Mohon tunggu...
Retno Wahyuningtyas
Retno Wahyuningtyas Mohon Tunggu... Human Resources - Phenomenologist

Sedang melakoni hidup di Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Imaji Tertinggal Si Mbah Mengenai Kampung Halaman

24 Juni 2019   15:12 Diperbarui: 24 Juni 2019   15:31 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai keluarga yang berlatarbelakang etnis Jawa (Kediri, Gresik, dan sekitarnya), pada tahun 1970-an mengikuti program transmigrasi ke Sumatera Selatan tepatnya di daerah Lubuklinggau. Berbeda dengan yang lain, Si Mbah Lanang dan Si Mbah Tino melakukan migrasi secara personal di luar program yang ditawarkan pemerintah. Sehingga mereka lebih tegas menyebut dirinya sebagai "perantau". 

Berdasar pada ceritera si Mbah, kala itu, Lubuklinggau merupakan wilayah alas yang belum banyak dibuka oleh penduduk setempat. Kebutuhan atas air, tanah, dan pohon masih sangat berlimpah. Oleh sebab itu keluarga kecil si Mbah memanfaatkan kemampuan membuat batu bata untuk membuat pabrik batu bata dan tehel (keramik lawas bercorak acak, dekoratif, dan berwarna; terbuat dari batu apik yang didapatkan dari sekitar wilayah Jambi). 

Bahkan, si Mbah juga mengeksplor diri sebagai pedagang kelapa, tukang kayu, hingga berjualan panganan di sekitar Terminal lama Pasar Atas (yang menjadi sentra moda akomodasi angkutan antar kota; yang bergabung dengan ruko-ruko pasar tradisional, lokasinya tetap sama yakni tidak jauh dari Stasiun Kereta Api Lubuklinggau).  

Pada saat berceritera, si Mbah mengungkapkan bahwa mereka sempat berada dalam masa jaya-nya; yakni ketika penduduk lokal tidak banyak mengekplorasi sumber daya dan minim keahlian, maka ini menjadi peluang bagi kelompok pendatang untuk berinovasi dan menyalurkan kemampuan yang mereka dapatkan di Jawa. Dalam konteks teritori Jawa yang telah padat, si Mbah bercerita bahwa tempat tinggalnya telah banyak berubah menjadi pabrik dan riuh dengan gegap pembangunan. Hal ini kemudian menggerus sawah, sungai, dan aktivitas yang awalnya dilakukan secara manual dengan tangan, berganti dengan pekerjaan "kantoran".

Mbah juga bercerita bahwa ada perasaan minder tatkala pekerjaan kantoran menjadi tren pekerjaan masyarakat desa. Ini disebabkan karena faktor finansial yang menyebabkan si mbah tidak dapat meneruskan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Sementara, syarat kerja adalah ijazah. Untuk dapat menggugurkan syarat administrasi, hal ini tidak mampu dipenuhi. 

Dengan lokasinya yang strategis sebagai poros jalan lintas sumatera, lalu secara perlahan Lubuklinggau semakin berkembang khususnya dalam sektor perdagangan dan proses pembangunan. Ketika berada di Lubuklinggau, menurut si Mbah tidak ada perbedaan yang khas justeru gairahnya seperti tercapai sebab tidak ada perasaan khawatir atas sumber daya alam. Secara demografis, penduduk yang tinggal masih dalam jumlah terbatas. Secara sosiologis, hubungan para pendatang dengan masyarakat setempat (mayoritas masyarakat dusun Linggau ataupun beretnis Lembak/ migrasi turunan dari Bengkulu) tergolong saling menguatkan. Kohesi sosial diwujudkan dengan bersama-sama membangun daerah tanpa saling mengungguli. 

Ibu saya dalam proses mengingat masa kecilnya seringkali membuat permisalan mengenai harga tanah di beberapa tempat di Lubuklinggau yang sangat terkesan tidak berharga dengan alasan mitos, ceritera kriminal, dan kisah klenik. Hal ini ikut mendorong mbah menabung tanah/ lahan yang akan digunakan untuk ke tujuh orang anaknya. Hal ini juga dilakukan dengan perhitungan Jawa bahwa ia berharap generasi selanjutnya tidak mengalami kesusahan atau melakukan migrasi ke tempat yang baru. 

Sekitar tahun 2004, Mbah Lanang saya meninggal dan dimakamkan di Lubuklinggau. Dalam wasiatnya ia berpesan tidak ingin jauh dari anak cucu dan generasi seterusnya; pandangan yang lebur tentang kampung halaman si Mbah Lanang telah bergeser pada teritori yang ia tempati sekaligus "rumah" yang ia perjuangkan bersama anak-anaknya yakni di Lubuklinggau. 

Berbeda dengan si Mbah Lanang, si Mbah Tino (Mbah Perempuan yang Alhamdulillah saat ini masih dikaruniakan kesehatan) memiliki pandangan yang "kabur" mengenai kampung halaman. Dalam batinnya, ia memimpikan untuk pulang kembali ke daerah Gresik (tanah kelahirannya) sehingga dapat berkumpul (imaji sosiologis) dengan suasana persis seperti yang ia alami ketika ia masih kecil dan remaja bersama saudranya. 

Namun dalam mudik singkat Mbah Tino pada suatu waktu menunjukkan bahwa ia tidak lagi merasakan "perasaan nyaman maupun aman" terkait pengalaman sosiologis seperti yang ia imajikan dan persepsikan. Menurutnya, tanah kelahirannya semakin hilang berganti dengan pabrik-pabrik yang ikut mengeringkan kali maupun sungai yang menjadi tempat favoritnya. Ketika mengunjungi saudara dan kemenakannya, ia bercerita bahwa sikap orang-orang tidak lagi njawani (secara Jawa), semua sudah seperti biasa dengan pola hubungan yang semakin individual. Selanjutnya si Mbah Tino memutuskan untuk pulang ke Lubuklinggau. 

Dalam persepsi saya, upaya negosiasi diri si Mbah dengan pandangan maupun memorinya masih belum terjadi secara utuh. Meskipun yang dia hidupkan adalah memori dan cara hidup sesuai dengan rekaman pada setting tahun 1950-an. Namun si Mbah telah berupaya menerima, bahwa kampung halaman bukan lagi suatu daerah teritori melainkan kedekatan dan keintiman terhadap anak cucu dan generasi penerusnya. 

Sebagai keluarga transmigran, tidak ada ritual maupun budaya khusus yang kami lakukan ketika tinggal di Lubuklinggau. Hanya saja yang saya catat, ialah keluarga kami masih belum menyatu pada budaya sumatera dengan segala budaya yang terpapar di hadapan kami. Ada imaji kolektif yang terus ditegaskan bahwa entitas kami (masih) merupakan bagian dari masyarakat Jawa yang tinggal di Sumatera. Padahal dalam ketetapan administrasi geografi kami telah hidup lebih dari dua puluh tahun. Ini merupakan keunikan, ketika tidak ada paksaan untuk menjadi seutuhnya penerus budaya dari suatu daerah tertentu. 

Dalam menjalankan upacara pernikahan, kami tetap menggunakan adat Jawa bahkan menyajikan sesaji untuk leluhur (karena keluarga kami merupakan bagian dari Kejawen); atau pada acara-acara tertentu ketika kami kecil si Mbah Lanang akan menyewa jasa Kuda Lumping sebagai upaya menghidupkan imaji budaya yang berusaha ia jaga dan pelepas rindu terhadap "kampung halaman". Mengenai isu transmigrasi ini saya juga merasa tertarik untuk menuliskan pengalaman, guna menandai sejarah keluarga sendiri. Sehinga ceritanya tidak hanya dapat diingat secara personal. Semoga si Mbah Lanang kerasan di sisi Gusti Allah, AlFatihah...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun