Mohon tunggu...
Nirmala Dara
Nirmala Dara Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis

Sebetulnya, ini adalah akun alternatif yang penuh kekacauan.

Selanjutnya

Tutup

Kkn

Dari Ondel-Ondel sampai Mozart Koplo

1 Juni 2024   22:02 Diperbarui: 8 Juni 2024   01:05 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebetulnya, aku bingung ini cerita lucu atau kurang lucu. Ini tentang berbagai potongan memoriku selama berada di suatu tempat yang bersarang di tengah kota. Cerita yang terjadi ketika aku menjalani Kuliah Kerja Nyata, manakala pandemi melanda.

Pandemi menghilangkan gegap gempita bagi semua. Masyarakat mendadak bertatap muka lewat berbagai media, begitu pula mahasiswa. Namun, kehidupan harus tetap berjalan. Kuliah tetap diadakan, demikian pula KKN. 

Di depan layar laptop, dadaku berdebar menantikan ke mana mahasiswi ini akan dilempar. Ya, pemilihan wilayah diundi. Begitu kubaca namaku, Jakarta Pusat. Ah ... rasa-rasanya, bukan KKN kalau bukan di kampung orang. Tapi, ternyata pandemi memaksa semua mahasiswa diam di tempat--bagi yang tak berdomisili di wilayah tugas, dilarang bergerak. Tuangkanlah ide-ide nyata yang dapat diterapkan virtual, demikian kata Pak Dosen Pengampu. 

Aku datang dari jurusan PGPAUD, Pendidikan Guru Anak Usia Dini. Kawan-kawan kelompokku dari berbagai kota. Berhubung aku warga lokal, akulah tumbal perwakilan untuk datang ke tempat bersama Pak Dosen Pengampu. Alih-alih ke sekolah usia dini pun taman kanak-kanak, KKN kali ini diarahkan ke satu instansi yang mendukung program pemerintah. RPTRA namanya--Ruang Publik Terbuka Ramah Anak. 

Asing, ya?

Sebagai anak Menteng yang kurang suka kemana-mana, kuakui RPTRA itu lingkungan yang mengejutkan. Lebih lagi titik KKN-ku yang berdomisili di Johar Baru. Satu distrik di Jakarta Pusat yang konon disemat di banyak warta karena "prestasi" tawurannya--daerah bronx, kata orang-orang. 

Aku masuk prodi ini lebih karena terjerumus. Jadi, salah besar bila kalian mengira aku suka anak-anak. Menjalani ini saja aku sudah separuh hati, apalagi kalau mendadak ada sabung nyawa di perjalanannya. Aku jadi bertanya-tanya sebenarnya aku ini calon guru PAUD atau Kera Sakti yang mencari kitab suci.

Berbekal laptop, hand sanitizer, dan masker, aku akhirnya tiba di lokasi bersama Pak Dosen Pengampu. Tentu tak terkejut melihat betapa kosong taman bermain warna-warni itu. Lalu, kami menemui beberapa pegawai yang bertugas dan berbagi informasi. 

"Kalau bukan karena pandemi, taman ramai terus, Pak," kata Bu Pengelola. "Selama semua orang masih Di Rumah Aja, kami hanya adakan kelas bermain dan calistung di hari tertentu. Semua gratis, Pak. Siapa saja boleh datang selama tidak melebihi kuota," demikian sekilas informasi yang disampaikan Bu Pengelola. 

Berdasarkan keterangannya, Pak Dosen Pengampu memutuskan aku untuk datang ke lokasi hanya pada hari yang ditentukan. Berhubung hanya aku yang bisa datang, aku pula ditunjuknya sebagai ketua kelompok. Beliau mengarahkanku untuk berdiskusi membuat program tambahan yang dapat menunjang proses belajar anak-anak di sekitar RPTRA, sekaligus dapat merangkul kawan-kawanku yang jauh agar tetap bertugas. 

Singkat cerita, dalam meeting virtual yang kami adakan, kami memutuskan untuk menambahkan agenda dalam kelas calistung; pembacaan cerita anak melalui media visual PowerPoint. Salah seorang anggota kelompok kami mengerahkan kepiawaiannya dalam seni grafis untuk membuat animasi sederhana. Tentu semua kelak kami jalankan secara virtual--hanya aku yang duduk bersama anak-anak itu. 

Meski kelas calistung berlangsung pukul sepuluh pagi, aku harus sedia di RPTRA satu jam lebih awal untuk mempersiapkan semua. Di sinilah beragam hal di Johar Baru mengejutkanku. 

Para pengelola menyediakan ruangan kosong untukku bersiap. Manakala media virtual sedang kupersiapkan, aku terkejut oleh suara rebab nyaring, lengkap dengan gendang mengiringi lagu Jali-Jali. Aku mengintip keluar, rupanya rombongan Ondel-Ondel tengah melintas. Seorang yang berjalan paling belakang menjinjing bekas kemasan sabun cuci piring, menadahkannya ke kanan-kiri jalan.

Terbersit dalam benak satu keping cerita anak tentang Ondel-Ondel gagah pada zaman Belanda. Kenapa kostum yang dulu megah itu, yang diciptakan pada masa perjuangan untuk menakut-nakuti para penjajah Belanda, kini harus berkeliling dengan busana seadanya, menadah receh dari orang-orang demi menyambung makan? Apakah baik-baik saja mewarisi seni yang begitu berjasa untuk kemerdekaan demikian caranya?  

Lalu tiba-tiba alisku berkerut. Tunggu sebentar, ini 'kan pandemi? Mengapa rombongan itu beramai-ramai menciptakan bising, berjalan rapat, tanpa masker mulut pula?

Kerasak laptop membuyarkan pikiranku. Aku mendadak lupa akan rombongan Ondel-Ondel dan segera kembali ke layar hanya untuk disambut makian rekan kelompokku, "Lo kemana, sih? Udah lewat sepuluh menit Zoom-nya nyala, lo gak ngomong apa-apa!"

***

Aku memaksakan senyum lima jari selama kegiatan berlangsung. Didampingi Pak Dosen Pengampu, aku menjadi moderator antara dirinya dengan rekan-rekan kelompokku di layar proyektor. Ini pertemuan yang kedua, dan kulihat anak-anak itu makin antusias mendengarkan. Bibir mereka mangap, mata mereka berbinar. Kadang-kadang, senyum lima jariku menjadi tulus kalau kulihat kelakuan polos bocah-bocah itu.

Melalui jendela kaca di belakang mereka, kulihat para ibu tengah menonton dari luar. Satu dari mereka tampak begitu mencolok. Kulitnya kuning langsat, rambutnya disanggul, lengkap dengan kebaya encim dan songket. Payung Betawi pula dikenakannya. Mata kami berserobok, ia tersenyum sopan dan mengangguk ke arahku. Kubalas serupa. 

Heran, zaman sekarang masih ada yang mengenakan pakaian tradisional itu? Lagi-lagi, wanita itu tak bermasker. Sungguh bebal orang-orang Johar Baru ini. Awas saja kalau sampai aku tertular Covid-19.

***

Lain hari, persis ketika baru saja kujejakkan kaki di lantai RPTRA dan sudah membuka Zoom meeting bersama rekan kelompokku, hujan deras turun. 

Alhasil, kelas calistung dibatalkan, demikian pula kegiatan kami. Pak Dosen Pengampu pun akhirnya tak datang. Tinggallah aku dengan Zoom meeting terbuka, kubiarkan kawan-kawanku berbincang, berdiskusi, bercanda, dan bergunjing tentang apa saja. Hujan deras meredam nyaris seluruh suara mereka--padahal aku sudah menggunakan earphone. 

Tidak berhenti di sana, rupanya warga distrik padat itu ada gila-gilanya juga. Seolah memang menantang gemuruh hujan, tak tanggung salah seorang penghuni di dekat RPTRA memasang pengeras suara miliknya, lantas alunan Rhoma Irama pun mengalun. Suara yang bergetar dari pengeras suara murahan itu nyaris menyamai guntur sendiri--sekeras terompet sangkakala, barangkali. Sengaja agar gendang telinga para tetangga pecah, sepertinya.

Kukira, aku akan mendengar suara merdu Bang Rhoma bernyanyi, rupa-rupanya suara sengau tak kenal nada yang mengingatkanku akan lolongan serigala berahi. 

Kacau, sungguh kacau. Aku tak kuat digempur hujan dan karaoke maut yang makin lama, makin tak jelas lagunya. Mulai dari Naruto DJ Gagak sampai Mozart dangdut koplo remix?!! Sakit. Oleh karenanya, tanpa tedeng aling-aling aku melepas earphone dan menutup laptopku kasar, tak peduli Zoom meeting masih menyala. Aku mau kabur! Tapi tak ada tempat sembunyi di permukiman sepadat ini!

***

Satu waktu, aku ketumpuan tugas di luar KKN yang mesti kukerjakan saat itu karena aku lupa! Beberapa jam lagi akan menyentuh deadline dan aku baru menyusun 50 kata. Kegiatan KKN hari ini sudah selesai, tetapi kepalaku kalang kabut memikirkan bagaimana tugas ini mesti diselesaikan.

Akhirnya, aku video call dengan teman-teman satu kelasku dan kami pun mengerjakan tugas berjamaah. Saling menutupi, saling berbagi isi, dengan catatan: diparafrasa, ya! 

Selama mengerjakan, konsentrasiku buyar karena ada gerubuk berisik di lantai dua. Bunyinya seperti entakkan kaki penuh perhitungan, dan sorak Hiyah! Hah! Huh! Seperti orang-orang yang sedang latihan bela diri. 

Aku tidak tahu kalau ada kegiatan lain setelah kelas calistung. Kalaupun orang meyusup, pasti sudah dihalau oleh Bu Pengelola. Jadi, aku tak perlu lah mengecek ke atas.

"Sori ya, kalau agak-agak berisik. Gue masih di RPTRA soalnya," kataku kepada kawanku. 

"Santai, gak kedengeran kok," ujar salah seorang dari mereka.

*** 

Hari demi hari berlalu dan kegiatan KKN kami tetap berlangsung. Anak-anak yang setia hadir dalam kegiatan kami lambat laun makin akrab denganku dan rekan-rekan kelompok. Dengan bimbingan Pak Dosen Pengampu, secara garis besar program kami berjalan baik dan tanpa kendala. Lebih dari itu, program kami menumbuhkan kecintaan anak-anak terhadap bacaan. Tentu hal ini jadi pembuka yang baik untuk mereka menguasai baca, tulis, hitung, sampai akhirnya membaca buku. 

Tak terasa kami telah berada di penghujung tenggat. Tugas rekan-rekan kelompokku telah usai, tersisa tugasku untuk merapikan laporan dan mendata nama anak-anak yang menjadi peserta kegiatan KKN kami.

Pak Dosen Pengampu berhalangan hadir ke RPTRA hari ini. Tak mengapa, toh aku tetap bisa bertukar laporan dengan Bu Pengelola RPTRA. Dikawal suara keyboard di perangkat masing-masing, kami mengobrol ringan. 

"Bu, di sini ramai banget ya. Biarpun pandemi, semua tetap asyik sama kegiatan mereka. Yang di luar, tetap keluar, meski sudah dilarang pemerintah," aku tertawa sambil berusaha membuka obrolan.

"Oh, iya ... di sini memang agak kacau, Mbak." Ia balas tertawa. "Memangnya kegiatan di luar yang Mbak lihat itu yang mana?"

"Iya, kayak rombongan Ondel-Ondel keliling yang beberapa waktu lalu berisik itu," kataku. "Mana gak pakai masker lagi. Berani amat."

Bu Pengelola tampak menahan senyumnya sambil fokus ke layar komputernya. 

"Terus, ada juga ibu-ibu yang waktu itu datang ke sini, gak pakai masker juga. Dandanannya aneh, lagi."

Bu Pengelola mulai tak fokus dengan komputernya, alisnya berkerut mendengar ocehanku.

"Pakai encim dan payung Betawi jadul, gitu. Kontras banget sama ibu-ibu lainnya."

Kali ini Bu Pengelola melirikku. 

"Lalu juga di lain hari, selepas kegiatan. Sebelum pulang, saya denger ada entak-entak dan suara ramai anak-anak seperti sedang latihan silat di lantai dua. Padahal semua anak kelas calistung udah pada pulang." Aku geleng-geleng kepala. "Tadinya saya mau naik, tapi ... ah, kayaknya itu kewenangannya Bu Pengelola." 

Bu Pengelola berhenti mengetik dan menoleh ke arahku. 

"Belum lagi yang suka karaoke siang bolong ya, Bu," sambungku lagi. "Waktu hujan itu aduh ampun. Saya kayaknya enggak tahan kalau jadi Bu Pengelola harus dengar yang kayak begitu hampir tiap hari." Aku tertawa. "Hebat banget, Ibu."

Bu Pengelola membalas ceritaku dengan tawa yang resah. Ia tertawa, menatapku, tapi alisnya berkerut. Reaksinya membuatku turut berhenti mengetik. Aku ikut menghadap ke arahnya, sepertinya ia hendak bicara. 

"Iya, kalau karaoke itu memang benar, dan luar biasa bisingnya," tanggap Bu Pengelola. "Tapi ... rombongan Ondel-Ondel di jalan raya, itu kapan Mbak lihatnya?" 

Aku menggaruk dagu. "Mm, sudah lama sih bu, awal-awal saya kemari."

"Soalnya, selama pandemi dan selama saya kerja menemani Mbak di sini, saya enggak dengar dan enggak lihat mereka." 

Senyumku pudar. Kini giliran aku yang diam. 

"Memang kalau enggak sedang pandemi, setiap sore ada itu, Mbak. Tapi ... selama pandemi ini sudah enggak ada."

Aku masih diam. Maksudnya gimana, sih? Orang berisik banget begitu, gumamku dalam hati.

"Tapi memang saya sering denger juga sih, Mbak. Orang-orang di sini suka dengar suara rebab sama ramai-ramai kayak Ondel-Ondel sedang mengamen, begitu. Tapi kalau nanya tetangga, mereka enggak dengar, dan enggak lihat juga."

Aku benar-benar diam kali ini.

"Terus ... buat sosok encim itu, waduh, maaf ya, Mbak. Bukannya saya nakut-nakutin. Tapi dia memang penghuni sini sebelum RPTRA dibangun. Dia suka muncul kalau ada orang-orang baru. Istilahnya, ngenalin diri kali ya, Mbak." Bu Pengelola tertawa pelan. 

Sedangkan aku berkeringat. 

"Nah, kalau buat berisik-berisik silat di lantai dua. Itu kejadiannya belum lama, saya juga mengalami. Memang dulu suka ada latihan pencak silat wilayah yang menggunakan fasilitas RPTRA untuk persiapan lomba. Tapi kira-kira enam bulan terakhir ini--sebelum pandemi--satuan pencak silat itu kecelakaan dalam perjalanan menuju perlombaan. Anggota dan pelatihnya meninggal semua." Bu Pengelola menghela napas. "Sedih, sebetulnya. Mungkin arwah mereka masih penasaran kali ya, Mbak. Jadi, seolah-olah terus-terusan berlatih biar kesampaian ikut lomba."

Aku merinding. Ludah kuteguk, mata berkedip-kedip. Bu Pengelola bercanda, kah? Jadi ... semua yang kulihat dan kudengar ... hanya tersisa DJ remix gila dan Mozart koplo yang nyata? 

Detik itu pula aku mengangguk-angguk dan berhenti bercerita.

Keesokan harinya, aku demam. Orang tuaku pun bingung kenapa aku tiba-tiba demam. Padahal, itu hari terakhir, dan seharusnya aku beserta Pak Dosen Pengampu berpamitan kepada pihak RPTRA. Tanpa dinyana, takdir berkata lain. 

Penyusunan laporan belum sepenuhnya rampung, tetapi Pak Dosen Pengampu melimpahkan sisa tugasku kepada rekan lain dalam kelompok. 

Kata ibuku, ketika demamku sedang jadi-jadinya, ia melihat berita bahwa baru saja siang bolong terjadi tawuran antarkampung di wilayah Johar Baru. 

"Nak, Nak. Untung kamu enggak ke sana hari ini," katanya sambil menyuguhkanku obat.

Kata orang, demam tiba-tiba sehabis melihat sesuatu bersebab karena sosok itu menempeli kita selepas kita pergi dari tempat tersebut. Ah, tapi aku tak mau tahu, toh, ada bagusnya juga aku demam hari itu. Lagi pula, keesokan harinya aku sudah sembuh sebagaimana sediakala. 

Aku curiga, sepertinya aku demam lebih karena syok ketimbang takhayul ketempelan. 

***  

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kkn Selengkapnya
Lihat Kkn Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun