Mohon tunggu...
Retno Wahyuningtyas
Retno Wahyuningtyas Mohon Tunggu... Human Resources - Phenomenologist

Sedang melakoni hidup di Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Apa Jadinya Bila "Polisi Cepek" di Persimpangan Jalan Yogyakarta Mogok Kerja?

27 Juni 2019   13:04 Diperbarui: 27 Juni 2019   13:23 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Selama dua tahun ini, saya melakoni hidup dan menimba ilmu di Yogyakarta. Pengalaman yang didapatkan tidak hanya sekedar pengalaman literal dari kampus. Tetapi juga pengalaman hidup keseharian khususnya di daerah saya berdomisili, Jalan Gambir, area Deresan. Sebagai wilayah "padat" yang berada di antara dua kampus ternama di Indonesia yakni UNY dan UGM. Jalan Karang Malang hingga Jalan Gambir (yang juga menjadi jalan protokol untuk mencapai jalan Ring Road Utara) menjadi jalan alternatif yang selalu ramai dua puluh empat jam.

Hal ini juga diprakarsai oleh kendaraan yang malas melintasi jalan Kaliurang (yang saat ini sedang dalam proyek pembangunan jalan yang akan berlangsung hingga setahun ke depan). Dapat dipastikan, muatan jalan semakin terbatas sementara volume kendaraan semakin meningkat. Hal ini menyebabkan kemacetan panjang, dari pelbagai sisi ruas jalan, kemacetan yang berlangsung selama seharian.

Sejak saya datang pertama kali di Yogyakarta, satu hal yang saya tandai adalah banyakanya jumlah "Polisi Cepek" atawa Pak Ogah (dalam Bahasa Belanda dikenal dengan voorijder/ Polisi Pembuka Jalan). Selaras dengan pengertian tersebut, Polisi Cepek berperan sentral untuk membantu ketertiban lalu lintas di jalanan. Mereka bertugas dengan sangat epic dan heroik, sesekali dilempari uang seadanya oleh kendaraan motor maupun mobil yang lamat-lamat mengambil posisi diantara "tubrukan" kendaraan yang macet.

Yogyakarta yang diidamkan semua orang, berdampak pada meningkatnya populasi pengunjung dan perantau yang otomatis menggunakan kendaraan. Maka yang terjadi sehari-hari adalah Yogyakarta saat ini semakin padat, macet, dan kata beberapa orang teman yang asli Yogya mendefinisikan pengendara dalam karakter yang menyebalkan karena tidak sabaran, gaduh membunyikan klakson, dan semakin banal memposisikan kendaraan sehingga mengambil hak pejalan kaki.

Misalnya saja, di bundaran 500 meter dari kost saya, yang notabene menjadi salah satu titik kemacetan di sekitar Jalan Agro, Jalan Karang Malang, Jalan Flamboyan, Jalan Gor Klebengan, dan Jalan Gambir. Menariknya setiap hari akan ada bapak-bapak yang bertugas secara shift dengan membawa bekal priwitan atawa peluit, rompi berwarna terang, semacam tongkat berlampu, botol minum, dan sepeda yang ia kenakan.

Mereka betah bekerja dari pagi hingga malam hari, kadang sesekali Polisi "sungguhan" yang bertugas di Polsek Karang Malang, ikut mendampingi "Polisi Cepek" yang sangat piawai dalam mengatur kendaraan. Bagi saya pribadi, justru ada interaksi yang lebih komunikatif antara "Polisi Cepek" dengan pengendara. Misalnya ada yang mengucapkan semangat, melemparkan uang, ada yang memberikan makanan/minuman, ada yang mengajak ngobrol di sela-sela waktu istirahat, dan penampakan humanis lain-lainnya dimana tidak ada sekat ataupun perasaan "takut" ketika ditata ataupun diatur untuk tujuan ketertiban bersama.

Hal ini sangat kontras bila yang mengatur jalanan adalah polisi, di mana semua orang menjadi tertib karena merasa kaku dan takut, boro-boro untuk menyapa, bahkan ditatap oleh polisi saja sudah merasa ngeri bila sewaktu-waktu malah berujung pada pengecekan surat kendaraan atau malah ditilang. Memang cenderung tertib, tapi minim interaksi. Bila dengan "Polisi Cepek" justru karakter pengendara lebih luwes dan kelihatan aslinya.

Saking sabarnya, "Polisi Cepek" tidak jarang mengomel seadanya kepada pengendara yang ngeyel, atau bila bertemu dengan bapak "Polisi Cepek" yang tegas, ia tidak sungkan untuk menyetop kendaraan dengan cara akrobat tegas di tengah jalan. Berbeda dengan kelompok "ibu-ibu yang menyalakan lampu sein kanan tapi belok ke kiri" umumnya mereka akan lebih banyak dipahami dengan Cinta kasih, jarang diomelin atawa dibiarkan saja  

Suatu hari, saya pernah mengamati, tiga hari bapak-bapak "Polisi Cepek" tidak "ngantor" di jalanan. Yang terjadi adalah para pengendara melakukan baku klakson. Sungguh merupakan polusi suara sekaligus menggambarkan karakter penumpang yang tidak mau saling mengalah, bila sudah begitu, tugas sebagai pengatur kendaraan akan dibantu secara sukarela oleh driver ojek online maupun mahasiswa relawan. Itupun hanya terbatas dilakukan tidak sampai dua jam. Setelah itu, kondisi jalanan kembali semrawut dan macet. Weladalah!

Pada waktu yang lainnya, saya pernah menyapa Mas-Mas "Polisi Cepek" di daerah Gejayan. Saya dan teman mengucapkan terima kasih, seraya berujar "Mas-nya baik banget, senyumnya manis, dan mirip Kunto Aji. Semangat ya". Pernyataan ini bukan mengarah pada catcalling terhadap lawan jenis, tetapi merupakan tanda ucapan terima kasih kepada mereka yang mendedikasikan diri untuk menguraikan permasalahan sosial, yakni kemacetan yang bisa memicu kerentanan dan konflik antra pengguna kendaraan di jalanan Yogyakarta. Si Mas kemudian membalas sapaan kami dengan senyum dan berterima kasih. Semoga mereka berlimpah semangat, kesehatan, dan keberkatan sehingga tetap dapat terus bekerja. Salam!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun