Mohon tunggu...
Nirkuning
Nirkuning Mohon Tunggu... Dosen - Sabbe Satta Bhavantu Sukhi Tatta

Terima kasih sudah berkunjung. Akun lama, lupa password :') https://www.kompasiana.com/nirkuning

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perkumpulan Sejuta Enam di Lubuklinggau: Ruang Katarsis atau Eskapis?

29 November 2023   00:25 Diperbarui: 29 November 2023   00:35 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ini menjadi alasan bahwa secara naluriah, manusia terutama perempuan di Dusun Lembak, Rawas dan sekitarnya, menggagas medium alternatif untuk meredakan gejala kejemuan.

Awalnya, dengan cara pandang anak muda yang gandrung dalam budaya urban-populer, belakangan ini justru joget "enjoy" banyak menginspirasi anak muda Bengkulu (karena secara geografis letak antara Bengkulu dan Sumatera Selatan bersebelahan wilayah) untuk mulai memperkenalkan istilahnya di dalam acara gigs khas anak muda.

Sama seperti itu, saya beri contoh, pada penghujung tahun 2018, media sosial berhasil melambungkan kembali lagu-lagu populer di tahun 1990-an, mulai dari anak muda Jakarta Selatan yang memiliki cara sendiri untuk bernegosiasi dengan kegelisahan melalui tembang lawas Reza Artamevia.

Atau di Jawa, dengan paparan beragam budaya populer, The God of Broken Heart, Didi Kempot tampil kembali dengan membawakan tembang-tembang lawas bernada-nada minor dan penuh dengan kenangan melankoli.

Kedua kategori ini tak lantas dapat dimaknai sebagai kerumunan anak muda tanpa agenda. Senyatanya, media sosial seperti instagram terus mengabarkan beragam anak muda yang memiliki goyangan paling santai, paling koplo dan paling enjoy, sehingga mendobrak dinding stereotipe bahwa lagu-lagu lawas mengandung spirit old fashioned.

Kehadiran beragam jenis musik dan kerumunan, justru menyuguhkan banyak alternatif bagi anak muda untuk mengekspresikan diri, baik secara online maupun offline. Bahkan mereka tidak lagi sungkan mengasosiasikan diri sebagai kolektif Sobat Ambyar, dengan deskripsi merayakan melankoli secara kolektif, suatu gagasan untuk saling menguatkan diri di tengah arus deras perubahan yang semakin cepat.

Maka, dari contoh di atas, kupikir, inilah penanda bahwa pelabelan negatif terhadap sesuatu yang belum dikenali, dapat ditengahi dengan adanya proses perjumpaan dan sikap mengudar prasangka.

Kerumunan "Sejuta Enam" mungkin saja berbeda dengan kelompok moshing anak muda yang secara teknis membentuk lingkaran besar dan saling berjabat tangan, sebagai simbol kolektivitas dan semangat saling jaga.

Di kerumunan "Sejuta Enam" dengan joget yang dikenal dengan joget "enjoy", mereka bersuka cita memeriahkan pesta yang diselenggarakan tuan rumah, membawa bekal makanan sendiri, melakukan pertemuan arisan, berkumpul ketika ada yang berduka, bahkan mereka tidak segan menggunakan medium "sawer-menyawer" yang dikumpulkan untuk menyumbang sejumlah dana bagi tuan rumah.

Menariknya, kerumunan ini datang tanpa diundang, terkhusus bagi masyarakat di dusun (sebutan untuk mereka yang tinggal di desa pedalaman) justru ini menjadi suatu tanda kehormatan bagi tuan rumah untuk meramaikan acara oleh orang-orang yang bukan saudara dekat, tetapi datang dari daerah yang jauh, untuk sekadar bertegur sapa dan saling berkenalan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun