Mohon tunggu...
Nisa Amelia
Nisa Amelia Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

Mahasiswa Uin syarif Hidayatullah

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Kebohongan dan Kebenaran: Mengapa Post-Truth Bukan Sesuatu yang Baru

1 Juni 2024   21:43 Diperbarui: 1 Juni 2024   22:11 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Syamsul Yakin dan Nisa Amelia (Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Mahasiswa Bimbingan Penyuluhan Islam (BPI) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.)

Post-Truth sebenarnya sudah lama ada. bukan ketika media online, termasuk media baru, media sosial, dan social network, menjadi satu. Post-truth tidak berasal dari jemari tangan, dunia digital, ruang virtual, atau apa pun yang ada di internet. Sebaliknya, itu berasal dari hati manusia sejak zaman kuno. Kebohongan berpendapat bahwa fakta sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad. Oleh karena itu, post-truth adalah perilaku lama yang dikemas kembali. Fakta-fakta berikut tentang Nabi Muhammad SAW dapat membantu kita memahami apa itu post-truth.

"Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan penipuan. Ketika itu pendusta dibenarkan sedangkan orang yang jujur malah didustakan. Pengkhianat dipercaya sedangkan orang yang amanah justru dianggap sebagai pengkhianat, kata Nabi SAW, bersumber dari Abu Hurairah. Pada saat itu Ruwaibidhah berbicara".  Ada yang bertanya, "Apa yang dimaksud Ruwaibidhah?" Nabi SAW menjawab, "Orang bodoh yang turut campur dalam urusan publik" (HR. Ibnu Majah).

Ketika pendusta dibenarkan sedangkan orang yang jujur malah didustakan, ini menunjukkan bahwa kebenaran post-truth sudah ada sejak lama. Sumber berita yang kredibel tidak lagi dapat mendorong orang. Mereka lebih cenderung percaya pada hoaks yang mempermainkan akal sehat dan emosi. Sangat jelas bahwa post-truth telah lama berkuasa atas rasionalitas. Ini pasti akan mengancam kohesivitas sosial, kemajuan, keunggulan, dan kemandirian negara jika dibiarkan.

Rasa takut akan kejujuran orang lain dan kekhawatiran akan kekalahan dalam persaingan, seperti kelemahan dalam tata-kelola kepribadian, ilmu, dan kerja keras, yang menyebabkan post-truth secara psikologis. Post-truth menceritakan tentang orang-orang yang kalah yang memaksa untuk menang, meskipun dengan menggunakan taktik, agitasi, dan kampanye hitam. Sementara orang jujur didustakan, pendusta dibenarkan. Tidak dapat disangkal bahwa post-truth telah mempengaruhi praktik politik kontemporer.

Selanjutnya, fakta bahwa pengkhianat dipercaya, sedangkan orang yang amanah dianggap pengkhianat, menunjukkan bahwa sifat dasar media sosial bukanlah anti-humanisme. Sebenarnya, sejarah menunjukkan bahwa hoaks, berita palsu, dan ujaran kebencian telah menyebar jauh sebelum berkembangnya media konvergensi.  

Dengan kata lain, ciri-ciri internet adalah humanis, demokratis, dan pluralis. Namun sayangnya, di era disrupsi, banyak orang yang diserang tanpa tahu siapa yang melakukannya. Seseorang dikhianati tanpa kenal yang mengkhianati.

Munculnya Ruwaibidhah, representasi masyarakat online yang instan, hipokrit, anti-sosial, dan bandit, memperparah keadaan ini. Ruwaibidhah adalah musuh peradaban dan bangsa-bangsa. Ruwaibidhah berada di tengah karena dia sebenarnya marginal dengan watak agresifnya. Selain itu, ia berhasil mengendalikan keadaan ekonomi dan politik dengan kemampuan retorikanya. Ruwaibidhah inilah yang sudah merubah wajah media sosial, yang seharusnya digunakan dengan cerdik.

Tidak diragukan lagi, untuk memenangi persaingan ini, kita harus berpikir progresif dan berwatak futurolog, menggunakan prinsip "tomorrow is today". Bukan sebaliknya, orang-orang romantis konvensional yang percaya bahwa "yesterday is today" Jika tidak, kita akan tergilas oleh katalis perubahan liar dalam nanosecond. Ingat bahwa kita harus melakukan pergeseran ketika flatform berubah. Kita juga perlu mereposisi dari "penumpang" era digital ke "pengendali".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun