Mohon tunggu...
Nirmala Ayu Diana
Nirmala Ayu Diana Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa Ilmu Komunikasi Telkom University

Ribuan mil perjalanan dimulai dari satu langkah pertama.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Jenderal "Gila" yang Cinta Damai

21 November 2021   15:08 Diperbarui: 21 November 2021   15:28 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kehidupan yang monoton? Zona aman? Istilah-istilah tersebut tidak pernah ada di dalam kamusnya. Meskipun kebanyakan orang tidak masalah apabila harus menjalani kehidupan yang biasa-biasa saja, asal kebutuhan sehari-hari mereka terpenuhi. 

Namun, hal tersebut tidak berlaku bagi Gatot Subroto. Laki-laki kelahiran tahun 1907 yang mendapat julukan Jenderal 'Gila' dari Banyumas itu, lebih memilih kehidupan yang banyak mengalami tantangan. Aman dirasa kurang nikmat. 

Sebab, kepuasan sejati dapat diperoleh tatkala seseorang mampu menyelesaikan masalah, hambatan atau kesulitan. Prinsip hidup yang dijalaninya tersebut menjadi cikal bakal beliau memasuki pendidikan militer. Meninggalkan pekerjaan sebagai pegawai yang dirasa kurang cocok dengan pembawaannya tanpa menyisakan sedikit pun rasa penyesalan. 

Sebab, keputusan yang diambilnya saat itu, merupakan salah satu puncak pencapaian yang membuat namanya melegenda di semua ibu kota provinsi di Indonesia dan menjadikan kisah heroik tentangnya terus dikumandangkan hingga generasi selanjutnya.

***

Mari kita menelisik ke masa lampau, berpuluh-puluh tahun yang lalu ketika Gatot Subroto masih duduk di bangku sekolah dasar. Salah seorang anak manusia yang dilahirkan di Kota Banyumas, kota dengan dialek bahasa Jawa yang dijuluki "bahasa ngapak" karena memiliki ciri khas tersendiri dalam pelafalan bunyi /k/ yang dibaca penuh pada akhir kata.

Hujan yang mengguyur kota Banyumas pagi itu membuat udara dingin terasa menusuk tulang. Orang-orang ramai menepi ke pinggir jalan, takut apabila air hujan membasahi pakaian mereka. 

Di tengah kondisi yang seperti saat ini, mereka harus menjaga tubuh agar tetap fit demi mencari sesuap nasi. Secangkir teh hangat dan lagu mellow yang diputar di radio dirasa cocok untuk menemani hari yang dingin tersebut. 

Namun, fakta yang mengatakan bahwa cuaca bisa mempengaruhi suasana hati tampaknya tidak berlaku bagi dua orang yang tengah berseteru di dalam kelas. Membuat suasana yang semula terasa dingin menjadi memanas seketika. Siapa yang bertanggung jawab atas hal ini?

Di sisi sebelah kanan, berdiri seorang anak laki-laki dengan sikap berani yang sudah diperlihatkan sejak masa kecil, Gatot Subroto namanya. Dadanya kembang kempis dengan tangan terkepal erat, menandakan bahwa Gatot tengah menahan emosi yang sudah meluap-luap sedari tadi. 

Anak sulung dari Sayid Yudoyuwono tersebut memang dikenal cukup emosional di kalangan teman-temannya, tetapi tidak pernah sekalipun kemarahannya muncul tanpa ada alasan yang jelas.

Kegaduhan yang sedang terjadi saat ini cukup membuat seisi kelas gempar. Pasalnya, baru kali ini seorang anak Indonesia berani melawan seorang anak Belanda hingga menimbulkan luka pada sudut bibir orang kulit putih tersebut. Untungnya, murid yang lain sigap memanggil guru, sehingga pertengkaran bisa segera dilerai.

"Bisakah kalian jelaskan apa yang sedang terjadi?" tanya sang Guru dalam bahasa Belanda, sembari menjauhkan kedua anak tersebut.

"Gatot yang mulai duluan, Bu!" seru salah seorang murid sambil menunjuk Gatot.

Kemudian guru tersebut menatap Gatot dengan mata memicing curiga. "Apa yang dikatakan itu benar?"

Gatot bergeming sejenak tanpa melepaskan pandangan dari anak residen Belanda di hadapannya. "Sekalipun kukatakan itu salah, kau tidak akan memihak padaku. Aku hanya tidak bisa duduk dan berdiam diri saja saat tanah airku dilecehkan seenaknya."

Suasana kelas semakin tidak kondusif tatkala mendengar ucapan itu keluar dari mulut Gatot. Timbulah pro dan kontra sehingga terjadi perdebatan di kalangan para murid Europeesche Lagere School (ELS). Sang guru memijat pelipisnya, dihelanya napas dalam-dalam lalu diembuskan perlahan. Miris mengingat gaji seorang guru tidak begitu besar, tetapi ia masih harus mengurusi masalah seperti ini.

Setelah dirasa pertikaian tersebut tidak kunjung menemui titik tengah, ditatapnya kedua murid yang sedang berselisih paham itu. "Gatot, tolong sampaikan kepada orang tuamu untuk menemui ibu besok di sekolah."

Setelah melalui perbincangan yang cukup mendalam dengan kedua orang tua dari masing-masing murid, akhirnya sekolah memutuskan untuk mengeluarkan Gatot. Memang terdengar tidak adil, tetapi baik Gatot maupun kedua orang tuanya tidak mampu melakukan apa-apa selain menerima hasil keputusan tersebut. Sangat disayangkan, sebab untuk memasuki sekolah itu, ia mesti bersusah-payah dengan meminta bantuan Bupati Banyumas.

Ternyata tidak sampai di situ saja, Gatot juga tidak diizinkan untuk memasuki sekolah pemerintah. Namun, untunglah salah seorang anggota keluarganya yang mengajar di Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Cilacap, bersedia memberikan bantuan kepadanya.

Sejak saat itu, Gatot pindah dari Banyumas ke Cilacap. Meskipun pendidikan formal yang ditempuh Gatot hanya sampai HIS saja, tetapi ia berhasil diterima kerja sebagai pegawai. Namun, pilihannya menjadi pegawai ternyata tidak mampu memuaskan jiwanya. 

Alhasil, ia memutuskan untuk keluar dari pekerjaan tersebut, lalu mengambil kesempatan yang diadakan oleh Pemerintah Hindia Belanda bagi anak-anak Indonesia berijazah sekolah rendah untuk memasuki pendidikan militer.

***

Beberapa tahun kemudian saat pangkat kolonel melekat padanya, Gatot terlibat pertempuran melawan Belanda di Ambarawa, Jawa Tengah. Serentetan tembakan dan ledakan terdengar dari segala penjuru. Kala itu, langit seolah-olah sedang menghujani mereka dengan peluru. Suasana semakin tak terkendali dengan aura membunuh yang begitu kental.

Dua kali suara tembakan terdengar nyaring. Pihak lawan seperti sedang berusaha untuk menciutkan nyali para prajurit, sekaligus memberikan peringatan agar mereka tidak melancarkan serangan balasan dan memilih untuk menyerah kepada Belanda. Jika para prajurit tersebut masih tetap ingin hidup dan tidak mati mengenaskan dengan berlumuran darah.

Mereka yang berada di bawah komando Gatot itu, saat ini tengah bersembunyi di balik markas sambil merundingkan strategi perang yang akan digunakan. Para prajurit tidak sedikit pun merasa gentar apalagi takut oleh gertakan-gertakan yang diberikan Belanda. Sebab, bagi mereka NKRI adalah harga mati. Meskipun nyawa menjadi taruhannya, mereka akan terus berjuang mengusir penjajah dari Ibu Pertiwi hingga titik darah penghabisan.

Gatot memerintahkan salah seorang anak buahnya yang berpangkat Mayor untuk menemuinya, Soeharto namanya.

"Hei, Monyet. Mari ke puncak ke sini!" teriak Gatot.

Sudah tidak heran lagi bahwa Gatot yang berpangkat Kolonel memang gemar memanggil anak buah dengan kalimat sesukanya. Termasuk panggilan 'monyet' yang sering ia lontarkan jika keadaan hatinya sedang senang. Kalimat legendaris yang akan selalu diingat oleh seluruh anak buahnya sampai kapan pun.

Saat presiden kedua RI tersebut sudah berada di hadapannya, Gatot berkata, "Saya perintahkan kamu untuk menjaga puncak bukit tersebut pada malam hari. Tempatnya strategis sehingga bisa berakibat buruk jika jatuh ke tangan Belanda. Kita harus selangkah lebih awal dari para penjajah."

Setelah memberikan perintah, Gatot menyerahkan sepenuhnya keamanan di atas bukit kepada Soeharto. Ia percaya bahwa Soeharto dapat diandalkan karena keahliannya dalam mencium siasat musuh. Sehingga tanpa pikir panjang, Gatot menitipkan tanggung jawab kepada salah satu anak buah kepercayaannya tersebut.

Duar! Duar! Duar!

Saat malam tiba, terdengar suara tembakan disertai ledakan yang beruntun. Gatot kaget bukan main tatkala ia mendapati bukit yang dijaga oleh Soeharto dibombardir secara bertubi-tubi oleh Belanda. Suara ledakannya sangat membahana, membuat Gator gemetar membayangkan Soeharto dan anak buahnya yang tewas dalam serangan tersebut.

Segera setelah serangan berhenti, Gatot bersama anak buahnya yang lain langsung menuju bukit tempat Soeharto serta pasukannya berada.

"Cari setiap jenazah dari pasukan kita!" titah Gatot. "Laporkan jika ada prajurit yang berhasil selamat dan periksa juga keadaan di sekitar apakah akan terjadi serangan secara beruntun lagi atau tidak!"

Gatot menangis membayangkan jenazah Soeharto ada di antara para korban.

Setibanya di puncak bukit, Gatot dibuat terkejut untuk kedua kalinya. Pasalnya, tidak ada satu pun mayat dari anak buahnya yang berserakan. Ia lebih terkejut lagi melihat Soeharto dan pasukannya berjalan tanpa terluka sedikit pun dari sisi lain bukit tersebut.

Setelah melihat Soeharto keluar dari persembunyian dengan selamat, Gatot langsung memeluk salah satu anak buah kesayangannya itu. Ia merasa terharu sembari berkata, "Kamu masih hidup."

Kejadian mengharukan tersebut hanya berlangsung selama beberapa detik. Setelah melepaskan pelukannya, ekspresi wajah Gatot tampak menyiratkan kebingungan. Seakan-akan ia ingin segera mencerca Soeharto dengan berbagai macam pertanyaan. Namun, hanya satu pertanyaan yang mampu keluar dari mulutnya. "Bagaimana kamu bisa selamat dari serangan tanpa terluka sedikit pun?"

"Menjelang malam setelah mendapat perintah, saya berpikir bahwa bukit tersebut pasti akan mendapat serangan dari Belanda mengingat posisinya yang sangat strategis," jawab Soeharto. "Sehingga bertahan di bukit itu hanya akan membahayakan nyawa saya beserta seluruh pasukan. Lalu saya memutuskan untuk mengajak mereka bersembunyi di sisi lain bukit, Pak."

Jawaban yang diberikan oleh Soeharto atas pertanyaan yang diajukannya membuat Gatot gembira bukan kepalang. Ia pura-pura marah padahal hatinya bergejolak senang.

"Hei, Monyet! Berarti kau melawan perintah. Saya perintahkan kamu tetap di sini, tapi ternyata kau tinggalkan," ucap Gatot.

Gatot bersyukur mengetahui bahwa Soeharto dan seluruh pasukannya selamat, meski ia marah karena perintahnya diabaikan. Setelah itu, pertempuran melawan Belanda di Ambarawa pun kembali berlangsung. Gatot tidak sabar mengejutkan para pasukan Belanda dengan serangan balik yang tidak diduga-duga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun