Mohon tunggu...
Nirwana Fathir
Nirwana Fathir Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Dengan menulis aku bisa menciptakan duniaku sendiri

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tentang Aku dan Gunung di Malam Itu

21 Januari 2014   14:23 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:37 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tentang Aku dan Gunung di Malam itu

Hari itu, aku melihatnya seperti sebuah gunung yang menyenangkan dan indah dipandang. Yang aku rasakan saat itu hanyalah seperti yang aku lihat dan yang aku lihat ternyata tidak seperti yang aku rasakan disaat sekarang. Kenyataannya adalah, aku telah terlanjur melihat gunung yang indah itu. Waktu itu kita berada di jalur yang sama dan tujuan yang sama.  Tak ada yang berbeda dari apa yang aku lihat darinya dan apa yang dia perlihatkan padaku. Aku tahu saat itu aku benar-benar hanya melihat gunung itu sebagai sesuatu yang indah.  Aku memandangnya dari sebelah mataku.

Seperti yang dia katakan di dalam percakapan kita tengah malam itu, bahwa baginya gunung itu seperti hidup. Gunung yang kita daki adalah hidup yang kita jalani. Bersamaan dengan tiupan angin dari balik pohon pinus yang mengayungkan dahan dan ranting-rantingnya, dia terus bercerita tentang kehidupan yang layaknya mendaki gunung.

Di depan mata kita melihat lika liku jalan , bebatuan dan tanah yang terjal dan tinggi. Setapak demi setapak kita melangkah ke depan mewujudkan impian. Hujan dan keringat yang ikut membasahi tak jadi alasan tuk berhenti. Selama jalan kedepan sudah terpampang pasti dan daun-daun  hijau tertiup angin menyentuh tanah yang memberi tahu kita bahwa semua akan sampai ke tujuan jika kita berusaha.

Langkahkan kaki dan tinggallah jejak. Itu hal yang pasti jika kita berjalan. Memang benar dan aku merasa pembicaraan menjadi hangat seperti merasakan dan meneguk segelas minuman hangat di tengah dinginnya malam yang menusuk. Terlihat serasi dengan rintik hujan yang terbawa oleh angin dan selimut dalam pelukan hangat di waktu itu.

Waktu itu terasa singkat dan berjalan cepat. Buah pinus yang kering terjatuh dari pohonnya menghiasi hamparan daun-daun pinus yang gugur memenuhi tanah tempat kita berdiri disana.  Itu adalah satu-satunya yang bisa aku bawa dalam ingatan dan genggamanku. Hingga aku kembali dan aku menyadari bahwa tak seharusnya aku berada disana. Kenyataannya adalah aku berdiri disini, memandang gunung itu dari jauh, tak seperti yang ada dalam benak dan ingatanku, gunung itu ternyata adalah sesuatu yang berbeda jika kita melihatnya dari sisi lain dan dari kedua mata kita menatap.

Harapan itu seperti mimpi yang tertinggal jauh di ranting pohon pinus yang retak. Jika telah retak tak dapat utuh kembali dan akan nampak jelas setiap kita melihatnya. Dalam sebuah pesan yang aku kirimkan, aku mengatakan bahwa, bagiku dia seperti gunung yang kita bicarakan di malam itu. Hingga saat ini dia tetap seperti gunung yang telah berkabut dan aku tak dapat melihatnya lagi.

Aku kecewa dan sedih melihat gunung itu karena kabutnya sehingga tak dapat terlihat dalam mata yang jujur. Kabut menutupi semua keindahannya. Sekarang, aku telah berada di tempat yang jauh dari gunung itu dan menutup diri dalam dinding pintu yang telah aku buat untuk tak melihatnya. Tak ada celah, tak ada kunci. Hanya ada ucapan selamat tinggal untuk memaafkan diri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun