Berbicara soal kerumunan alternatif, saya teringat dengan kerumunan "Sejuta Enam" yang ada di Sumatera bagian Selatan. Sejuta Enam, dengan penamaannya unik, merupakan suatu kumpulan perempuan, mulai dari usia muda hingga usia tua. Semua yang bergabung, merias diri dengan penampilan terbaik. Kadang ada yang membawa anaknya, sehingga ada proses berkenalan antar-anak.
Kerumunan "Sejuta Enam" sangat mendengungkan prinsip egaliter (sama rata-sama rasa). Tidak ada ketua yang ditunjuk khusus untuk "melegalkan" kelompok ini, seperti suatu perkumpulan yang diakui. Mereka hanya terikat sebagai kerumunan bersenang-senang yang saling cair (unfixed), tidak memiliki banyak peraturan kecuali tuturan moral yang telah diyakini bersama seperti nilai baik dan buruk, tidak melakukan kekerasan, tidak bertindak tak senonoh atau hal-hal yang mengganggu ketertiban di ruang publik
Semua aturan dijalankan tanpa ada kesepakatan resmi. Semua orang boleh keluar dan masuk sesuai dengan kepentingan personal untuk sekedar melepas kepenatan hidup. Â Sayangnya, banyak pihak, khususnya pandangan laki-laki (male gaze) yang menafsirkan kerumunan ini sebagai "ruang negatif" yakni memicu tindakan penyimpangan terutama perempuan, yang berpotensi menggoda laki-laki yang sudah memiliki istri.
Kadang hal ini dilegitimasi dengan adanya istilah yang telah lama berkembang yakni "Serikat Kanji Tue" (orang-orang tua yang kegenitan). Terkadang stereotipe ini juga muncul dari sesama perempuan, yang berupaya melabeli perempuan yang mengikuti kerumunan ini sebagai "perempuan yang tidak benar".
Namun nyatanya, asumsi ini dibantah secara keras oleh juru bicara "Sejuta Enam" yang memiliki pemaknaan sendiri terhadap kelompoknya, mengenai siapa yang bergabung dan bagaimana rekam jejak kerumunan ini yang tidak pernah merusuh.
Secara geografis, akses pemukiman antardusun ditempuh dengan jarak yang agak jauh. Sehingga dengan adanya "Sejuta Enam", mampu berimplikasi terhadap relasi sosiologis antarperempuan. Mereka dapat saling bertanya, menjenguk, berjumpa secara langsung. Masyarakat dusun memang tidak terlalu gandrung dengan teknologi mutakhir, tetapi mereka memiliki kekuatan perjumpaan yang sudah jarang ditemui pada masyarakat urban.
Keberlangsungan kerumunan ini hingga saat ini, tentu sangat beralasan. Pertama, karena keterbatasan hiburan bagi perempuan yang hidup di wilayah pinggiran ataupun di dusun.Â
Aktivitas yang dilakukan oleh perempuan terbatas pada aktivitas di ranah domestik, seperti mengurusi pelbagai pekerjaan dalam rumah tangga dan berkutat di sekitar aktivitas berladang dan berdagang di pasar. Proses kejemuan dalam beraktivitas ini, lantas tidak sebanding dengan alternatif hiburan yang bagi perempuan.
Kedua, kegiatan menonton televisi merupakan tayangan yang rutin dan membosankan, sementara untuk mengunjungi tetangga bukan sebuah solusi, mengingat mereka sudah saling rutin bertemu baik di lingkungan rumah, di ladang, ataupun di pasar. Tetangga mereka adalah pemandangan sehari-hari yang rutin dilihat.
Ketiga, adanya pandangan bahwa perempuan yang sudah berumah tangga dianjurkan mengikuti kelompok pengajian, dirasa kurang relevan, meskipun ini sangat dibutuhkan untuk menambah wawasan dan kebutuhan spiritual.
Keempat, secara sosial melemahnya komunitas dan interrelasi yang berkaitan dengan hiburan rakyat yang sudah sangat melemah. Di luar kegiatan tahunan yang bersifat perayaan besar, tidak ada aktivitas hiburan harian yang dapat disaksikan masyarakat.