Perkembangan asuransi syariah dipelopori oleh negara Sudan (1979). Hal ini ditandai dengan lahirnya Islamic Insurance Company. Di Indonesia, asuransi syariah telah ada sejak 1994 yang ditandai dengan berdirinya asuransi Takaful Keluarga. Meski demikian, perkembangan asuransi syariah di Indonesia terbilang lebih lambat dibandingkan dengan Malaysia yang sudah muncul pertama kali pada tahun 1985.
[caption id="attachment_341718" align="aligncenter" width="620" caption="(dok. TEMPO/Puspa Perwitasari)"]
Hingga kuartal 1 (Q1) tahun 2014, tercatat ada 48 perusahaan asuransi syariah di Indonesia, baik perusahaan asuransi syariah itu sendiri maupun cabang dari perusahaan asuransi konvensional.Setiap perusahaan asuransi syariah harus beroperasi di bawah regulasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. Tidak hanya itu, setiap perusahaan yang memasarkan produk syariah (termasuk asuransi) harus memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang direkomendasikan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
Lantas, apakah syariah itu? Masih dalam presentasinya, profesor yang juga bekerja sebagai Wakil Ketua Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia menegaskan agar masyarakat tidak tabu dengan kata "syariah" yang cenderung keislaman. Asuransi syariah tidak hanya untuk umat Islam. Sifat asuransi syariah adalah universal.
"Jangan takut mendengar kata 'syariah'. Dalam asuransi, kata 'syariah' ini menyangkut hubungan antarmanusia (muamalah). Yang perlu ditekankan adalah asuransi syariah ini tidak hanya untuk umat Islam, tapi boleh siapa saja karena sifatnya yang universal," jelas Faturrahman.
Karena konsepnya untuk antarmanusia, lanjut Faturrahman, maka sistem asuransi syariah dianggap sistem yang paling cocok karena berdasarkan sistem bagi hasil. Bahkan, sekarang banyak komunitas syariah, tapi pendirinya bukan muslim.
Prinsip-prinsip yang harus Diterapkan pada Perusahaan Asuransi Berbasis Syariah
Dalam asuransi konvesional kerap terjadi ketidakpastian (gharar), misalnya penanggung tidak bisa memastikan berapa premi yang akan diterima dari tertanggung sampai kontrak selesai (karena kontrak selesai jika tertanggung meninggal). Tidak hanya itu, penanggung juga tidak tahu kapan harus membayar klaim. Sementara dari sisi tertanggung, muncul ketidakpastian kapan mereka akan menerima pembayaran manfaat/klaim.
Nah, ketidakpastian (gharar) yang kerap ada pada asuransi konvensional tidak boleh ada didalam asuransi syariah. Semua harus jelas dan transparan.
"Dalam konsep asuransi konvensional, asuransi dianggap sebagai transaksi jual beli risiko; sedangkan dalam konsep jual beli secara syariah, kualitas, kuantitas, harga, dan waktu penyerahan atas obyek yang ditransaksikan harus pasti/jelas. Jika kedua belah pihak yang bertransaksi tidak dapat memastikan ke empat hal tersebut maka akan terjadi gharar," tutur doktor filosofi pada teori legal Islam.
Dalam praktik asuransi syariah juga tidak boleh ada riba. Dalam praktik keseharian, riba bisa diibaratkan bunga akibat utang atau pertukaran. Maysir (perjudian) juga tidak boleh ada pada asuransi syariah. Dari penjelasan Faturrahman, beberapa ahli syariah berpendapat, perusahaan asuransi konvensional mengandung unsur maysir.