Mohon tunggu...
Nisa
Nisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - universitas sebelas maret

Menulis menjadi suatu hal yang saya tekuni dalam hal menuangkan gagasan yang saya kritisi.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Social Withdrawal: Fenomena Menarik Diri di Lingkungan Sosial

9 Oktober 2024   11:03 Diperbarui: 9 Oktober 2024   11:05 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Social withdrawal, atau menarik diri dari lingkungan sosial, adalah fenomena yang semakin sering ditemui dalam kehidupan modern. Ini adalah keadaan di mana seseorang memilih untuk menghindari interaksi sosial, baik secara sementara maupun dalam jangka waktu yang lebih lama. Meskipun sebagian orang mungkin menganggap ini sebagai tanda isolasi atau kesepian, social withdrawal tidak selalu berkonotasi negatif. Bagi sebagian orang, ini adalah reaksi alamiah terhadap kelelahan sosial atau kebutuhan untuk memulihkan energi mental. Fenomena ini bisa terjadi pada siapa saja, terlepas dari usia atau latar belakang. Seseorang yang biasanya aktif bersosialisasi bisa tiba-tiba merasa lelah secara emosional dan memilih untuk mengambil jarak dari interaksi sosial. Dalam kehidupan yang serba cepat dan penuh dengan tuntutan, social withdrawal bisa menjadi cara untuk mengambil jeda dari hiruk-pikuk sosial dan menemukan kembali keseimbangan diri. Tekanan untuk selalu hadir dan terlihat aktif dalam lingkungan sosial, baik di dunia nyata maupun di media sosial, dapat memicu kelelahan mental, yang pada akhirnya membuat seseorang ingin menyendiri untuk sementara waktu.

Banyak faktor yang bisa memicu social withdrawal, misalnya social burnout. Ini terjadi ketika seseorang merasa terlalu sering terlibat dalam kegiatan sosial tanpa waktu yang cukup untuk beristirahat. Perasaan tertekan atau cemas karena harus tampil di depan banyak orang, menjaga citra di media sosial, atau memenuhi ekspektasi sosial yang tinggi juga bisa memicu kebutuhan untuk menarik diri. Bagi sebagian orang, fenomena ini muncul sebagai respons terhadap situasi yang membuat mereka merasa tidak nyaman, seperti perubahan besar dalam hidup, lingkungan baru, atau bahkan kelelahan akibat pekerjaan.

Social withdrawal sering kali salah dipahami sebagai bentuk isolasi sosial yang berbahaya. Namun, fenomena ini bisa menjadi cara yang sehat untuk mengelola kesehatan mental dan emosi, selama dilakukan dalam batas yang wajar. Menarik diri dari situasi sosial bisa memberi ruang bagi seseorang untuk merenung, memulihkan energi, dan kembali dengan kondisi mental yang lebih baik. Namun, jika withdrawal ini berlanjut dalam jangka waktu yang lama tanpa tanda-tanda pemulihan, itu bisa menjadi indikasi masalah yang lebih serius seperti depresi atau kecemasan sosial, dan mungkin memerlukan intervensi dari tenaga profesional.

Orang yang menarik diri dari lingkungan sosial mungkin tidak selalu melakukannya karena mereka merasa kesepian atau tidak bahagia. Banyak di antara mereka yang hanya ingin waktu untuk diri sendiri, untuk berpikir, merenung, atau sekadar menikmati kedamaian. Ini bisa menjadi cara bagi mereka untuk memproses berbagai perasaan yang muncul dari interaksi sosial yang padat, atau sekadar untuk mengisi ulang energi mental yang terkuras. Dalam era digital saat ini, social withdrawal juga bisa terlihat dalam bentuk pengurangan interaksi di media sosial. Seseorang mungkin memilih untuk berhenti menggunakan media sosial atau mengurangi aktivitas online mereka sebagai bentuk reaksi terhadap overload informasi dan tuntutan sosial yang datang dari platform tersebut. Di sisi lain, media sosial juga bisa menjadi tempat di mana seseorang bersembunyi dari interaksi dunia nyata, tetapi tetap merasa terhubung dengan orang lain secara pasif.

Social withdrawal tidak selalu buruk. Dalam konteks yang tepat, ini bisa menjadi mekanisme self-care yang penting, terutama bagi mereka yang cenderung mengalami kelelahan mental akibat interaksi sosial yang berlebihan. Namun, penting untuk mengenali kapan withdrawal ini mulai menjadi masalah. Jika seseorang mulai merasa sulit untuk kembali ke kehidupan sosial atau terus-menerus menghindari interaksi sosial, bisa jadi ada masalah yang lebih mendalam yang perlu ditangani.

Referensi

Rubin, K. H., & Coplan, R. J. (2004). Paying attention to and not neglecting socially withdrawn children. Journal of Applied Developmental Psychology, 25(2), 245-260.

Coplan, R. J., & Armer, M. (2007). A "Multitude" of Solitude: A Closer Look at Social Withdrawal and Nonsocial Play in Early Childhood. Child Development Perspectives, 1(1), 26-32.

    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun