kebanyakan merupakan pegawai VOC berpangkat rendah yang masih lajang. Saat itu, terjadi kekurangan besar perempuan Eropa di daerah pendudukan. Kebanyakan laki-laki Eropa sebagai solusi menyelesaikan permasalahan tersebut dalam rangka pemenuhan kebutuhan biologisnya dengan mengambil gundik perempuan Asia. Perempuan-perempuan yang dijadikan gundik ialah parabudak perempuan di rumahtangga Eropa yang kebanyakan melakukannya secara terpaksa dikarenakan tidak punya pilihan lagi untuk menentukan nasibnya. Pada kenyataannya, terkadang sukar untuk menunjukkan garis pemisah antara pergundikan dengan pelacuran, hukum pun tidak ada mengatur persoalan itu. Garis pemisah ini diperlukan untuk menunjukkan keadaan yang telah bertahan cukup lama. Persoalan pergundikan tersebut kemudian menjadi suatu permasalahan gejala sosial di masyarakat. Para gundik bukanlah budak perempuan Jawa. Karena khawatir akan munculnya sabotase, maka diputuskan bahwa orang Jawa tidak boleh menjadi budak di daerah-daerah pendudukan di Jawa. Oleh karena itu, mereka diambil dari tempat-tempat lain diantaranya dari India, Filipina, dan juga Sumatera serta Bali.
Pergundikan dan Anak-anak Eurasia
Jumlah pernikahan laki-laki VOC dan perempuan Kreol atau Eurasia pada umumnya sedikit yang lebih banyak dan mendominasi pada saat itu justru hubungan gundik antara laki-laki Eropa dengan perempuan Asia. Hanya yang berpangkat tinggi, memiliki status sosial yang tinggi yang bisa menikah dan mereka pun hanya sebagian kecil dari populasi orang Eropa di daerah pendudukan. Bagian yang jauh lebih besar terdiri dari para pegawai rendah dan serdadu, yaitu para laki-laki yang bukan hanya orang Belanda. Mereka juga berasal dari berbagai negara di Eropa Barat seperti Prancis, Jerman, Denmark, Skotlandia dan Inggris. Mereka memiliki kontak paling banyak dan paling erat dengan penduduk Asia, terutama karena hubungan mereka dengan para budak perempuan Asia.
Saat itu juga terdapat kebijakan yang justru semakin menyuburkan pergundikan. Para laki-laki dari kalangan biasa tidak bisa menikah tanpa persetujuan atasan VOC. Kebijakan ini berlaku baik untuk pegawai rendahan maupun penduduk koloni yang bukan budak. Permohonan izin menikah dapat langsung ditolak tanpa diberikan alasan yang berdasar. Sejak 1617, juga terdapat larangan menikah antara (mantan) pejabat VOC dengan perempuan non-Kristen. Laki-laki Eropa yang menikah dengan perempuan Asia pun tidak boleh melakukan repatriasi (pulang ke tanah airnya atau negara asalnya). Jika ada laki-laki Eropa yang ingin menikahi budak perempuan Asia maka ia harus melunasi pembelian budak tersebut kepada VOC (sebagai pemilik budak dalam wilayah pendudukan) atau membayar secara angsuran yang dipotong dari gajinya. Di samping itu calon pengantin perempuan harus memeluk agama Kristen. Mereka pun harus dibaptis dan diberi nama Kristen sebagai tanda dilahirkan kembali. Pendek kata, rezim semacam ini telah mendorong lahirnya dan suburnya praktik hubungan tanpa ikatan antara laki-laki Eropa dan perempuan Asia, hal ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan lepasnya tanggungjawab para laki-laki di kemudian hari terhadap anak-anak yang dihasilkan dalam hubungan tanpa ikatan dengan perempuan Asia sebagai gundik tersebut.
Merupakan kebiasaan saat itu bahwa laki-laki yang baru datang dari Eropa lantas hidup dalam pola hidup pergundikan. Setelah beberapa waktu dan merasa yakin dengan pendapatannya, ia pun kemudian berusaha memperbaiki kedudukan dengan menikahi perempuan Kreol atau Eurasia (terutama putri teman sejawat yang berpengaruh besar). Setelah itu gundik Asia dan anak-anak Eurasia yang lahir dari hubungan sebelumnya akan diusir begitu saja. Pengusiran terhadap gundik-gundik Asia yang diketahui hamil pun kerap terjadi. Namun, pengakuan terhadap anak-anak hasil pergundikan-meskipun sang nyai (ibu) tetap diusir - juga lazim dilakukan.
Sebagai akibat dari kebijakan yang telah diberlakukan, pergundikan pun berkembang subur di koloni. Anak-anak hasil pergundikan Eurasia yang terlantar dan tidak terawat menimbulkan permasalahan dalam masyarakat sejak awal abad ke-17. Pola hubungan yang terjalin pun hamper sama, para laki-laki Eropa memiliki ikatan yang lemah dengan anak-anak dari perempuan Asia. Demikian juga sebaliknya, kebanyakan anak-anak ini tidak pernah merasa sebagai Eropa dari sisi pribumi pun mereka sedikit mengalami penyikapan yang berbeda. Dianggap Eropa tidak dianggap pribumi pun juga tidak. Banyak dari mereka yang telah ditelantarkan sejak masa remajanya. Sejak 1624, Batavia sudah memiliki panti asuhan yang terletak di daerah miskin. Pada awalnya orang-orang Eropa miskin dan orang-orang Eurasia dibawa ke sana. Namun kemudian hanya anak-anak Eurasia yang bisa ditemukan di sana. Hanya sebagian dari anak-anak terlantar yang masuk ke rumah tersebut. Sebagian besar hidup bersama ibu mereka di tengah masyarakat Asia. Anak perempuan kelak menjadi budak sedangkan yang laki-laki masuk militer. Namun, anak-anak perempuan ini juga tidak jarang menjadi pasangan bagi serdadu VOC dan kemudian nasib bergulir sama sebagaimana sebelumnya.
Pada 1850, Residen Batavia yang bernama P. van Rees menulis sebuah laporan mengenai keadaan wilayahnya. Di dalamnya ia membeberkan keterangan dengan jelas kedudukan anak-anak hasil pergundikan :
“Tidak diragukan lagi nasib anak-anak pribumi memang jauh dari keadaan yang membuat iri. Terlahir dari orang tua (ayah) Eropa dan tidak jarang dibesarkan di tengah kesenangan dan kemewahan, banyak di antara mereka telah menyatu dengan cara hidup dan kebutuhan orang-orang Eropa; tanpa pandangan ke masa depan tentang cara memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Karier di dalam pemerintahan - satu-satunya yang diinginkan di Hindia Belanda-tidak tergapai bagi mereka. Berdasarkan prinsip politik mereka dilarang dari hampir semua keikutsertaan di dalam pemerintahan, bahkan pada jabatan-jabatan rendah […] Karena kehilangan semua mata pencaharian, mereka terpaksa bekerja sebagai juru tulis dengan bayaran kecil – suatu hak istimewa yang belum bisa diraih oleh semua orang yang menginginkannya. Atau hidup dari uang Pribumi atau Tionghoa yang mereka hina dengan menawarkan jasa untuk menulis surat-surat permohonan atau dengan cara illegal. […]
Di dalam situasi permasalahan semacam ini tidak mengherankan jika muncul ketidakpuasan di antara kelompok itu.”
Analisis terhadap Nilai-nilai dan Norma yang terjadi terhadap perempuan pribumi pada masa Kolonial.
Perempuan yang sebagian besar digundik merupakan budak dari pribumi Indonesia. Konsep dalam perbudakan adalah kepemilikan akan seseorang. Manusia tidak dianggap sebagai subyek melainkan sebagai obyek. Ada perbedaan dan pemisahan yang terjadi di antara manusia melalui perbudakan, ada yang memiliki (sebagai majikan) danada yang dimiliki (sebagai budak) hal tersebut menyalahi dan menyimpangi kodrat seorang manusia dan menabrak serta melawan nilai-nilai kemanusiaan. Belum lagi jika melihat pada permasalahan gender yang kental dan kuat terjadi di masa itu, perempuan masih dipandang sebelah mata, kedudukannya masih dianggap lebih rendah daripada laki-laki. Perempuan tidak bisa memiliki keinginan, bahkan tidak boleh memiliki keinginan. Perempuan tunduk terhadap kekuasaan laki-laki dan di dominasi oleh kaum adam. Tidak bisa menyuarakan dalam segala bentuk yang merupakan kepentingannya pribadi, tidak dibebaskan dan pamali untuk berkata tidak atas nasib pilihan hidup mereka. Dan dalam permasalahan yang diangkat oleh penulis dalam bukunya tersebut, ada pada permasalahan praktik penjajahan yang membedakan perlakuan terhadap kaum Eropa dan kaum pribumi dan hal ini berujung pada permasalahan rasisme. Para kolonial di saat itu menerapkan praktik asas konkordansi yang memberlakukan segala hukum kolonial yang dibawanya. Nilai-nilai lokal dikesampingkan dan tidak berlaku bagi mereka. Hanya mengikat sebatas bagi pribumi semata. Sehingga pada saat itu terjadinya penggolongan penduduk dan penggolongan sistem hukum yang berlaku. Manusia tidak dipandang sederajat, melainkan terdapat penggolongan dan berpengaruh pada status sosial seseorang di masa itu. Hal-hal ini sudah tentu bertentangan dengan hak-hak kodrati sebagai manusia yang sederajat. Terutama bagi para perempuan dalam peranan dan kedudukannya di lingkungan masyarakat.
Kesimpulan
Dalam buku Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda memuat fenomena-fenomena sosial yang menjadi gejala sosial serta membudaya secara tidak disadari dan masih dianggap wajar pada saat itu mengenai permasalahan pergundikan perempuan pribumi. Hal itu dianggap lumrah. Permasalahan baru terjadi di kemudian dan berdampak pada status hubungan tidak terikat dan keturunan campuran yang menjadi masalah berkelanjutan.
Pendapat dari Peresensi
Menurut peresensi pribadi, menanggapi atas terbitnya buku ini merasa perlu di apresiasi. buku ini wajib dan sangat layak untuk dibaca untuk mengetahui sejarah dan latar belakang kehidupan para perempuan Indonesia di masa kolonial. Bahwa harga untuk suatu perubahan itu sangatlah mahal dengan segala macam bentuk perjuangan yang harus dilalui terlebih dahulu baik berbentuk evolusi maupun revolusi. Sehingga bagi para perempuan yang hadir di masa kini yang hidup di masa sekarang sudah sepantasnya dan wajib untuk merasa bersyukur telah dibebaskan dari pergulatan hidup yang berat sebagaimana terjadi di masa lampau, ketika perempuan masih menjadi kaum yang termarjinalkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H